06

803 150 31
                                    

Davin quality time sama Wain berdua adalah sesuatu yang patut direkam kemudian diputar ulang sebagaimana fenomena bersejarah.

Pagi-pagi mereka sudah standby diteras kost dengan wangi sengak dari kemeja masing-masing. Davin sengaja mengenakan pakaian berkerah, jaga-jaga kalau panas terik ia dapat langsung mendedel dua kancing teratasnya.

Sesuai kesepakatan sore lalu, Wain akan mengajaknya breakfast bubur ayam dan wedang ronde tak jauh dari rumah. Sebagai acara merayakan seminggu menimba PKL, Wain bertaruh akan menyembelih celengan bebeknya untuk pertama kali buat mentraktir Davin.

Sepertinya lelaki itu telah menemukan adik pungut yang mempunyai sifat serta karakter hampir mirip. Sama-sama bongsor, sama-sama penyuka kopi, sama-sama ganteng sepanjang hari. Entah lah, belum ada sebulan mengenal Davin, wain sudah seperti menaruh rasa selayaknya saudara seembrio.

Buktinya, ketika wain menangkap punggung selebar papan tenis itu tengah meringkuk nelangsa dibawah lantai, sekonyong-konyong ia peluk terlampau erat lehernya.

"Cie, nungguin abang ya??" Goda Wain.

Netra membulat selayak lingkar bulan dihari kelima belas hijriah, Davin menarik awaknya kedepan menghindari tumpu kekar otot pemuda bersurai kebiruan itu.

"Geli gue dengernya!" Wain tergelak melihat adiknya malah gidik-gidik bahu.

"Ceileh, gitu aja pakai acara shy-shy cat."

"Bahasa alien apa lagi ini?" Heran Davin.

Semenjak dia bertemu dengan 4 panghuni kost, pewaris tahta kamar kost, serta tetangga belakang kost, kepalanya jadi lebih ekstra dihuni obat peredam nyeri. Namun perlu dikoreksi, Lex tidak menganut didalamnya. pemuda itu 11 12 dengan Sing, masih agak waras.

"Kuy, buru! Antrenya bakal lama kalau gak cepet," tegas Wain beri lambai sambil menghampiri motor Husein yang sudah kinclong digilas dari subuh oleh pemiliknya.

Davin mengenakan pelindung kepala yang dahulu pernah tersangkut kerambutnya Lex. Ketika tercium tidak disengaja, harum mewangi sampoo Lex masih membekas.

"Lo bisa bawa motor yang baik dan benar, kan, bang?" Tanya Davin selepas capai jok motor lalu membuka selangkanya selebar jidat Bomsu kalau lagi live snapgram bareng Husein. Selain caper ke ex-nya si pemuda 97 line, apalagi yang lebih masuk diakal?

"Jangan ngeremehin seorang Wain Wilson selagi lo lihat gimana senyumnya mampu mengguncangkan peradaban dunia perkipopan." Kata Wain seongol tak mau bercermin jika dirinya dipandang sinis oleh Davin. Terlalu riya' kadang bikin orang matinya diketawain loh.

"Up to you congormu berkata apa." Jengah Davin karena terlanjur malas menghadapi kepedean Wain terus-menerus.

Sebelum menggas motornya mendada pagar reot kost, Wain nyengir ganteng. "Lo emang adik gue the best! Tengkyu my brother."

Pukul-pukul nyeri sedetik kemudian diterimanya, Davin sangat kesal membiarkan Wain terus menceloteh panjang lebar tanpa diberi pelajaran selama perjalanan ke warung makan.

Mereka sampai tuli atas pemanggilan penting Lex dari ambang pintu. "DOMPET LO KETINGGALAN WAIN!"

Tenang, alangkah baik jika adik berkakak itu mendapat jatah cuci piring sampai maghrib bila-bila tak sanggup membayar sarapan mereka nanti.

"Bang, boleh gak gue tanya-tanya sesuatu sambil lo nyetir?"

"Boleh. Emang mau tanya apaan?"

Glek.

Percakapaan ini akan mengarah terhadap hal yang lebih serius. Sembari menyiapkan stok liur dipangkal tenggorokannya, davin menjeda beberapa detik.

"Pas awal mula gue, Leo, dan Sing pindah ke kost'an, bang Gibran pernah ngomong kalau kalian waktu itu lagi di makam. Kalau boleh tahu, lo ziarah kekuburannya siapa bang malam-malam gitu?" Tanya Davin. Meski suaranya dilahap angin sejuk, Wain masih berjaya menangkap dari berbagai sisi.

"Teman sekost kita. Dia meninggal karena sering dapet teror sejak sebulan yang lalu. Kasian, padahal dia sebelumnya gak pernah kelewat batas kayak gue ataupun Bomsu." Serak menggumpal nada bicara Wain.

Davin tersekat pergerakannya. Ternyata Gibran tidak main-main saat mengatakan kalau Husein cs tengah bertandang ke kuburan.

"Jadi ... aslinya lo dan yang lain lagi berduka sementara disaat yang bersamaan kalian juga menyambut kedatangan kami?" Nanar Davin melihat tunas-tunas tanaman ashoka tumbuh dikotak seberang jalan.

"Santai aja kali." Wain membendung. "Yang hilang selamanya akan tetap pergi. Lo gak perlu mencemaskan kita."

"Tapi tetap aja waktu itu lo gak ngomong! Seandainya gue, Leo, dan Sing tahu, kita bisa kok berempati sama kalian." Terang Davin menyayangkan kebisuan teman sekostnya kala itu.

Mendengar penumpang dibelakangnya mengomel, Wain justru tertawa pelan. "Udah, diem. Bentar lagi kita sampai." Katanya saat motor GL Husein melenggang diarea jalur pedesaan yang terhubung dengan sawah merujuk pada alas.

"Tap---"

"Hust!" Potong Wain menempelkan jari telunjuk didekat mulut sembari menatap Davin melalui kaca spion.

Davin raut wajahnya menyolek masam, mungkin kalau Husein yang tahu dia akan nengatakan kalau ekspresi anak itu persis mantan calon bininya yang merajuk karena ditolak nyalon bareng.

Andai Wain aja dihadapannya sekarang, pasti Davin sudah menjadi tujuan serangan gemas.

"Bang Wain! Bang Wan!" Tiba-tiba anak SMK itu menggoncang-goncang pundak Wain kasar.

"Apa sih?" Agak ketus jawabannya.

"Di---dibelakang,"

"Ada apa dibelakang?"

"Gak tahu! Itu ... ada cewek baju kuning lagi ngikutin kita." Tunjuk Davin memutar tubuhnya sesekali.

Wain diundang rasa penasaran, mengarahkan spion motor agar dapat memantulkan bayangan yang Davin maksud. "Gak mungkin..."

"Kenapa bang???" Tanya Davin ketika motor yang mereka tumpangi melambat karena Wain tidak mengoperasikan staternya.

"Lo jangan takut ya!" Wain memperingati terlebih dahulu.

Bukannya tenang, Davin justru semakin dihantui ketakutan. Seorang gadis yang dia lihat memang semenyeramkan itu. Rambutnya panjang dikepang, mengayuh sepeda tanpa tenaga tak sebanding dengan senyumnya yang terkesan hampir robek.

Siapa disana?!

"Ih, bang! Jangan nakut-nakutin dong." Kata Davin. "Siapa sih, dia?"

"Dia orang yang pernah datang ke kost sambil nyewa badut tengah malem cuma buat ngehibur Lex yang mogok makan karena sakit pilek doang. Serem gak tuh?"

Serem lah, pake nanyak pula!

***

Teror || Xodiac ✓ (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang