"Seharusnya, masa lalu bisa teredam ketika masa depan telah menyapa di kemudian hari. Bukan sebaliknya, malah menyakiti hati milik seseorang yang tidak tahu salahnya ada di mana."***
Sepasang suami istri saling diam di ruang tamu. Mereka tidak duduk bersebelahan melainkan ada jarak yang memisahkan. Salah satunya sambil menyeruput kopi hangatnya. Satunya lagi terus memasang wajah ketus ingin menyampaikan sebuah keluh kesah yang terpendam selama ini. Dia menahan agar keadaan membaik seiring berjalannya waktu. Namun, ekspetasinya meleset jauh dari perkiraan.
"Mas Dharma udah keterlaluan."
"Keterlaluan gimana maksud kamu?"
"Nggak seharusnya bicara kayak gitu di depan orang banyak apalagi ke anak sendiri."
Dharma berdecak sebal. "Ngaca dulu, kamu sama aja dan malah ngikutin aku, toh, keluar? Emangnya kamu ngejar anakmu tadi."
Seperti tertampar oleh ucapan sendiri, perkataan Dharma barusan berhasil membungkam mulut Wijayanti. Seketika dia tersadar oleh kelakuannya sendiri.
"Udah kubilang, toh, kalau dari awal kita berhasil ngegu--" Ucapan Dharma dijeda paksa oleh Wijayanti. Wanita itu tidak mau mengingat lagi masa lalu yang menjadikan penyesalan kembali menguar, merusak pertahanan hati. Perasaan bersalah karena belum menjadi orang tua yang baik semakin banyak. Menyebabkan Wijayanti takmau berdamai dengan masa lalu, berujung Ardinita menjadi korban dari semuanya itu.
"Diem, Mas! Sudah kubilang ndak usah ngungkit masa lalu. Kamu selalu aja gitu, tapi nggak pernah sadar diri!" Suara Wijayanti meninggi.
Sekelebat masa lalu terlintas soal keinginan Dharma dan Wijayanti yang tidak akan pernah terwujud. Keduanya menginginkan bayi laki-laki sama seperti kelahiran putra pertama mereka, Abimanyu. Namun, nyatanya Tuhan berkehendak lain. Lahirlah anak perempuan kecil bermata bulat sebagai adik bungsu Abimanyu.
"Mas Dharma liat! Anak kita perempuan, lucu banget masyaallah," ucap Wijayanti kala itu. Kedua matanya berbinar mendapat anugerah Tuhan untuk mendapatkan bayi perempuan. Awalnya Dharma berusaha menerima dan tidak akan membuat sang istri tercinta kecewa dengan bayi perempuan itu karena bukan termasuk keinginan sang suami. Lambat laun, bayi itu tumbuh dan berkembang menjadi gadis biasa yang cantik bernama Ardinita Alamanda, perhatian keduanya mulai terkikis tatkala Abimanyu memperlihatkan kepintaran dibandingkan Ardinita yang berkebalikan, lebih santai dan selow menjalani hidup.
"Udah kubilang, kan, kalau kita lebih baik nggak usah punya anak lagi." Setiap hari Dharma terus merecoki Wijayanti dengan pernyataan yang sama. Seolah-olah kehadiran Ardinita tidak pernah mendapat restu dari dirinya. Padahal takdir Tuhan siapa yang tahu.
Wijayanti mendengkus kesal. "Mas, Ardinita juga anak kita, nggak cuma Abimanyu. Tolong jangan bedain dia, Mas...."
"Halah, nggak dibedain pun udah beda, Wi. Kamu nggak usah naif dan berusaha nyembunyiin kejujuranmu sendiri kalau emang kamu pengen anak laki-laki bukan perempuan," jelas Dharma.
Perlahan, Wijayanti jadi terpengaruh oleh perkataan suaminya dan lebih mementingkan masa depan Abimanyu. Anak sulungnya itu makin hari butuh dukungan dari keluarga. Sebab, menjadi anak ambisius dan selalu berada di jajaran satu paralel terkadang membuatnya stres sendiri.
"Bu, Abim butuh ketenangan, kalau suara tivinya gede banget kayak gitu, gimana aku mau belajar?" Perkataannya itu tanpa sadar membuat Ardinita yang sedang serius menonton serial kartun kesukaannya terpaksa diusir oleh Wijayanti. Ibunya menyuruh Ardinita agar bermain saja di luar rumah dan kembali ketika Abimanyu selesai belajar.
"Tapi, Ardin pengen di rumah, Bu!" Ardinita kesal. Dia memaksakan diri untuk tetap di rumah.
"Tolong pengertiannya sebentar, Nduk. Kakak laki-lakimu itu mau belajar. Emangnya kamu belajar juga? Nggak, 'kan?" Wijayanti mencoba memberikan sebuah pengertian kepada anak perempuannya.
"Tapi, nggak kayak gini caranya, Bu! Masa Ardin harus main keluar rumah. Padahal di luar itu lagi panas! Ibu pilih kasih!
Setelah itu, Ardinita pergi ke kamarnya. Dia menutup pintu sampai suaranya menggentarkan seluruh bagian dari rumahnya.
Ardinita tidak mengerti dengan kedua orang tuanya. Hanya karena Abimanyu belajar terus setiap hari, sedangkan dirinya tidak, lebih memilih bersenang-senang, jadi dibandingkan dan berujung pilih kasih.
Sampai detik ini, Ardinita masih merasa, seharusnya dia tidak usah dilahirkan ke dunia kalau memang bikin repot kedua orang tuanya. Buat apa?
***
"Kok, nggak diangkat, ya...."
Cowok berkemeja kotak-kotak hitam itu berkali-kali menelpon adik perempuannya, tetapi hanya nada 'tuuut' panjang yang terdengar. Lima belas menit berlalu, akhirnya Abimanyu menyerah. Dia memutuskan untuk masuk lagi ke kelas perkuliahan. Dia hanya berharap Ardinita dalam keadaan sehat setelah insiden mengurung diri di kamar dan tidak mau keluar untuk beberapa waktu.
Di tempat lain, sama seperti Abimanyu, Diah berkali-kali mengecek ponselnya untuk tahu kabar Ardinita. Raut wajahnya terlihat gelisah sendiri. Kedua kakinya dihentakan ke lantai. Dia menunggu sebuah pesan terbalaskan dari sepuluh menit yang lalu. Rasanya, tumben sekali teman dekatnya itu tidak berangkat ke kampus tanpa kabar yang jelas. Diah pun belum tahu alamat indekos Ardinita ada di mana. Dia hanya tahu namanya saja, itu pun meragukan.
"Diah, mana sahabat lo? Belum berangkat?" tanya Vinara seraya mendekati kursi, tempat Diah duduk. Ketiganya menatap sinis ke arah gadis aceh itu. Merasa ada aura kemenangan ketika Ardinita belum menampakan batang hidungnya di kelas pagi ini.
Malas menjawab, Diah hanya mengangguk saja. Kenapa tuga serangkai itu harus peduli dengan keberadan Ardinita? For what? Padahal biasanya juga nge bully, batin Diah saat ini.
Vinara berdeham. "Mungkin dia kecapekan kuliah kali, ya? Hahaha," ujarnya sambil terbahak.
Capek kuliah? Tidak, kok. Ardinita lebih capek fisik dan batin. Sebagian orang mungkin tidak akan merasakan bagaimana rasanya hidup di dalam keterpurukan sebagai anak bungsu yang kurang dianggap di keluarganya.
"Capek ngadepin kalian lebih tepatnya," gumam Diah setelah Vinara dan gengnya melangkah kembali ke tempat duduk mereka.
Suara pintu terketuk berulang kali membuat sang pemilik kamar sedikit terbangun dari tidurnya.
"Ardin? Din!" Terdengar suara Jemmy memanggil dari luar. Cowok itu ingin memastikan keadaan Ardinita yang tampaknya sudah lebih sehat dari sebelumnya. Namun, sampai jam delapan lewat, kamar Ardinita masih terbilang sepi. Tidak ada kegaduhan seperti biasanya—saat Ardinita bersiap pergi ke kampus.
"Hm?" Ardinita hanya bisa berdeham tanpa membalas menggunakan kalimat panjang. Dia pun masih berselimut tebal di tempat tidur. Suhu tubuhnya perlahan turun, tapi berkeringat dingin.
Jemmy menghela napas. "Kamu nggak masuk kuliah, Din? Ini udah jam delapan lewat lho," ucapnya pelan dan berharap Ardinita segera keluar kamar. Faktanya, setelah sepuluh menit berlalu, belum ada respons lagi dari si gadis.
"Din? Kampusmu yang kemaren, 'kan? Aku izinin kamu sama dosenmu, ya?" Setelahnya, Jemmy langsung berlalu pergi. Di dalam, Ardinita hanya pasrah saja mendengar tetangga kosnya berkata begitu.
Ngapain dia nanya-nanya kampusku ya Allah? Kalau aja aku nggak tumbang, udah kugeprek itu orang, ucap Ardinita dalam hati, kemudian dia memejamkan mata lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOS 127 ✔️ [END]
Roman pour AdolescentsLangit, senja, dan Coki adalah karibnya. Menikmati kesendirian sudah menjadi rutinitas Ardinita Alamanda. Terlepas dari semua hiruk pikuk duniawi yang pernah mampir tanpa ada keinginan untuk membuatnya bahagia. Berkat Coki, hidupnya yang semula sep...