SEKARANG
Di meja makan.
Malam ini terasa begitu berbeda, ralat bukan hanya malam ini, tapi beberapa malam setelah diagnosis itu dijatuhkan. Suasa ruangan ini selalu terasa dingin, tidak ada pembicaraan, kalaupun ada, ujungnya pasti diakhiri dengan tangis sendu.
Gue kira dengan dengan adanya kakak perempuan di sini, akan membuat atau setidaknya bisa mencairkan suasana yang beku ini. Tapi nyatanya tidak.
Dan ibu masih tetap sama seperti malam-malam yang lalu, sendu. Bahkan, mungkin orang-orang yang melihat ini akan beranggapan bahwa ibuku lah yang mendapatkan diagnosis itu karena gue yang kena aja terlihat baik-baik. Ya, gue akui ada kesedihan, hanya saja tidak ingin meratapinya lebih lama lagi.
Lama keheningan terjadi, tidak ada yang mampu mencairkan suasana. Kami makan dalam keheningan dan saat semua sudah selesai tanpa aba-aba ibu akan mulai menangis seperti biasanya. Ayah dengan sigap mendekapnya lembut, mengusap rambutnya dan menenangkan dengan kata-kata. Tetapi bukannya makin tenang, ibu semakin menjadi-jadi tangisnya. Gue meringis melihatnya pemandangan ini. Membayangkan Ibu—orang yang kamu sayangi—setiap malamnya menangis dan kamu yang dihadapannya hanya bisa menonton sambil meringis nyeri, tidak ada yang bisa kau perbuat. Maka karena aku sudah tidak tahan melihat kesediahan malam ini aku berinisiatif membicarakannya karena aku tahu betul, tidak ada yang bisa menenangkan ibu selain aku. Ayah? Dia setiap saat melakukannya, tapi lihat! Ibu tidak pernah tenang. Lalu Alia? Saat dia berbicara, Ibu akan langsung memotongnya, mengatakan, "Kamu tidak akan mengerti perasaan seorang ibu." Yang membuat Alia akan langsung bungkam.
Maka dari itu, gue adalah satu-satunya harapan yang tersisa. Tarik napas dalam-dalam dan hembuskan secara perlahan.
Baiklah, aku sudah siap.
"Ibu," Aku memanggilnya lembut. "Bu... " Lagi dengan sedikit keras, karena dia masih sibuk dengan tangisannya. Dia menatap ke arahku. Tatapan kami terkunci. Ini kali kedua tatapan kami selekat ini setelah kejadian di rumah sakit.
"Dengar," suaraku sedikit gemetar. Ini baru awalnya, tapi emosiku sudah sulit terkendali. Ada rasa takut, takut kata-kata gue akan melukainya lebih dalam.
"Gaga tahu, kami semu tahu bahwa ini menyakitkan buat ibu."
Sunyi, semuanya masih diam mendengarkanku, sesekali suara sesegukan ibu terdengar.
"Kami mengerti, Gaga juga sangat mengerti, tapi Ibu tahu sendiri... " Aku menjeda sedikit, "entah itu Gaga yang duluan atau Ibu, yang pasti salah satu dari kita akan pergi meninggalkan siapa. " Kalimat itu mengalir begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Last Wish
Teen FictionAku mencintaimu karena Tuhan menghadirkanmu untukku. Tidak ada alasan lain. Tapi, nanti, jika janjiku untuk selalu disisimu direnggut takdir, aku ingin kamu bisa melupakanku. Jangan pernah ingat aku jika itu alasan kamu terluka. Kamu pernah tanya a...