"Aku nggak minta dilahirkan di dunia ini, tapi tolong jangan menyalahkan kehadiranku yang sudah menjadi takdir Tuhan. Itu namanya sebuah penghinaan."
***
Bukan Semarang namanya kalau panasnya nggak nyelekit, menusuk permukaan kulit. Hingga terasa nyeri akibat terpapar sinar matahari yang entah kenapa lebih ganas di kota besar dekat pantai utara ini.
Pukul dua siang, Ardinita sudah berada di dalam kelas kuliah di lantai 2 seperti biasa. Kali ini, dia mendapat tempat duduk di pojokan belakang favoritnya. Dia merasa beruntung sebab dosen yang mengajar mata kuliah ini terbilang hobi bercerita panjang lebar dan membuat kantuk melanda.
Lelaki paruh baya memakai seragam putih berlogo instansi kampus pada sisi kiri seragam dipasangkan celana hitamnya itu masuk ke kelas sambil membawa tas punggung hitam berisi laptop. Terlihat kacamata miliknya menempel di hidung minimalis. Tidak lupa tatapannya setajam silet.
"Oke, kali ini kita bakal membahas bagaimana terjadinya X-ray. Ada yang tau gimana?"
Pak Dedi, namanya. Dosen bertubuh gempal. Tidak menjadi idaman siapa pun, karena selalu saja ketika mengajar membuat mabuk kepayang. Dirinya langsung mengitari ke seluruh penjuru kelas. Tidak sedikit mahasiswa yang diajarnya ketar-ketir karena takut tiba-tiba bahunya ditepuk, lalu disuruh menjelaskan pembentukan sinar X-Ray di depan kelas.
"Mampus, jangan sampe kena tunjuk sama dia," bisik Boni-cowok berambut ikal. Kulitnya hitam manis. Asalnya dari Nusa Tenggara Timur. Sejak tadi dirinya sudah keringat dingin.
"Kenapa kau, Bon? Biasanya pinter jawab. Kok, jadi ciut kali." Bowo, cowok Makassar menimpali sambil cengar-cengir sendiri. Mereka tampak adu mulut setelahnya.
Rata-rata, teman seangkatan Ardinita didominasi oleh orang luar Jawa. Karena banyak yang sengaja mencari pendidikan di pulau Jawa ketimbang daerahnya. Setidaknya, meskipun baru Diah yang mengakrabkan diri dengannya. Ardinita tidak pernah bosan mendengarkan keributan di kelas. Terkecuali geng rempong yang biasa menyenggolnya dengan sengaja.
Pak Edi berdeham. Lima menit menunggu. Belum ada satu pun mahasiswa di kelasmya membuka mulut, mencoba menjawab pertanyaan. Alhasil, dia mendekati bangku paling depan. Tempat di mana Keili, gadis batak Medan yang dikenal otak encernya. Hobi berkunjung ke perpustakaan saat yang lain memilih pergi ke kantin sarapan Soto Semarang.
"Yasudah, karena ndak ada yang berani jawab pertanyaan. Saya suruh Kei saja yang menjelaskan."
Tentu, bukan penolakan sebagai respons, melainkan senyuman semringah bersama hati yang gembira. Keili maju ke depan kelas. Dia mulai menjelaskan dengan menggambar peta konsep terlebih dahulu. Agar teman-teman lain bisa langsung memahami melalui gambar yang dibuatnya.
"Jadi, awan-awan elektron ini akan terbentuk ketika gesekan panas yang terjadi...."
Sementara Ardinita tanpa sadar malah melamun. Seolah pikirannya terhantui oleh sikap dan perilaku orang tuanya terhadap dirinya. Selama ini, Ardinita hanya tau soal pengabaian, tidak untuk kasih sayang. Dia merasa hampa, tapi tidak ada yang peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOS 127 ✔️ [END]
Teen FictionLangit, senja, dan Coki adalah karibnya. Menikmati kesendirian sudah menjadi rutinitas Ardinita Alamanda. Terlepas dari semua hiruk pikuk duniawi yang pernah mampir tanpa ada keinginan untuk membuatnya bahagia. Berkat Coki, hidupnya yang semula sep...