"Ternyata, masih banyak orang baik yang peduli dengan kehadiranku di dunia."
***
MASIH fokus memandangi layar ponselnya yang sengaja ditaruh di atas meja, Diah menunggu balasan chat dari Ardinita selagi dosen anatomi fisiologi menerangan materi. Setengah jam berlalu, tetapi notifikasinya tidak memperlihatkan adanya chat masuk dari siapa pun. Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka di antara keheningan mahasiswa di ruangan bernuansa putih itu. Cowok berkemeja hitam polkadot putih masuk begitu saja setelah mengucap salam, kemudian langsung mendekati Bu Emi—dosen anatomi fisiologi yang sedang mengajar.
"Pagi, Bu. Maaf menganggu sebentar. Izin, saya ingin memberi ini sebagai surat izin sakit atas nama Ardinita Alamanda." Jemmy menyodorkan amplop warna putih kepada Bu Emi yang langsung diterimanya.
Seketika bisik-bisik mulai terdengar di kelas. Begitu pun Diah yang spechlees sampai bingung mau merespons apa.
"Eh, cakep banget. Siapa, sih, doi? Kok, bisa kenal sama Ardinita?" celetuk Vinara bersama teman satu gengnya.
Bu Emi berdeham. "Maaf, kamu siapa, ya? Kayaknya bukan dari kampus ini?" Mengingat pakaian Jemmy terkesan bebas dibanding yang lain terlihat senada, ciri-ciri kampus kesehatan, berbeda dengan kampus pada umumnya.
"Hehe, maaf, Bu ... perkenalkan nama saya Jemmy Raja Pratama. Panggilannya Jemmy. Salam kenal, Bu dan semuanya," ucap Jemmy percaya diri.
"Jemmy, ya? Siapanya Ardinita? Kakak, sepupu, atau pacarnya?" Pertanyaan Bu Emi spontan membuat cowok itu mendelik.
"Anu, saya saudara sepupunya, Bu. Kebetulan dia nitip surat izin gitu." Jemmy gelagapan. Sebisa mungkin dia menguasai keadaan dan jangan sampai ketahuan kalau kenyataannya dia satu indekos dengan Ardinita. Bisa geger satu kompi nanti.
Bu Emi mengangguk. "Oke, Mas Jemmy yang baik hati sudah mau mengantarkan surat izin ini. Terima kasih, ya? Dan salam buat Ardinita supaya cepat sembuh."
Setelahnya Jemmy pergi meninggalkan ruang kelas. Tidak mau ketinggalan, Diah izin ke belakang, alasannya mau ke toilet. Namun, sebenarnya dia ingin mencegat Jemmy untuk menanyakan lebih lanjut dari keadaaan Ardinita.
"Anu, Mas, Mas, tunggu!" panggil Diah. Dia tergopoh-gopoh turun dari tangga mengejar Jemmy yang sudah ada di bawah dan berjalan ke arah gerbang keluar kampus.
"Ya? Kenapa, Mbak?"
Diah menarik napas lebih dulu. "Anu, Mas Jemmy, 'kan? Kok, bisa kenal sama Ardinita? Dari mama kenalnya? Terus, masalah surat izin...."
"Ah, dia nitipin itu ke saya," jawab Jemmy jujur—padahal hoax.
"Kalian satu kos? Atau gimana?" Diah penasaran. Menurutnya Ardinita jarang sekali terlihat dekat dengan seorang cowok, tapi kenapa tiba-tiba Jemmy datang ke kampua dan membawa surat izin sakit? Kan, ada-ada saja jadinya.
Terdengar kekehan dari Jemmy. Cowok itu menyembunyikan segala kebohongan lewat tawa kecilnya. "Nggak, kan, tadi udah dibilang, kita itu sepupu."
"Anu, saya mau pergi ke kampus dulu ya, Mbak? Udah telat, nih." Alih-alih melarikan diri dari serenteng pertanyaan, Jemmy beralasan untuk pergi ke kampus padahal dia belum ada jadwal kuliah sama sekali.
"Apa aku ikutin sebentar, ya?" gumam Diah, lalu gadia itu mengikuti Jemmy pergi dengan cepat dari belakang.
Di tempat lain, Ardinita terbangun dari mimpi buruknya. Dia mencoba duduk sambil memegangi kepalanya yang terasa nyeri. Dia teringat oleh ucapan Jemmy soal izin ke dosen karena Ardinita sakit.
"Dia beneran ke kampusku nggak, sih?"
Kalau sampai Jemmy beneran ke sana, sungguh Ardinita ingin memberinya bogem mentah telah mempermalukannya sebagai mahasiswa dan pasti setelah Ardinita sehat, kemudian kembali ke kampus, ada segudang pertanyaan dari teman-temanya yang membuatnya malas menjawab.
Diah terus mengikuti ke mana Jemmy berjalan. Rupanya, cowok itu kembali ke indekos 127 yang lokasinya tidak jauh dari kampusnya. Sesampainya di depan gerbang, Diah tidak mencoba masuk, gadis itu hanya melihat sekitar sambil menelisik hingga mendongak untuk memastikan bangunan ini bertingkat atau tidak, nyatanya iya.
"Ardin pernah bilang, dia kosnya nggak jauh dari kampus. Jangan-jangan kos 127 ini? Hm, aku coba ke sini nanti, deh."
Puas memandang keseluruhan bangunan, Diah kembali ke kampus. Niat hati, selesai perkuliahan nanti dia akan mencoba berkunjung ke kos 127 itu. Barangkali memang benar kos teman dekatnya atau dia bisa bertanya ke Jemmy di mana kos Ardinita berada.
***
"Alhamdulillah, Nand. Kapan kamu balik ke Semarang?" tanya Ardinita. Karena kabar gadis itu sakit sampai ke telinga cowok itu, setelah urusan ibunya kelar, Nanda langsung menelpon Ardinita, si paling berjasa atas kepulangannya ke Jakarta.
"Udah enakan beneran, kan, badanmu, Din? Gue insyaallah pulang nanti sore ke Semarang. Kondisi ibu gue semuanya udah aman. Kelamaan di Jakarta sampe lupa kalau gue harus kuliah," jelas Nanda panjang lebar. Mengingat hampir lima hari dirinya absen perkuliahan, Nanda hanya takut ketika masuk kembali, sudah tidak dianggap sebagai mahasiswa di jurusannya.
Ardinita terkekeh." Iye, Nand. Kalau nggak sehat ngapain aku angkat telponmu, lho. Syukurlah kalau Ibu udah membaik, Nand. Hati-hati nanti ke Semarangnya."
"Oke, sip, Ardinita. Gue bawain sesuatu buat lo, tapi jangan kepo dulu, ya...."
Mendengar dua orang saling bercakap-cakap lewat sambungan telepon, Jemmy jadi penasaran. Suara Ardinita terdengar seperti sebelum dia sakit. Sesekali dia mendengar gadis itu tertawa sendiri. Kira-kira bersama siapa dia berbincang? Satu pertanyaan yang membuat Jemmy seketika panas dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOS 127 ✔️ [END]
Fiksi RemajaLangit, senja, dan Coki adalah karibnya. Menikmati kesendirian sudah menjadi rutinitas Ardinita Alamanda. Terlepas dari semua hiruk pikuk duniawi yang pernah mampir tanpa ada keinginan untuk membuatnya bahagia. Berkat Coki, hidupnya yang semula sep...