- KEMATIAN KARAKTER UTAMA -
1950, Seoul
Ibu jarinya bergerak-gerak di kerah pakaiannya. Rasanya terlalu sempit dan mencekik leher. Malam di pertengahan bulan Februari ini terasa sangat panas. Itu aneh. Seoul tidak pernah panas di bulan Februari. Para tamu terlalu berisik. Itu juga aneh, karena mereka berasal dari kalangan kelas atas, yang mana meskipun sedang mabuk seharusnya akan tetap bersikap santun. Kerah pakaiannya terlalu mencekik. Menyebalkan. Bahkan saat acara kelulusannya dulu ia tak mengaitkan kancing kerahnya seperti ini.
Selama beberapa minggu terakhir, ia rasa ia sudah menyaksikan segalanya. Segala yang pernah dilalui Taeyong selama ini. Jaehyun mulai bekerja di Rumah Besar sejak ia lulus sekolah bulan lalu. Demi membalas jasa pengabdian neneknya untuk keluarga Lee selama bertahun-tahun, mereka tetap diperbolehkan tinggal di rumah kecil meski perempuan tua itu tak lagi bisa bekerja. Pun ia diizinkan untuk menyelesaikan sekolah terlebih dahulu sebelum menggantikan posisi neneknya. Tidak sebagai juru masak, namun sebagai anak laki-laki berpendidikan yang bisa mengemudi, yang tidak punya uang dan status sosial. Ia sempurna untuk peran ambigu yang bisa melakukan apa saja yang dibutuhkan.
"Hei, kenapa lama sekali?"
"Ya, Tuan," jawabnya. Ia menuangkan wiski ke dalam tiga buah gelas, hidungnya mengernyit mencium bau minuman keras tersebut. Ia tidak suka baunya. Ia meletakkan ketiga gelas itu di atas nampan dan berbelok masuk ke dalam ruangan. Mereka berkerumun di ujung ruang baca, orang-orang berkelas, tentu saja, mereka adalah tamu pesta makan malam Rumah Besar. Yang hadir pastilah salah satu dari sederet pengusaha sukses beserta anak dan istri mereka, juga para pejabat yang sedang ayah Taeyong coba dekati. Jaehyun tidak tahu identitas lengkap mereka, ia hanya tahu mereka ingin ia selalu menunduk, dan ia sudah melakukannya tanpa diminta.
Taeyong juga duduk di antara para tamu tersebut. Ia mengenakan setelan jas baru, berwarna cokelat gelap yang kontras dengan kemeja kuning gadingnya. Ia duduk dengan anggun dan tampak seperti orang yang begitu percaya diri. Ia bersinar di antara mereka, pikir Jaehyun. Ia memancarkan kemurahan hati, sesuatu yang tak dimiliki hadirin lainnya. Jiwanya begitu baik. Ia lebih banyak diam, sedang terlibat dalam percakapan dengan seorang wanita paruh baya di sebelahnya, dan anak laki-laki remajanya yang bergigi tonggos.
Ia menyajikan minuman yang ia bawa, lalu menangkap tatapan Taeyong ketika ia berlalu dari sana. Sudut bibir Taeyong sedikit terangkat, memberinya semangat, pikirnya. Seolah berkata bahwa Jaehyun melakukan pekerjaannya dengan baik. Ia tenggelam dalam senyuman itu sedikit terlalu lama, kemudian ia melihat kedua alis Taeyong yang terangkat dan pandangannya yang beralih menuju di mana ayahnya berada. Saat itulah Jaehyun menyadari bahwa majikannya itu sedang bicara padanya.
"Maaf, ada yang bisa kubantu, Tuan?" tanyanya.
"Es, bawakan es," jawabnya.
"Segera, Tuan, maaf," ucapnya.
Ia kehabisan es batu ketika ia selesai melayani mereka. Ia harus berlari kembali ke dapur dan menggerus balok es untuk stok selanjutnya. Saat ia memutar tubuhnya, ia mendengar mereka bicara. Mabuk dan berkelas, tetapi tidak untuknya. Ada suara asing yang bicara perlahan.
"Dia tidak terlalu pintar, bukan?"
Kali ini Taeyong yang bicara, menyela sebelum pria lainnya sempat bicara lagi. "Dia sudah lulus SMA," katanya.
"Tidak ada artinya bagi kaum sepertinya."
Kemudian suara tawa muncul bersahutan. Ia bisa merasakan mata Taeyong yang menatap punggungnya. Ia berharap lelaki itu tidak melihatnya saat ini, karena kedua telinganya memerah dan ia benar-benar tak ingin Taeyong melihat sosoknya yang seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lifetimes [Jaeyong] - Terjemahan Bahasa Indonesia
Fanfiction'Bagaimana jika aku berkata aku akan menemukanmu di kehidupan-kehidupan yang akan datang? Bagaimana jika aku sudah mencintaimu di kehidupan-kehidupanku sebelumnya? Bukankah itu indah?' 'Menurutku kau adalah seorang penyair yang payah.' ⚠️ TW ⚠️ Kem...