Bab 3

12 4 0
                                    

Rumah yang harusnya menjadi tempat ternyaman, malah menjadi tempat di mana air mata kerap kali tumpah.

Semenjak kepergian nenek, Nazra hanya hidup berdua dengan ibunya. Tak ada kehangatan. Walau hidup dalam satu atap, mereka seperti orang asing.

“Ibu, mau kemana?” tanya Nazra ketika Lavina akan pergi dengan pakaian rapi.

Sudah menjadi hal biasa. Setiap malam Lavina selalu pergi. Entah apa yang diurus. Sampai saat ini, Nazra juga tidak tahu pekerjaan ibunya hingga bisa hidup bergelimang harta. Setiap kali ditanya, ia cuman mendapat amukan.

“Bukan urusanmu,” sarkasnya tanpa menoleh.

Ia tak menyerah, terus mengikuti langkah Lavina menuju garasi mobil.

“Ini sudah malam, bu. Ibu sebaiknya di rumah aja.”

Lavina berbalik, menatap marah kepada Nazra.

“Jangan mengatur saya, kamu tidak berhak untuk itu dan saya juga sudah peringatkan! Jangan panggil Ibu karena kamu bukan anak saya.”

Sakit rasanya, ada seorang ibu yang tak ingin diakui.

“Tapi aku terlahir di rahim Ibu. Nenek yang mengatakan dan aku percaya nenek tidak akan berbohong. Coba ingat 18 tahun yang lalu, aku berada dalam kandungan selama 9 bulan. Apa Ibu juga tidak ingat? Hari di mana Ibu melahirkan seorang anak perempuan dan sekarang sudah tumbuh besar. Itu aku, bu,” ucapnya mulai berkaca-kaca.

Inilah kelemahan Nazra, tak tahan jika berdebat dengan Lavina yang tak pernah menyayangi seperti ibu kandung.

“Seandainya bukan atas permohonan mama, saya pasti sudah mengusirmu dari rumah ini. Kamu cuman menjadi beban buat saya.” Tanpa berperasaan, Lavina segera masuk ke dalam mobil dan pergi menjauh dari rumah.

Nazra sudah tak kuat, ia tersenyum miris, selama ini ternyata Lavina menganggap kehadirannya hanyalah beban bukan anugerah.

Air mata luluh, dan ia terduduk di halaman rumah dengan memandang kosong.

“Kapan aku akan mendapat pengakuan dari Ibu, apa sampai aku mati, Ibu tak akan pernah mengakui jika aku adalah anaknya?” Nazra tersedu.

Selama hidup tak pernah ia dibuat tersenyum oleh Lavina, hanya dibikin nangis.

“Sekarang aku paham, bu. Apa itu anak haram. Dan setelah tahu, dunia seakan runtuh. Jadi aku adalah anak yang hadir di luar ikatan pernikahan yang sah.”

Kenyataan itu semakin mengiris hati Nazra. Anak mana yang mau terlahir dalam hubungan haram. Apalagi harus menanggung akibat atas perbuatan orang tuanya. Meskipun ia tak bersalah.

“Nenek benar, di dunia ini tidak ada yang namanya anak haram. Selama ini pandangan masyarakatlah yang salah. Bayi yang baru lahir itu suci, dia tidak bisa meminta terlahir dari rahim siapa, tidak pantas disebut sebagai anak haram.”

Ia berdiri, mengusap air mata dengan kasar, lalu berlari sekuat tenaga menuju kamar.

Setelah tiba, Nazra langsung menghempaskan tubuh ke kasur dan menangis sejadi-jadinya dengan menelungkupkan wajah ke bantal dan memukul-mukulkan kepala.

“Kenapa dunia kejam dan tak adil. Rasanya aku pengen mati saja, buat apa hidup, jika ibu saja tak menginginkanku ada. dan ayah ... aku bahkan tidak tahu seperti apa wajahnya.”

Jika sedang sedih seperti ini, perasaan ingin mati pasti akan hadir.

Ia bahkan pernah melakukan percobaan bunuh diri saat kecil, tetapi neneknya berhasil menghentikan dan kali ini ketika terbesit pikiran itu lagi. Ia jadi teringat akan sebuah janji.

RENGATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang