Bab 6

13 4 0
                                    

Pemandangan menghangatkan dan menetramkan terpampang dengan indah. Tidak ada tempat yang paling nyaman dari pangkuan seorang ibu.

Yusuf merasa begitu damai dengan belaian lembut di kepala. Jika dalam keadaan seperti ini ada rasa sesal yang selalu saja muncul.

“Ummi, maafin Yusuf,” ujarnya pelan.

Terlintas kembali masalalu kelam, kala duduk di sekolah menengah pertama yang membuatnya ingin diasingkan dari dunia ini, sebab merasa malu terhadap sang maha Pencipta dan orang tuanya.

“Apa yang telah berlalu dilupakan saja. Ummi bangga kepadamu. Hati seorang ibu akan sangat bahagia ketika melihat anaknya menjadi orang yang shaleh,” Gumam, Fairuz-Ummi Yusuf.

“Bukan itu saja ummi. Maafin Yusuf juga karena memilih untuk pulang dan pindah sekolah dari pesantren yang Ummi inginkan. Yusuf tidak pernah bisa membanggakan ummi dari dulu sampai sekarang. Yusuf hanya buat Abi dan Ummi kecewa.”

Dia orang pertama yang sering menyakiti perasaan orang tuanya, tiba-tiba saja merasakan rindu begitu berat ketika telah terpisah. Hingga tidak sanggup jika harus jauh dari keduanya. Membuat Yusuf memutuskan untuk pindah sekolah yang tak mengharuskannya terpisah.

Ia akui, bahwa seseorang itu akan sangat berharga ketika telah kehilangan.

Fairuz menggeleng, hatinya terenyuh akan perkataan Yusuf.

“Tidak, Nak. Kamu telah buat Ummi dan Abi sangat bangga. Melihatmu telah berubah itu kebanggaan paling besar bagi kami. Masalah kamu yang gak betah mondok itu tidak papa, sayang.”

Yusuf bangun dari pangkuan Umminya. Memandang wajah berhati lembut yang memamerkan senyuman. Kenapa dulu ia bisa jahat dan setega itu menyakiti hati wanita yang telah melahirkan. Dia bukan orang baik.

“Apa Ummi bisa meminta janji darimu?”

“Apa?”

Fairuz memegang pipi sang anak dengan lembut. Tiada kebahagiaan paling indah dari ini. Ucapan syukur tak pernah henti ia ucapkan atas berubahnya sang anak yang mau meninggalkan dunia hitam.

“Berjanjilah kamu akan tetap seperti ini dan tidak pernah kembali ke kehidupanmu yang dulu.”

Yusuf menyesal. Ia dapat melihat betapa takutnya Fairuz jika dia kembali pada sosok yang dulu. Menyesal itu memang selalu diakhir. Dan sakit itu akan selalu membekas pada dirinya.

“Aku berjanji Ummi.”

Pecahlah tangisan Fairuz yang sedari tadi ditahan. Kata orang tangisan itu bisa memiliki dua arti. Dan ia sangat yakin tangisan yang dikeluarkan sekarang adalah air mata bahagia.

Ibu mana yang tak bahagia ketika anak semata wayang berubah menjadi lebih baik. Setiap ibu impian itulah yang selalu diinginkan.

“Kamu adalah anak ummi satu-satunya yang sangat ummi sayangi.”

***

Taman, tempat ternyaman bagi Nazra untuk menyendiri di bawah sinar rembulan.

Kesunyian bukan menjadi masalah. Sudah beberapa jam yang lalu Nazra terduduk di sana sendirian. Perempuan itu sengaja tak pulang ke rumah. Dia sangat malas datang kekediaman yang tidak diselimuti kasih sayang.

Dengan masih mengenakan baju sekolah. Nazra memandang ponsel. Ia sebenarnya sangat berharap ada dering muncul dari sana.

“Sedikit saja, apa ibu tidak punya kepedulian terhadapku?” gumamnya pelan dengan tersenyum miris.

Padahal dari tadi, ia sengaja tak pulang, karena ingin Lavina menelepon. Cukup ditanya kenapa belum pulang. Itu sudah akan membuatnya bahagia. Hal simple seperti itu saja tidak bisa Lavina lakukan.

“Percuma saja. Sampai kiamat pun nyokap gue gak bakalan ngehawatirin gue.” Nazra memandang lurus ke depan dengan air mata yang mulai mengalir.

Kenapa hidupnya seperti ini. Jika bisa memilih ia tak ingin dilahirkan dari sosok ibu yang tidak bisa memberi kasih sayang. Andai saja ia lahir di keluarga yang lengkap dan dilingkupi keharmonisan. Mungkin perjalanan hidup Nazra tidak akan semenderita ini.

“Takdir. Itu yang selalu orang sok alim bilang. Tapi gue gak percaya. Takdir itu hanyalah pembawa kesengsaraan buat gue.”

Nazra memandang bulan sembari menangis. Terlintas kembali masa kecil yang sangat memilukan. Saat itu selalu ada neneknya yang membela dari amukan Lavina. Sekarang ia sudah besar, tapi sang nenek telah tiada.

“Jika saja tidak ada nenek mungkin gue udah mati dari dulu,” ujarnya dengan lelehan air mata yang semakin deras.

“Kamu itu hanyalah anak yang tak saya harapkan. Kehadiranmu adalah malapetaka buat saya. Anak haram, itu jululan yang selalu orang-orang bilang. Asal kamu tahu, dari dulu, sejak kamu masih dalam kandungan. Saya selalu ingin membunuhmu. Tapi nenekmu selalu saja menghalanginya.

Hari ini, kamu buat masalah dengan Fika sampai ibunya datang ke rumah memarahi saya, akibat dirimu.”

“Tapi bu Nazra tidak bersalah, dia yang duluan dorong Nazra, jadinya Nazra dorong balik sampe dia jatuh dan terluka,” ujar Nazra kecil menjelaskan sembari terisak.

“SAYA TIDAK PEDULI. Hari ini lebih baik kamu MATI saja. Saya akan bunuh kamu, biar tidak ada lagi pengganggu dalam hidup saya,” jelas Lavina memegang pisau dan mulai mendekat kepada Nazra.

Nazra kecil ketakutan, ia lantas berjongkok dihadapan Lavina dengan kedua tangan mengatup.

“Ampun bu, jangan bunuh Nazra. Nazra janji gak akan nakal lagi. Ini salah Nazra. Nazra gak bakal bikin ibu malu. Jangan bunuh Nazra bu,” teriaknya berurai air mata.

Lavina seperti kesetanan, dia sudah tidak mengenal iba, ia mengayunkan pisau ke arah Nazra.

Gadis kecil itu dengan cepat berdiri dan lari ketakutan.

“NAZRA, MAU KEMANA KAMU!” bentak Lavina berlari mengejarnya.

Nazra memejamkan mata. Hati itu semakin sesak saja. Ibu yang melahirkan adalah orang yang ingin dirinya mati. Hari itu jika saja neneknya tidak datang tepat waktu entah bagaimana keadaannya yang dikejar oleh Lavina untuk dihabisi.

Nazra lelah selalu dihadapkan dengan masa lalu yang kelam dan sekarang masa depan yang juga kelam. Masih belum ada perubahan berarti dalam hidupnya. Tidak tau sampai kapan, yang jelas sekarang Nazra lelah.

Ia pun kemudian berdiri. Tidak ada gunanya sendirian di Taman menunggu teleponan dari Lavina. Wanita itu tidak akan pernah meneleponnya. Dengan langkah gontai ia berjalan menyusuri jalanan yang masih rame. Tak membutuhkan waktu lama Nazra tiba di depan rumah. Seperti biasa malam hari Lavina selalu tidak ada di rumah.

"Rumah ini sudah seperti neraka.”

Ingin sekali ia menendang pintu rumah untuk menumpahkan kekesalan dan kekecewaan yang dirasakan. Namun, tak mampu untuk dilakukan. Ia sudah terlalu lelah untuk bertengkar dengan Lavina.

“Brengsek!” tekannya ketika memutar gagang pintu yang tak bisa dibuka.

Pintu rumah ternyata telah dikunci. Ia yakin Lavina pasti marah karena dirinya tidak pulang seharian ini. Dan itu berarti malam ini Nazra harus tidur di teras dengan menahan hawa dingin angin malam.

Nazra memijit kepala dan duduk di kursi yang terdapat di teras. Tangannya meraih cangkir di atas meja yang ada di hadapan lalu menghempaskan sampai hancur.

“Gue benci hidup,” teriaknya sebelum akhirnya meraung menangis dan memukul mukul meja sebagai pelampiasan.





Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RENGATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang