Bab 5

3 3 0
                                    

Suasana hening terasa begitu kentara. Nazra dan Gauri hanya mampu terpaku saat melihat ruang tamu rumah Allisa seperti kapal pecah.

Pintu yang tak terkunci membuat mereka memutuskan masuk begitu saja setelah sebelumnya mencoba mengetuk dan memencet bel. Namun, tidak ada tanda akan dibukakan.

Maka dari itu, tanpa berlama-lama langsung saja menerobos masuk. Mereka begitu khawatir dengan keadaan Allisa yang tak memberi kabar sama sekali.

“Gue yakin pasti orang tua Allisa habis berantem lagi,” gumam Nazra mengepalkan tangan.

Muak sekali melihat orang tua yang begitu egois, lebih mementingkan emosi tetapi tidak memikirkan bagaimana psikis seorang anak yang melihat pertengkaran itu.

“Lalu di mana Allisa?” tanya Gauri dengan mata menelisik sekitar.

“Mungkin di kamar,” balasnya.

Kedua orang itu segera berjalan cepat ke lantai atas. Tanpa mengetuk pintu, Gauri segera membuka dengan cepat.

Kosong!

Itulah pemandangan pertama yang terlihat

Nazra memilih menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar tersebut. Mungkin sajakan Allisa ada di sana, sedangkan Gauri hanya celingak-celinguk memperhatikan kamar yang begitu rapi.

“Gimana?” tanyanya mendapati Nazra yang sudah kembali.

Perempuan itu hanya menggeleng lemah. Mereka berdua begitu khawatir dengan keadaan Allisa sekarang yang pasti sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

“Gue takut terjadi sesuatu sama dia? Allisa sekarang pasti terluka banget. Orang tua macam apa mereka. Setelah bertengkar pergi gitu aja dan tidak memikirkan bagaimana dengan Allisa. Mereka pikir pertengkaran keduanya tidak akan membuat anak sakit hati?” ujar Gauri dengan amarah menggebu-gebu.

“Tenanglah Gau, kita pasti menemukan Allisa. Gue yakin itu, Allisa pasti tidak jauh dari rumah ini.”

“Lo benar. Gue bakalan cari di kamar lain,” jelas Gauri langsung keluar.

Nazra yang tadi juga ingin keluar kamar, tiba-tiba terhenti. Ia melupakan sesuatu. Dengan langkah cepat menuju balkon. Berharap menemukan sosok yang tengah dicari. Tapi ternyata hasilnya juga tetap sama saja.

“Lo dimana sih Al, jangan bikin panik gini dong,” geramnya sembari mendekat pada sisi balkon untuk melihat keadaan di bawah sana.

Matanya mengamati pemandangan halaman belakang rumah Allisa. Ada pepohonan, kolam, ayunan, kursi dan...

Mata Nazra membola seketika begitu melihat perempuan berambut panjang tengah membenturkan kepalanya pada sisi tembok pembatas yang menjulang tinggi.

“Allisa, hentikan,” teriaknya kencang. Namun seperti percuma, sang empu seakan tidak bisa mendengar teriakan itu. Dia terlalu fokus untuk menyakiti kepalanya.

Nazra lekas berlari keluar dan menuruni tangga dengan berteriak memanggil Gauri.

“Ada apa Ra, lo berhasil menemukan Allisa?” tanya Gauri yang datang dengan tergopoh dari arah ruang tengah.

Nazra mengangguk.

“Dia ada di halaman belakang dan tengah membenturkan kepalanya ke tembok.”

Penjelasan itu tentu saja membuat Gauri terkejut bukan main. Tanpa pikir panjang mereka pun berlari sekuat tenaga ke halaman belakang.

Tak membutuhkan waktu lama. Kini, Nazra semakin bisa melihat keadaan Allisa yang sedang menangis histeris dengan kepala yang sudah mengeluarkan darah.

Gauri dengan cepat menarik tubuh Allisa menjauh dari tembok dan Nazra langsung berada di hadapannya sembari memegang kedua bahu Allisa dengan mata tajam.

“Apa yang lo lakuin. Dengan cara begini lo hanya melukai diri sendiri. Lihat! Kepala lo sampe berdarah. Kalau lo mati gimana? Lo masih waras Al?” teriak Nazra dengan nafas tersengal menahan amarah memuncak.

Allisa hanya bisa menangis semakin kencang. Ia hanya menumpahkan setiap rasa sedih di hati agar berpindah ke kepalanya saja. Bahkan dengan senang hati jika nyawanya dicabut saat ini juga.

“Biarin aja gue mati,” teriak Allisa tak kalah tinggi.

Gauri berpindah posisi kehadapannya.

“Dan lo gak mikirin gimana keadaan kita jika lo gak ada? Dari kecil kita selalu bertiga. Menangis bersama, curhat bersama, dan saling hibur bersama, tapi lo mau ninggalin kita berdua. Lo gak setia dalam persahabatan. Lo lupa kita pernah berjanji akan selalu bersama selamanya, best friend forever.”

Allisa semakin terisak, dia sangat frustrasi.

“Gue udah gak kuat,” lirihnya sangat pelan dengan isakan tangis yang semakin menjadi.

Nazra dan Gauri ikut meneteskan air mata, seakan bisa merasakan dengan baik rasa sakit itu.

Nazra memeluk Allisa erat dan mengusap punggungnya dengan lembut.

“Jangan menangis, tunjukkan kalau lo adalah orang yang kuat. Jika gak kuat paksakan saja untuk kuat. Bukan hanya lo yang pernah berpikiran untuk mati, tapi kita juga pernah ngerasain itu. Saat di dunia tak ditemukan kebahagiaan, bukankah mati adalah cara yang paling ampuh untuk terlepas dari rasa sakit ini? Tapi gue ingat gimana pesan nenek. Mati bukanlah solusi terbaik. Gue akan menjadi orang yang rapuh serapuh-rapuhnya kalau kehilangan salah satu dari sahabat terbaik yang gue punya.”

Gauri ikut memeluk mereka berdua. Inilah yang selalu mereka lakukan, saling berpelukan sembari menumpahkan rasa sesak yang tiada henti.

“Kita bertiga memiliki hati yang sama. Sama-sama rengat, tinggal menunggu kapan hancurnya. Sebisa mungkin kita akan mencoba untuk saling menguatkan. Please jangan ada yang pergi dari kalian. Gue sangat sayang sama kalian lebih dari apapun di dunia ini,” jelas Gauri dengan suara serak.

Meski terkenal bermulut pedas, hati yang sering tersakiti membuatnya menjadi begitu cengeng. Mereka bertiga itu memiliki hati yang cengeng, hanya terbantu dari covernya yang terlihat seperti manusia tanpa beban.

“Sehari saja, kenapa Tuhan tidak mengizinkan kita untuk bahagia?” lirih Nazra semakin menambah tangisan. Allisa untuk saat ini sudah tak bisa berkata-kata lagi. Hati yang kepalang sakit dengan sesak yang seperti mencekik tenggorokan membuatnya cuman bisa meneteskan air mata.

Beberapa menit kemudian, tangisan memilukan itu perlahan mulai terdengar pelan. Ketiganya melonggarkan pelukan dan saling mengurai. Memandang mata mereka semua yang sembab.

“Kalau sampe orang yang pernah gue gebukin ngelihat gue nangis seperti ini. Gue yakin mereka akan menertawakan dan mungkin gak bakalan takut lagi sama gue,” kekeh Nazra mencoba tersenyum.

“Mari kita ubah tangisan menjadi senyuman, walau akan terlihat lucu tapi gak papa, pura-pura bahagia mungkin lebih baik,” ujar Gauri menghapus air mata Allisa.

“Maaf,” ujarnya dengan nada sangat pelan setelah tadi bersusah payah mengeluarkan suara yang terasa hilang oleh rasa sesak.

Nazra dan Gauri mengangguk. Untung saja mereka datang di waktu yang tepat, jika tidak, entah apa yang akan terjadi. Rasanya belum siapa jika harus kehilangan. Membayangkan saja sudah membuat keduanya takut. Mereka lantas membawa Allisa masuk ke dalam rumah dan mengobati lukanya dengan telaten.

“Ibu, Nazra anak yang kuat'kan? Nazra tidak pernah membenturkan kepala sampai berdarah dan Nazra anak yang baik'kan bu? Karena nurut apa kata nenek,” batinnya pilu.

***

Alhamdulillah, bisa update guys 🤗 Tak lupa aku ingatkan untuk pencet bintang di sebelah kiri dan jangan lupa komen biar aku dapat semangat ekstra.

Sampai berjumpa di next chapter yang gak tahu kapan updatenya.

See you 💙







RENGATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang