"Jadi lo nemu kesusahan apa aja tadi?"
Diterpa isu dikejar makhluk aneh yang sempat mengguncangkan seisi kost, Davin menatap takut-takut kearah Sing dan Leo. Ia baru saja masuk rumah setelah hampir setengah hari lamanya di bengkel cuma buat nunggu Bomsu jemput mereka.
Begitu saat Davin selesai membahas masalah kengerian teror yang Wain CS alami beberapa waktu lalu, baru lah Bomsu tiba menunggangi kuda hijau lewat aplikasi. Empu tersangka lantas disanksi Wain oleh tajamnya aksa, Bomsu memberi alasan yang kemudian dihujani senyum super maklum Davin.
"Sori ye, gue boker dulu. Gibran sih, pakai ngasih basreng segala! mana pedesnya minta ampao."
YAYAYA!
Davin dituntut esktra sabar mendengar penyimpulan mengapa Bomsu harus mengulur-ulur kedatangannya. Kalau bukan Davin saat itu tengah dehidrasi berat dan harus secepatnya dikasih air bening, maka cercanya akan timbul kala Bomsu mingkem.
"Gue mencoba untuk tidak menghujat bang Bomsu." Jemari Wain memperagakan seperti tengah mengunci pintu kamarnya tetapi objek tersebut diganti oleh benda empuk nan kenyal bernama bibir.
Akhirnya mereka bertiga pun pulang ke habitat sesungguhnya setelah Bomsu ringan tangan---khusus hari ini, membayar asuransi motor memakai uang pinjaman dari Lex terlebih dahulu.
Kenapa harus pemuda berwajah imut selain Zayyan? Karena Bomsu buntu sasaran lain untuk dijarah kekayaannya. Husein jelas pelit dimintai duit, Sing dan Leo masih anak-anak, belum saatnya Bomsu membegal mereka.
Namun kesukaan Davin kala membayangkan dapat menelan seliter air tidak secepat itu terwujud.
Perlahan, kakinya menjangkau kamar yang ia bagi bersama Bomsu usai melempar salam pisah dengan Wain. Ia memasuki ruang berbentuk persegi tersebut, ada dua insan berkostum serupa serigala tengah tersengih-sengih sembari menatap Davin seakan ingin menerkamnya lalu dilempar ke dapur Lex untuk dimasak menjadi oseng jeroan[hati].
Leo memberinya bola-bola api macam Boboiboy yang sigap bertarung bersama alien bernama pakcik Adudu. Bola api ini hanya berkaitan makna konotasi, bukan sungguh. Mana ada seorang Leo hidup dijaman yang mana cokelat saja bisa dibuat rebutan sampai berani menciptakan monster untuk memilikinya.
Hadeh, Davin tidak sudi temannya seperti itu. Cukup jadi Leo yang tampan dan baik hati saja.
Ah, ia nyaris melupakan pertanyaan yang sudah berapa lama terapung dan tak muncul tanggapan sama sekali. Lihat kan! Gara-gara asik memikirkan Boboiboy dan tetek bengeknya, ucapan Leo terlantar begitu saja.
"Dav, lo belum jawab pertanyaan kita." Ulang Leo. Pemuda itu mempertahankan mimik datar padahal aksinya masuk kamar orang lain kepergok pemiliknya sendiri.
Sing dan Leo santai aja, selagi yang lihat bukan Bomsu.
"Huhuhu! Gue capek, sumpah. Biarin gue neguk air dulu kek," ucap Davin. Berbekal lemak ditangannya kekar, ia tepis pinggang Leo menyusup galon disamping kasur.
Sing geleng-geleng memperhatikan temannya minum dengan tergesa. Tidak ada yang salah mengingat Davin memang belum mencicipi air setetespun sejak bangun tidur sementara sekarang jam 11.56.
Davin bukan Bomsu. Kekurangan cairan akan memperlambat pencernaannya. Dengan maksud lain, tinja didalam tubuh davin bisa mampet!
"Siap cerita?" Leo bertanya, terhidung dua, sesudah Davin mantap sendawa dihadapan Sing. Attitudenya dek!
Lalu mengalirlah semua pengetahuan yang davin pahami saat Wain menceritakan asal mula teror itu muncul. Dari awal hingga akhir, Davin membeberkannya kepada Sing dan Leo. Beragam reaksi davin tangkap, Sing lebih kerap membuat banyak keterkejutan. Membeda, Leo lebih banyak diamnya.
Kini adanya kejanggalan telah ketiganya temukan. Suatu misteri yang didapuk bisa membuat semua penghuni kost dihantui rasa penasaran, terlebih mendadak bermunculnya seorang manusia aneh yang diangkat Davin dari ucap.
Leo, pemuda juni itu lebih keheranan lagi. Dikuaknya isi kepingan puzzle yang mengadah penuh didalam kepalanya akhir-akhir ini. Tentang orang luar yang baru ia kenal, gelagat aneh setiap kali Zayyan dan Gibran bertegur sapa dengan mereka, dan soal daging.
"Aneh." Ujaran benak Sing.
"Apa terjadi sesuatu di kost'an ini?" Gumam Leo sembari melempar tatapan bingung kepada Davin dan Sing secara bergilir.
"Kalian sadar gak sih? Bang Husein sempet beri kita sinyal peringatan. Tolong kurangi berbuat ulah ya. Bener, sih, dia ngomongnya ke bang Wain, tapi kesannya---"
Davin sepenggalan menyela perkataan Sing sambil menutup kedua telinganya rapat-rapat. "Udah, jangan dilanjutin lagi!"
"Lo ... kenapa?"
Leo melihatnya gelisah, bukti yang kuat ada pada bahasa tubuh Davin yang bergetar.
"Gak tahu," Leo menerima gelengan kepala. sing merapatkan dua tekuk didahinya. "Tiba-tiba gue keinget sama perempuan yang naik sepeda tadi pagi, mukanya kelihatan punya banyak tanda tanya. Bang Wain bilang, tuh cewek bisa jadi penebar teror itu."
"Lo tenang dulu, Dav."
Sing membenarkan seraya mengelus pakaian Davin yang telah kuyup karena keringat diarea punggung. "Le, Dav. Kalian berdua jangan sampai lupa soal kedatangan bang Gibran malam itu. Dia berantakan, dan apa penyebabnya?"
Ungkit masa silam beberapa minggu, Leo mulai mencoba mengingatnya kembali. Gibran datang dengan baju noda tanah dibagian bawah, rambut lepek seperti terpaan hujan atau ... peluh?
"Ngubur kucing kan? Lo jangan bawa-bawa anak pemilik kost yang udah jelas gak bersalah sama sekali." Kata Davin tak mau menyudutkan Gibran.
"Justru itu, Dav." Sing menekankan. "Besar kemungkinan bang Gibran tahu sesuatu. Dia yang punya kost, otomatis dia yang lebih lama tinggal disini. Apalagi soal omongan kak Zayyan yang sering ngejelek-jelekin dia, aneh banget!"
"Berhenti bahas masalah itu sekarang." Pungkas Leo, bertindak merenggangkan dua awak yang sama-sama keras kepalanya.
Sing menolak. "Kalau kita lengah, bisa jadi teror bakal berlanjut dan nyerang kita juga."
Davin membelakangi, beranjak bangkit hendak ganti baju karena seharian ia beraktivitas dibawah sinar matahari.
"Terserah. Yang penting gue gak mau kenapa-napa." Ucap anak laki-laki berpipi tembam.
"Kita akan ngulik kebenaran itu." Leo memberi penambahan.
"Caranya?" Sing menyahut.
Leo menatapnya dalam penuh arti, usai sesudah Davin bergerak membungkam mulutnya seraya mengajarkan isyarat untuk diam sejenak.
"Shutt! Ada yang ngintip. Bang Gibran." Lirih Davin, suaranya tersekat.
***
// vaibesnya kek ngasih daging beneran
KAMU SEDANG MEMBACA
Teror || Xodiac ✓ (REVISI)
Horror[ horor, friendship, comedy ] ❛❛tidak ada sembilan, salah satu dari kita cuma kloningan❞ pertemuan yang cukup baik bila diingat-ingat. namun kesembilan lelaki itu tidak pernah tahu jika ancaman, intaian, serta teror kini menanti mereka. ...