20

395 95 30
                                    

“Ribut bener mereka! Padahal berapapun usaha yang mereka lakuin, gak satupun akan berhasil.” Gibran cerca habis-habisan sekumpulan cowok kurang waras yang pagi-pagi buta suara berisiknya sudah mencuat sampai rumah pemuda bertindik itu.

Memang sedari tadi Gibran sibuk dengan gundukan tanah dibawah pohon mangga dan tidak sengaja mendengar keributan tak kepalang dari dinding belakang kos. Gibran menebak pasti suara itu berasal dari Husein cs.

Dikarenakan jendela terbuka lebar serta ruangan yang dibuat tidak untuk kedap suara, Gibran mampu menangkap setiap kalimat yang mereka bertujuh bicarakan. Aneh bin ajaib bagi Kim Gibransyah memiliki pendengaran sebagus itu sehingga bisa tahu obrolan apa yang Husein tengah perbincangkan.

Huh, bahkan ketika Davin berteriak pun dia sempat dilanda kaget sesaat. Omong-omong soal peneror? Gibran yakin mereka pasti membahas hal itu.

Ucapan mantap seorang Leo sewaktu menuduh Lex adalah dalang dibalik kejanggalan yang terjadi baru-baru ini juga menarik untuk dibahas Gibran. Dia suka keributan, apalagi main tuduh-menuduh begini.

Hahaha.

Pemuda yang mengenakan baju kasual dengan bercak tanah dibeberapa tempat itu berkelakar dengan keras. Cangkulnya ia lepas, kedua tangannya berkacak disamping pinggang.

“Tanah. Sebentar lagi rumah lo bakal kedatangan tamu baru.” Ucap Gibran seraya melihat ke arah bawah, senyum terukir tipis.

“Pengaruh bang Husein bener-bener udah kelewat batas. Dia tega numbalin bocah yang belum sebulan tinggal di kos ke penerornya daripada penghuni lawas.” Gumamnya bermonolog. “Ck. Ck. Ck.”

Sibuk sendiri merutuk nasib sial anak laki-laki yang merantau ke luar kota dengan tujuan pergi Praktik Kerja Lapangan membuat Gibran tak sadar jika langkah kaki seseorang mulai dekat padanya.

“Gib?” Samar-samar suara berat menyadarkan Gibran hingga memaksanya menolehkan kepala.

“Ayah? Kapan balik?” Dia kaget ayahnya datang tanpa mengirim kabar terlebih dahulu. Tuan Kim, begitu orang menyebutnya, dikenal gila kerja hingga jarang membesuk anaknya sendiri.

“Baru aja. Kamu sendiri ngapain pagi-pagi udah keluar rumah?”

“Biasa lah, Yah. Aku habis ngubur kelinci yang ditabrak tetangga samping rumah.” Gibran mengerlingkan matanya tepat jatuh ke arah bangunan sederhana dengan sepeda kayuh berada didalam pagar.

“Mulai ... Mulai...” Tuan Kim tahu maksud perkataan putranya.  “udahlah Kim, jangan libatin Zayyan buat mancing emosi ayah kalau itu maumu. Ayah gak akan termakan omonganmu.”

Gibran berdecih seraya membuang muka, sudah sangat paham mengenai tabiat pria itu ketika membaik-baikkan nama Zayyan dihadapannya.

“Ya gitulah sifat ayah. Emang cuma tetangga yang lebih menarik perhatian daripada putranya sendiri.” Sindir Gibran.

Tuan Kim gubris ucapan pemuda itu. Dia punya kabar seronok daripada membahas pasal dirinya yang tidak suka Gibran menjelekkan Zayyan setiap kali bertemu.

“Oh ya, ayah dapat kabar dari Lex, katanya korban kali ini penghuni kos yang baru ya?” Tanya Tuan Kim kim sambil menggulung lengan kemeja pastelnya sampai siku. Pria itu datang bersama setelan formal yang tampak sederhana namun uang yang dikeluarkan bisa mencapai harga satu unit moge.

“Aku mana peduli soal itu, Yah. Bukannya emang sejak dulu semuanya udah direncanain sama si peneror?” Gulir sepasang bola mata Gibran.

“Ya ... ayah gak punya pilihan kedua selain ikut alurnya aja kan,” Tuan Kim kim mengangkat bahunya. “Lagipula Sing atau orang-orang yang nyewa kos kita bukan tanggung jawab ayah juga.” Lanjut pria berbadan atletis itu meski usia boleh dikata tua.

Gibran tak berbohong bahwa culas miring dibibirnya muncul dengan sendiri. “Jelas lah! Orang ayah cuma peduli sama Zayyan doang.” Dia sambung terkekeh.

Tuan Kim kim menggelengkan kepalanya. “Kamu salah nak. Ayah tetep menganggap kamu prioritas utama ayah dari yang lain. Mungkin Zayyan emang ayah anggap sebagai anak. Tapi mau bagaimanapun, semua kasih sayang ayah cuma buat kamu. Putra ayah.”

“Termasuk ini?”  Tanya Gibran menatap serius orang tuanya itu.

“Ya.” Jawab Ayah dengan penuh keyakinan.

Lagi-lagi Gibran terkekeh seakan ucapan ayahnya hanya sebatas bualan.

***

Teror || Xodiac ✓ (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang