•Chapter 4•

50 6 2
                                    

"Pertemuan pertama agaknya mengesankan untuk jiwa yang telah lama mengurung diri di lorong kesepian bersama gemintang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pertemuan pertama agaknya mengesankan untuk jiwa yang telah lama mengurung diri di lorong kesepian bersama gemintang."

***

Ardinita bersyukur hari ini tidak ada mata kuliah pagi. Jadi, bisa ndekem seharian di kamar sampai pukul dua siang. Terlebih lagi, insiden lima cowok asing yang entah datang dari mana. Membuatnya semakin malas untuk keluar dari singgasana.

Masih merebahkan diri sebelum salat duha, seketika terdengar suara gaduh datang dari luar kamar. Seperti bunyi panci terbanting ke lantai. Hingga gelas plastik terpental mengenai garpu dan sendok. Ya Allah, itu siapa, sih? Masih pagi lho ini.

Karena merasa terganggu, Ardinita akhirnya bangun, kemudian berniat mengecek keadaan luar.

"Astaghfirulloh! Lo ngapain, sih, Nand? Pagi-pagi pake berisik segala," omel Rudi. Dirinya baru saja mandi. Handuk basah masih melingkar di lehernya.

Sebuah rak lepas pasang berbahan plastik itu tidak sengaja ambruk karena kepenuhan oleh barang-barang berat. Ya, bisa dilihat ada panci segede gaban, cobek, setrika, dan masih banyak perintilan lain. Lagi pula, Nanda sepertinya salah beli rak.

"Ambruk, cui! Ah elah. Gimana ini? Padahal baru beli kemarin. Bisa-bisa gue diomelin sama mamak." Setengah mengantuk dia greget sendiri. Tidur paginya terganggu oleh rak miliknya yang roboh.

Rudi hanya menggeleng-gelengkan kepala. Tidak berlangsung lama Aziz menghampiri mereka berdua. Dia mengusap kedua matanya, ketiduran ketika sedang membaca Al-Qur'an selepas salat subuh. Sarungnya gajah duduknya masih melingkar di pinggang.

"Kenapa, Rud? Nanda pingsan? Mulai oleng?" tanyanya.

"Oleng pala lu! Lihat noh rak gue ambruk! Duh, mana ada yang rusak lagi, parah!" Nanda masih misuh-misuh.

Karena rasa penasarannya sudah tingkat dewa, Ardinita perlahan mendekati kamar nomor 4. Terlihat dua orang cowok sudah berdiri di depan pintu kamar itu.

"Heboh bener mereka," gumam Ardinita.

"Terus gimana rak lo? Mending beli lagi, gih. Banyak di sekitaran sini yang murah. Jangan kayak orang susah," sindir Rudi.

Nanda berdecak sebal. Dirinya bangkit dari posisi jongkoknya, lalu berkacak pinggang. "Tauk ah. Gue udah males mikir. Padahal ngerakitnya lumayan susah. Dah, ah!"

"Gitu aja nyerah! Pantes cewek-cewek pada males sama lu! Nggak mau berjuang, sih, lu!" Aziz ikut menyindir.

"Ada apa, sih? Ribut amat. Tetangga kos lain kebangun juga, tuh!" Suara Jemmy memecah keributan.

Hah? Maksud dia itu aku? Ardinita menunjuk diri sendiri. Iya, sih, niatnya mau santai-santai malah pada berisik. Gimana nggak kesel! Ta-tapi, kok, jadi tremor gini, sih!

Rudi dan Aziz menengok ke belakang bersamaan. Diikuti Nanda yang melongok dari balik punggung mereka. Semua mengalihkan atensi menatap ke arah Ardinita yang hanya diam, membeku. Seperti maling yang kepergok mau nyolong.

KOS 127 ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang