27

368 82 22
                                    

"SING!"

Serempak semua pemuda meneriaki nama si bahan untuk bertaruh. Leo sampai-sampai rela bangun hanya untuk melindungi sahabatnya dari iblis jahat macam Lex. Beruntung Tuhan memberinya lebih banyak pasok tenaga meski berkali-kali Gibran menghajar habis raga Leo.

Terlihat nafas Sing terengah-engah dalam halang tangan Lex yang mencoba menghumuskan mata pisau kelehernya. Sedikit saja gerakan yang ditimbulkan, maka nyawa Sing bisa tiada.

"Lex, tolong jangan main-main sama benda itu. Pisaunya bahaya Lex!" Husein seru lelaki pendiam yang saat ini sedang menjauhkan dirinya dari jangkauan teman-temannya. Lex tidak akan mempermudah jalan masuk bagi Leo ataupun Davin yang hendak selamatkan nyawa Sing.

"Menjauh!" Ancamnya.

Leo merentangkan kedua tangannya supaya Davin dan Husein menjaga jarak terhadap Lex. Pisau itu sekarang diacungkan kedepan, berupaya menyakiti siapapun yang ingin menjangkaunya.

"Lex tolong! LEX!!!" Selain permohonan meminta dipungkasi acara menyandera, Husein hanya mampu menjerit tatkala wajah Sing sudah pucat seperti calon mayat.

"Mending lo mundur bang. Semakin lo berusaha ngedeketin Sing, maka bang Lex bener-bener akan nekad ngebunuh dia." Wain beri saran Tertua sambil menggaret kaos yang lelaki itu kenakan. Memang tidak ada yang bisa dipercaya lagi. Namun sebagai seorang yang dikaruniai rasa kemanusiaan, mau tak mau Wain harus ikut berusaha membantu.

Justru tolakan menghujam lewat mulutnya. "Iya terus gue harus apa Win?? Diam aja gitu?" Serobot Husein.

"MIKIR! KALIAN PUNYA OTAK KAN?" Davin mengutuk semua hyungnya yang tiba-tiba menjadi bodoh laksana nafsu melahap habis akal. "Kalian pernah bilang kalau kita itu sekarang temen. Tapi giliran salah satu ada yang disandera dan bakal mati terbunuh, lo gak mau mengakui dan berusaha buat nolongin dia. Omong kosong!"

Bomsu mengelus punggung anak itu lembut memberi saluran ketenangan. Davin kehilangan kestabilan emosinya, membalas membentak malah akan menimbulkan perang lidah yang tak ada habis-habisnya.

"Mata lo buram Dav?! Kita juga lagi mikir gimana cara nyelamatin Sing dari Lex. Lo jangan ngerasa sebagai pihak paling rugi di sini!" Bentak Wain menghiraukan bahwasannya mereka berdua pernah berteman klop sebelum ini.

Terlihat sia-sia perjuangan Bomsu meredakan Davin yang sedang marah. Pemuda bangir itu tidak dapat es untuk mengompres hati Davin, melainkan korek api.

"Emang pada kenyataannya begitu kok! Selama kita tinggal di sini, bukan ketenangan yang gue rasain, tapi sengsara terus!" Kutuk Davin.

"Itu ulah lo sendiri!"

"Udah stop! Ribut gak bikin Sing lepas dari cengkramannya Lex!" Potong Husein cepat.

Tangannya terulur mencapai pundak Leo, kemudian direngkuh seraya membisikkan sebuah tanya. "Leo, lo oke kan? Masih kuat berdiri?"

Entah bagian mana yang salah dari pertanyaan Husein, Gibran yang sejak tadi hanya diam dipojok pintu tiba-tiba menarik sudut bibirnya. Seolah Gibran menganggap Husein hanya berkeinginan memiliki kesan baik dimata Leo. Maka dari itu dia membantunya.

"Pencitraan." Gumam pemuda Kim.

"Masih bang." Leo mengangguk lalu Husein memapahnya berdiri.

"Bang Hus! Kayaknya kita harus secepatnya bertindak. Mungkin teror itu ada kaitannya sama kematian beruntun yang selalu dialami para penghuni kamar kost selama ini. Dan saat itu udah tiba, penerornya mau salah satu dari kalian mengorbankan diri secara sukarela. Bener kan?" Ujar Gibran terlepas dari dia yang baru tiga sekon lalu meremehkan kebaikan hati Husein.

Leo menolaknya mentah-mentah. "Nggak! Jangan mencoba ngehasut orang lain buat nuruti kemauan lo bang Gib!"

"Gue gak mencoba berbuat sesuatu yang salah Le. Justru kalimat gue barusan udah yang paling bener. Penerornya mau, ada satu nyawa yang harus dikorbanin. Dan kalian adalah salah satunya."

Opini yang masih mengambang ditengah-tengah itu menjadi bahan pertimbangan Husein. Apa yang Gibran ucapkan patut dipikirkan lebih matang lagi. Lagipula semua itu memang benar. Penerornya menginginkan sebuah nyawa. Namun dia tidak tahu nyawa siapa yang akan mereka pilih untuk dipersembahkan.

"Bang Hus, gimana nih? Masa' iya Sing yang harus mati?" Tanya Wain. Intonasinya terlalu enteng hingga membuat kontrol dari emosi Davin mematik kembali.

Lengah dalam situasi genting seperti sekarang, Wain tidak sadar jika arahan kepalan tangan Davin bersedia untuk memukulnya.

"Bangsat lo Bang!"

Bughh

***

Teror || Xodiac ✓ (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang