"Belum tentu senyuman yang terukir itu merupakan kebahagiaan sesungguhnya. Bisa jadi dia adalah kamuflase dalam menyembunyikan rasa sakit."
***
"Sini, aku bantu bawain embernya."
Dari tadi memang Jemmy si paling diam. Hanya memperhatikan Ardinita tersenyum bersama temannya yang lain. Entah mengapa hatinya seolah tergerak untuk menawarkan bantuan yang tidak seberapa.
Kali ini Ardinita dibuat membeku. Padahal barusan Rudi pun menawari bantuan. Sekarang Ardinita cuma pasrah tanpa ada penolakan. Ember cucian miliknya langsung diangkat oleh Jemmy.
"Wiiiii!!!!" Seperti biasa Rudi dan Nanda heboh sendiri. Mereka menyaksikan adegan romantis dadakan di rooftop sambil menunggu senja. Sesekali Aziz tertawa. Dia duduk sambil membuat garis pinggir sebagai batas gambarnya yang akan dibuat nanti. Setelah batas pensil selesai dibuat dirinya menambah batas lain dengan masking tape agar kelihatan lebih rapi lagi.
"Tumben, Jem! Perhatian banget sama anak orang. Biasanya mah...." Ipul menyindir.
Jemmy mendesis. "Tsk. Gue mah peka liat cewek bawa barang bawaan berat gitu. Kalian aja yang nggak peka." Setelah itu Jemmy pergi ke lantai bawah sambil membawa ember.
"Enak aja! Tadi, gue nawarin duluan, atuh!" Rudi tidak terima.
Eh, mau di bawa ke mana emberku?
Spontan, Ardinita langsung mengejar Jemmy, ikut turun ke lantai dua. Peka, sih, peka, tapi dia main bawa ember orang aja. Padahal bawa sendiri juga bisa. Nggak seberat itu, kok!
Ipul geleng-geleng kepala. "Setelah sekian lama Jemmy jadi cowok cuek, galak, dan kalian tau sendiri, lah. Hari ini, aku liat dia agak beda dikit. Apa mungkin...."
"Jatuh cinta? Masa, sih? Belum keliatan. Ngarang lo Pul!" cibir Rudi.
"Bisa jadi iya. Bisa jadi enggak." Aziz menimpali.
Ketika keduanya sudah turun. Ardinita menghentikan langkahnya sedikit berjauhan di belakang Jemmy. Cowok itu berhenti, kemudian berbalik arah.
"Anu, ini mau taruh di mana?" tanyanya.
Makanya Jemmy. Kalau bawa ember jangan sembarangan! Izin dulu atuh. Lagian, itu daleman uwe pake nongol paling atas lagi!
Hati Ardinita menjerit.
"Taruh di depan kamarku aja. Nanti biar aku urus sisanya. Makasih udah repot-repot bawain," jawab Ardinita datar. Lebih tepatnya sok cool.
"Oh, oke. Maaf, ya. Aku taruh sini, ya." Jemmy menaruh ember warna hijau lumut persis di depan kamar nomor 5. Karena tidak ada lagi yang perlu dikatakan, Ardinita melanjutkan langkahnya cepat, berniat masuk ke dalam kamar.
"Anuu...." Jemmy menahan Ardinita dalam sekejap.
"Iya?"
"Ngomong-ngomong, kamu fanatik warna ijo, ya? Soalnya semuanya serba ijo."
KAMU SEDANG MEMBACA
KOS 127 ✔️ [END]
Teen FictionLangit, senja, dan Coki adalah karibnya. Menikmati kesendirian sudah menjadi rutinitas Ardinita Alamanda. Terlepas dari semua hiruk pikuk duniawi yang pernah mampir tanpa ada keinginan untuk membuatnya bahagia. Berkat Coki, hidupnya yang semula sep...