Empat

217 26 1
                                    

Masa kini, Seoul.

Taeyong terbangun, kepalanya berdenyut, perutnya bergejolak. Ia mengerang, menaruh satu tangan di atas matanya agar ia bisa menikmati kegelapan sedikit lebih lama. Sebuah kilasan imaji dari mimpinya terbersit di balik kelopak matanya.

Sungguh aneh, pikirnya, saat ia mengingat isi dari mimpi itu. Mimpi yang sama, burung camar, laut dan suara tawa. Dan Jaehyun. Jemari yang menyisiri rambutnya, gelak tawa, suara miliknya sendiri yang berkata, kenapa kau menjalin rambutku? Sebuah hembusan napas, bibir yang menempel di bibir miliknya. Mata penuh kantuk yang memandanginya. Senyum berlesung pipi yang menempel di dada telanjangnya.

Ia tersipu, menggosok wajahnya dengan tangan.

Apa-apaan ini, pikirnya. Apa yang terjadi?

Ia sudah memiliki firasat, sesuatu yang tak bisa ia enyahkan, bahwa mimpinya adalah tentang Jaehyun. Tetapi ia tidak mengerti apa yang membuatnya begitu yakin, dan apa makna di baliknya. Sekarang ia yakin, mimpinya memang bercerita tentang Jaehyun, tetapi ia masih belum mengetahui maknanya.

Ia duduk perlahan dan melihat ke sekelilingnya, menguap dan meregangkan tubuh sebelum tersadar. Ia sedang berada di ranjang milik Jaehyun, dan semu merah di pipinya semakin intens, semakin membara. Ia turun dari tempat tidur, menyingkirkan selimut, berlari keluar dari kamar tidur Jaehyun dengan kepala tertunduk.

*

1944, Seoul.

"Jaehyun!"

Jaehyun menggeram. Ia sedang terlelap di atas kursi di sudut dapur. Pintu belakang terbuka lebar dan angin sejuk berhembus masuk, membuat kulit lengannya merinding.

Ia sedang bermimpi, ia tahu ia sedang bermimpi, tetapi mimpinya aneh. Ia tidak bisa melihat apa pun. Ia hanya bisa mendengar, merasa, mengecap, menghidu, tetapi tidak bisa melihat. Suara hujan, derap kaki berat, lantai kayu yang berderit, pakaian basah yang menempel di kulitnya, terasa begitu berat kala air hujan menampar-nampar tubuhnya. Bulu kuduk yang meremang di lengannya. Bau tanah yang basah. Ia yang diikat, apakah benar ia sedang diikat? Ia tidak bisa menggerakkan tungkainya, dan ia takut. Ngeri, jantungnya berdebar-debar dan tubuhnya gemetaran. Ia mendengar sebuah isakan kecil. Suara miliknya.

Ia tidak bisa melihat, kenapa? Apakah itu kain yang menutupi wajahnya? Basah, melekat, ia tidak bisa bernapas dengan benar.

"Jung Jaehyun!"

Cahaya yang menyilaukan, hujan menitiki wajahnya, ia mengerjapkan mata. Sebuah ladang terbuka, rasa takut yang perlahan tumbuh, ia tidak bisa berdiri tegak, ia sangat-sangat ketakutan. Ia tidak mengerti, namun tidak ada satu pun pikiran di kepalanya, hanya ada tiga silabel bergaung berulang-ulang di hatinya seolah kata-kata itu dapat menjadi harapan baginya, dapat membuatnya baik-baik saja.

"Nak, bangun!"

Ia membuka mata dengan gusar. Neneknya sedang berdiri di depannya dengan satu tangan berkacak pinggang dan satu lagi membawa keranjang anyaman.

"Astaga, jangan berteriak seperti itu," katanya, menatap sebal ke arah neneknya.

"Sudah mulai hujan, angkat pakaiannya," perintahnya, menyodorkan keranjang ke arahnya.

Ia mengernyitkan hidung dan menggosok matanya, jantungnya masih berdebar.

"Sekarang, Nak," perintahnya lagi.

"Baiklah," gerutunya, mengambil keranjang itu dan berdiri.

Ia bisa mendengar gerutuan neneknya seraya ia berjalan menuju pintu. Anak-anak zaman sekarang, pemalas atau apalah itu. Ia melangkah keluar ke halaman belakang, menuruni empat anak tangga kayu, berderit di bawah berat tubuhnya.

Lifetimes [Jaeyong] - Terjemahan Bahasa IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang