1947, Seoul
Taeyong menyantap makanannya dengan begitu hati-hati. Ia tidak terbiasa makan siang bersama ayahnya, dan ia takut berbuat salah, takut sikapnya kurang sopan, takut cara menyeruput supnya salah, takut membuat ayahnya marah.
"Bagaimana kalau kita pergi ke Mokpo?"
Taeyong terbelalak mendengarnya. Ia tak yakin akan apa yang ditangkap telinganya.
"Aku harus pergi ke sana. Aku akan menjual rumah lama kita. Kupikir kau pasti ingin melihatnya sekali lagi sebelum jatuh ke tangan pembeli."
Mata Taeyong melebar, dan ia meletakkan sumpitnya sepelan mungkin.
"Ayah menjual rumah itu?" tanyanya pelan. Rumah itu membawa kenangan musim panas yang ia habiskan bersama ibu dan pamannya dan para sepupunya. Pantai dan buah jeruk.
"Ya."
Tangan Taeyong mendarat di kedua pahanya dan ia gosokkan naik-turun dengan gelisah. Ia ingin melarang ayahnya, jangan, jangan jual rumah itu, tapi ia tahu hal itu harus terjadi dan ia tahu alasannya. Tidak ada yang memberitahunya, tak satu orang pun, namun ia menyadari setahun belakangan tak pernah ada lagi pesta makan malam di rumahnya. Ia juga menyadari pria Jepang yang berbicara cepat itu tak pernah lagi berkunjung dengan kalimat aku yakin kerajinan tanah liat dari abad ke-15 atau lukisan yang sangat istimewa ini akan cocok dengan seleramu, seperti koleksi anggur-anggur milikmu yang mengesankan itu, bolehkah aku menuangkan segelas untukmu?
Tidak ada yang memberitahunya, namun ia menyadari ayahnya mulai menenggak minuman keras di pagi hari.
"Aku setuju dengan keputusanmu, Ayah," katanya pelan.
Tidak ada yang memberitahunya, namun ia mendengar desas-desus di koridor sekolah.
Dasar simpatisan Jepang sialan, mereka akan kena batunya.
Tangannya meremas kain celananya untuk beberapa saat. Mungkin inilah yang terbaik, pikirnya.
"Aku akan bicara pada wanita tua itu besok pagi. Dia bisa membantu kita di sana. Anak laki-laki itu juga."
Suasana hatinya sedikit membaik membayangkan ia bisa berbagi masa kecilnya dengan Jaehyun. Membayangkan mengajaknya menyusuri pantai dan dermaga, jalan berkelok yang akan membawa mereka dari rumah tua itu menuju kota.
"Ya, Ayah," katanya, dan ia mengangkat sumpitnya lagi.
"Sudah lama," gumam pria tua itu. "Sudah cukup lama."
*
"Mokpo?" tanya Jaehyun. Ia sedang berjongkok di trotoar di luar toko roti, menjentikkan dan menggoyangkan jarinya, mencoba menarik perhatian anak kucing yang sedang bersembunyi di balik tempat sampah. "Di mana itu?"
"Di selatan," jawab Taeyong. "Kota pesisir pantai."
Jaehyun meliriknya sesaat, alisnya terangkat lucu. "Aku belum pernah ke pantai sebelumnya," akunya.
"Apa? Sungguh?" kata Taeyong, berjongkok di sisi Jaehyun.
"Sungguh," jawabnya lagi, perhatiannya kembali pada kucing itu. "Kemarilah, aku tidak akan menyakitimu."
"Dia tidak mengerti bahasamu, Bodoh," Taeyong tertawa.
"Kau benar," kata Jaehyun, mengangguk patuh. Ia memandangi kucing itu beberapa saat. Lalu ia membuka mulutnya dan mengeong dengan percaya diri. Taeyong terkesima, lalu mendapati dirinya sedang menggigit bibir untuk menahan tawa yang nyaris keluar. Kekehan kecil terselip tanpa bisa ia kendalikan.
"Hyung, diam, lihat dia datang ke sini," kata Jaehyun ketika kucing itu dengan enggan menjulurkan kepala dari balik persembunyiannya dan balas mengeong. Makhluk mungil berwarna putih dengan ujung telinga cokelat dan sepasang mata hijau. Taeyong tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lifetimes [Jaeyong] - Terjemahan Bahasa Indonesia
Fanfiction'Bagaimana jika aku berkata aku akan menemukanmu di kehidupan-kehidupan yang akan datang? Bagaimana jika aku sudah mencintaimu di kehidupan-kehidupanku sebelumnya? Bukankah itu indah?' 'Menurutku kau adalah seorang penyair yang payah.' ⚠️ TW ⚠️ Kem...