Part 2

9 5 2
                                    

10 tahun kemudian

Seorang siswi tengah memukuli dua orang siswa yang ia anggap sebagai pengganggu salah satu temannya.

Dengan mudah mampu mengalahkan dan memberikan pukulan maut. Siapapun yang berani berhadapan dengannya akan merasakan babak belur.

“Kalau sampai kalian berdua gangguin Dika lagi, muka kalian bakalan gue bikin jadi zombie, paham?”

“Ampun, maafin kita, Dika maaf ya, kita cuman lagi gabut,” ucapnya bergetar menatap seorang perempuan dan menangkupkan tangan dihadapan lelaki culun.

Jika saja karena tidak dipaksa keadaan, ogah sekali untuk meminta maaf pada si culun yang selalu dilindungi oleh gadis bringas seperti kerbau betina.

Bug!

Gadis itu menendang bokong lelaki tersebut yang menghasilkan teriakan histeris.

“Gabut lo bilang? Emang ya kalian berdua harusnya dikasih kerjaan jadi penunggu kuburan biar gak bikin rusuh, sekalian jadi ubi.”

“Huh, mampus,” ejek Dika tanpa suara, hanya dengan gerakan mulut.

Keduanya menatap nyalang. Ingin sekali menggundul lalu mencabik-cabik. Namun sayang, saat ini sedang ada kerbau betina yang tengah mengamuk.

“Ayo Dika, kita pergi, hari ini gue udah puas gebukin dua curut tak berguna ini,” ujarnya menarik tangan pemuda yang memakai kacamata tebal.

Sebelum benar-benar pergi, dia kembali berbalik untuk memberikan peringatan.

“Sekali lagi kalian berdua gangguin Dika, gue gantung di pohon semangka,” sarkasnya dengan tatapan membunuh.

“Pohon semangka? Emang ada pohonnya? Gimana caranya lo gantung kita?” tanyanya yang saat ini tengah mengusap darah di sudut bibir.

“Diam!”

Keduanya kicep dan tak berani menatap, tetapi dalam hati tak terima diperlakukan seperti ini oleh seorang perempuan.

“Awas lo.”

Dari kejauhan dua orang lelaki menyaksikan di detik akhir kejadian. Satu orang yang sekelas dengan perempuan tersebut sudah tak asing dari sikapnya. Ia sendiri pun takut kalau adu jotos dengan orang yang diberi gelar preman sekolah.

“Lo jangan sampai berurusan sama perempuan itu, dia si biang onar. Di sekolah ini tidak ada yang berani dengannya karena walaupun perempuan, dia jago bela diri, pokoknya ngeri deh kalau sampai bikin masalah sama tu orang.”

“Siapa nama perempuan itu?” tanya lelaki di sebalahnya yang merupakan murid baru.

Murid pindahan dari sebuah pesantren. Tampilannya mampu meneduhkan mata para akhwat dadakan yang jadi kalem.

“Nazra Sabiya Hilya.”

***

“Abis dari mana aja lo? Tadi pamit mau ke toilet buat pipis, harusnya gak membutuhkan waktu setengah jam, jangan-jangan lo sekalian boker ya?” Tuduh seorang wanita bermulut pedas dan pemarah. Dia saat ini tengah sibuk membaca buku.

Satu detik kemudian, arah pandangnya membulat begitu mendongak, tadi hanya melirik sekilas jadi tidak terlalu memperhatikan Dika yang berdiri di sebelah Nazra.

“Ya ampun Dik, lo kenapa? Muka bonyok gitu bukannya tambah ganteng tapi jadi jelek, kek kakek cangkul lo,” ucapnya tak berperikemanusiaan. Mulutnya memang suka asal nyerocos.

“Dik, Dik, emang gue adek lo. Nama gue Dika jangan panggil Dik,” ucapnya tak terima.

Nama panggilannya cuman empat huruf malah dipersingkat lagi menjadi tiga huruf, bikin gak enak didengar.

RENGATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang