Sembilan

153 9 1
                                    

Tahun 102 Joseon, Hanyang

Taeyong duduk diam di hadapan meja tulisnya, mencoba menyelesaikan bahan bacaannya. Sudah satu jam, dan ia belum mampu membaca lebih dari tiga kalimat awal. Pikirannya terhenti di tiap aksara, mengganti tiap kata dengan Jaehyun, Jaehyun, Jaehyun. Tak terkendali.

Pintu bergeser terbuka, suara derit kasar kayu yang terdengar akrab. Ia tak menoleh. Tiap aksara, Jaehyun, Jaehyun.

"Tuanku," kata Choi Jin. "Ada surat untukmu."

"Taruh dan tinggalkan aku sendiri," suruhnya.

"Baik, Tuan," kata Choi Jin lagi, memberinya sebuah amplop sutra, warna biru muda Sungkyunkwan.

Jantungnya berhenti. Jaehyun.

Ia menjulurkan tangan sebelum sempat berpikir, jemarinya ingin sekali menyentuh benda itu, lalu ia mengambilnya dari tangan Choi Jin.

"Mau kusediakan kertas dan tinta?" tawarnya.

Ia memandangi amplop yang ia letakkan di atas naskah bacaan, jemarinya menyusuri pelan goresan tinta hitam tersebut, karya tangan yang terampil.

"Ya," jawabnya.

Ia membuka surat itu setelah Choi Jin membungkuk dan berlalu.

Yang Mulia,

Hatinya berdenyut nyeri.

Aku ingin bertanya mengapa sudah lama kau tak mengirim surat untukku, namun kurasa tidaklah baik menuntut seorang pria yang sedang memikul beban begitu berat. Aku hanya bisa bilang bahwa sepanjang tiga minggu terakhir, tiap hari, hatiku sangat merindukanmu, ingin melihatmu, mendengar suaramu, menebus percakapan singkat yang hanya bisa kita lakukan lewat surat belaka. Aku hanya bisa bilang sepi ini perlahan membunuhku.

Aku ingin memperlihatkanmu sesuatu, yang kita bicarakan malam itu, kau harus melihatnya sendiri, dan kau harus dengar pendapatku. Dan apa yang kupelajari dari sana. Kaulah satu-satunya orang yang bersedia mendengar, dan kali ini kau harus mendengarku sekali lagi.

Milikmu,

Jaehyun.

Taeyong membiarkan jarinya meraba-raba surat itu. Ia merasa bersalah atas diamnya. Ia merasa bersalah atas hati Jaehyun yang terluka. Tetapi ia belum siap untuk bertemu dan berkata bahwa mereka tak bisa lagi berhubungan sebagai sepasang kekasih, untuk mengumumkan pernikahannya dengan adik sepupu perempuannya. Ia terlalu gusar, terlalu marah pada dirinya sendiri dan darahnya yang terkutuk, terlalu sakit untuk bisa menghibur Jaehyun. Namun ia tak mampu mengatakannya. Dan ia tak bisa menolak permintaannya ketika pria itu memintanya dengan begitu tulus.

Maka ketika Choi Jin kembali dengan benda-benda yang ia butuhkan, ia menulis.

Jaehyun,

Maaf aku tak sempat menulis untukmu.

Aku akan menemuimu.

Milikmu,

Taeyong.

*

Mereka berdiri di bawah batang pohon besar, bersisian, mengamati keadaan sekitar. Jaehyun memandangi Taeyong, topi hitam membayangi mata, hidung, tulang pipinya, tetapi raut terkejut dan marahnya tak Jaehyun lewatkan. Tidak saat ia mengenal wajah tersebut begitu baik.

Ia tak bisa mengenyahkan perasaan ini, bahwa sesuatu telah berubah di antara mereka. Ada jarak, ada kecanggungan. Walau belum berjumpa lebih dari sebulan, pria itu bersikap dingin, tak acuh, melamun. Mungkin karena sudah lama mereka tidak bertemu.

Lifetimes [Jaeyong] - Terjemahan Bahasa IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang