Tujuh

196 19 1
                                    

Tahun 102 Joseon, Hanyang.

Tandu diturunkan beberapa langkah dari Jaehyun, tepat di depan jalan masuk menuju rumah pamannya. Tirai katun biru yang disulam, beberapa pelayan bergegas maju untuk membantu wanita itu turun. Jaehyun tersenyum, berjalan cepat mendahului pelayan-pelayan itu, menawarkan tangannya. Tidak ada dari mereka yang memiliki hak istimewa untuk melayaninya, tidak saat ia berada di sana.

Perempuan itu meraih tangannya, menarik rok dengan tangan satunya dan melangkah keluar dengan hati-hati. Ia terlihat lebih kurus dibanding terakhir kali mereka bertemu. "Ibu," sapanya. "Ibuku tersayang."

"Putraku," ujarnya, senyuman cerah menghiasi wajahnya, jemari memegang erat pergelangan tangan anak lelakinya, mata mengamati tiap sudut wajahnya. "Kenapa pipimu cekung begini?"

Jaehyun tergelak kecil. "Aku kehilangan nafsu makan dan kantukku, jangan khawatir," katanya. "Apa perjalanannya berat?"

"Tidak, tidak sama sekali. Selama perjalanan dari Gongju ke Hanyang tadi aku merasa nyaman," ujarnya.

"Tapi tetap saja akan terasa berat bagimu, Ibu," katanya. "Kau sedang sakit tapi kau memaksakan diri melakukan perjalanan jauh seperti ini. Biar para pelayan saja yang mengantarkan barang-barangku."

"Tidak ada masalah dengan kesehatanku," jawab ibunya. "Lagipula, saat putra tunggal keluarga Jung sedang membawa kehormatan dan bersinar seperti ini, tentu saja sang ibu harus datang untuk menyampaikan rasa bangganya."

"Baiklah, silahkan," ujar Jaehyun dengan senyum kecil.

"Aku lebih bangga dari kata bangga itu sendiri," puji ibunya.

Jaehyun tertawa dan menarik tangan wanita itu. "Ayo," ajaknya. "Paman sudah memintaku untuk mengajakmu berkeliling. Dia bilang dia sungguh menyesal tidak bisa menyambutmu, dia sedang menyiapkan keberangkatannya ke utara."

"Oh, tidak apa-apa, dia pasti sibuk dengan tugasnya. Begitu juga Yong..." kata ibunya, lalu menggigit lidahnya sendiri. "Maaf, maksudku Yang Mulia. Dia juga pasti sangat sibuk."

"Dia akan datang ke sini untuk menemuimu, Ibu, jangan bersedih," hiburnya, membantu ibunya mendaki anak tangga.

"Tapi dia itu seorang pangeran, dia tidak akan punya waktu untuk wanita tua dari Gongju ini," pungkasnya.

"Kau tidak tua," kata putranya. "Dia sudah menganggapmu seperti ibunya sendiri dan dia akan datang untukmu."

"Baiklah..." ada raut senang di wajah perempuan itu.

Jaehyun tertawa. "Kami akan menemanimu sampai kau bosan, tapi kuharap kau tidak keberatan, Ibu, aku tidak akan ada di rumah besok siang. Ada yang harus kulakukan."

"Tentu, tentu. Kalian berdua bukan lagi anak kecil badungku. Kalian sudah besar dan punya kesibukan masing-masing."

*

Jaehyun melompat turun dari kudanya, kakinya mendarat hati-hati. Bau busuk merambat naik pelan dan pekat, aroma air seni dan juga kotoran, mungkin datangnya dari jamban di sekitar sana. Ada genangan yang tampak seperti muntah, terlalu dekat hingga membuatnya tak nyaman. Ia mengamati sekelilingnya. Orang-orang yang sedang menggiling. Gubuk yang roboh. Anak-anak berkeliaran di pintu masuk, mencari sasaran pria berjubah sutra berikutnya, atau kain tirai yang berkibar dari tepi jendela tandu. Ada kepasrahan yang terlihat dari cara mereka bersandar pada dinding batu kota ini.

Ia melihat seorang gadis kecil, mungkin berusia tiga atau empat belas tahun, yang sedang duduk di luar gubuknya. Menumbuk biji millet menjadi bubuk tepung.

"Permisi," sapanya, melangkah mendekat. Gadis itu sepertinya tidak menyadari kehadirannya akibat suara lumpang yang cukup keras. Ia berdeham. Anak itu tersentak dan menengadah, cepat-cepat berdiri untuk membungkuk, terlihat takut. "Maaf, bolehkah aku bicara dengan orang tuamu sebentar..."

Lifetimes [Jaeyong] - Terjemahan Bahasa IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang