07

609 142 4
                                    

Lex masuk lagi kedalam rumah setelah Wain mengabaikan teriakannya. Pemuda itu tidak boleh meninggalkan bahan-bahan memasaknya yang belum terjamak sama sekali. Mereka semua belum sarapan, Lex sebagai orang yang ditunjuk memegang seisi dapur harus lekas bertindak.

Daging yang direbus dalam kuali besar mengepul, pertanda lemak hewani tersebut telah masak. Lex mematikan api kompor setelahnya mengangkat kuali dari asalnya supaya tidak memakan tempat.

Apa yang akan diolahnya dengan daging merah segar ini? Bila memasak rendang terus-menerus, anak-anak pasti meronta meminta lain.

Aha!

Lex memikirkan sesuatu.

Ia memungut bawang-bawangan dari balang bekas sosis sonez. Dihantarkan sejumlah cabai rawit merah dan tomat kedalam cobek besar. Tidak lupa Lex mencari tanaman apotek sehat seperti jahe atau sereh untuk membuat krengseng.

Ditengah kegaduhan mengulek-ulek bumbu tumis, bunyi langkah kaki seseorang menginterupsi. Lex berhenti sejenak, menyolek leher melihat siapa gerangan yang datang.

"Bang Lex tadi teriakin siapa didepan? Kayak ribut bener," ucap Leo muka lesu habis menelantarkan kasur tidurnya demi gairah bangun pagi.

"Wain. Uangnya ketinggalan diatas meja." Jawab Lex.

"Oh, yang katanya mau sarapan bareng Davin?" Lanjut Leo menguap tak terbendung. "Lah, terus nanti bayarnya pakai apa dong?"

Lex sembari mencegah cabainya keluar dari lingkaran cobek menggunakan colek lantas menyahut. "Entah."

Tak banyak protes Leo ungkap, perangkai Lex memang setipis kabut asap. Ia cukup paham dengan kebiasaan Lex yang kelewat suka mengacuhkan kondisi orang disekitarnya. Bukan hal menarik lagi Leo membahas masalah ini.

"Boleh gue bantu masak bang?" Ijin anak laki-laki beralis tebal pada pemuda dewasa dengan baby face diwajahnya.

"Tentu."

Lex dengan senang memberikan telenan ketangan Leo sambil mengangsurkan sebilah pisau dapur. Leo tersedak ludahnya sendiri ketika Lex justru mendekatkan ujung besinya yang pipih alih-alih gagang yang tumpul.

"Astaga! Kayak mau nikam orang aja," cicit Leo bergurau, diselingi rasa sungkan karena Lex tidak mau tertawa barang secuil.

"Memang."

"EH?"

"Iris daun seledri sama kupas kulit mentimunnya. Gue mau potong daging jadi beberapa bagian." Titah Lex seakan kata-kata singkatnya tadi bagai debu yang melekati kusen jendela dimata Leo.

"O---oke bang." Anak itu mengerjakan apa perintahnya tanpa mengaduh. Leo termenung sembari mengupas buah mentimun sesuai yang dipesan Lex sebelumnya.

Mereka bekerja dalam hening. Bunyi ketukan mata pisau dan telenan serta keributan yang Lex cipta bersama bahan-bahan dapurnya melengkapi isi kepala Leo saat ini yang terasa ingin meledak. Kalimat yang Lex ucapkan, kebiasaan bermuka datarnya, kemisteriusan kost ini. Semua bagai air keruh yang selayaknya butuh dikuras dalam kolam ikan supaya makhluk hidup itu dapat berkembangbiak dengan nyaman.

Leo tidak mengerti semua itu. Ada banyak sesuatu yang mereka sembunyikan. Tapi mereka yang dimaksud masih menjadi sebuah pertanyaan yang mengambang seperti kapal ditengah danau rawan akan keselamatannya. Leo bisa kapan saja tercebur kedalam volume air tanpa pegangan yang kuat.

Dan ini akan menyebabkan perahunya berpontensi rusak. Sama halnya kedua teman Leo.

"Jangan ngelamun Le," tegur Lex mendapati Leo hampir teriris pisau yang memecah badan seledri dengan tangkainya.

Leo patut menggoyangkan kepalanya. "Makasih udah diingetin bang."

"Kewaspadaan yang berlebih mampu membuat seseorang tersungkur tanpa mereka ketahui." Ungkap Lex, matanya terkunci memotret eksistensi anak laki-laki berkebangsaan Hongkong.

"Tapi ketidakwaspadaan juga dapat mengancam keselamatan seseorang bang." Leo membalas urung membisu sahaja.

Lex dari sisi tersembunyi tanpa Leo ketahui, sungging miring mematri dibibir tipisnya. "Dan lo harus hati-hati."

Sudah berapa kali kalimat itu ia dengar?

***

Teror || Xodiac ✓ (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang