•Chapter 23•

25 1 0
                                    

"Di luar kuasa kita sebagai manusia, faktanya ada banyak kuasa-Nya mendominasi dengan berbagai kejadian unik yang tidak terduga."

***

SORE ini, Aziz ada kuliah lapangan. Seperti biasa dia ditugaskan oleh dosen untuk mengambil beberapa sektsa gambar menggunakan drawing pen di sekitaran kampusnya. Beberapa temannya terlihat menggerombol di satu tempat. Gedung fakultas teknik industri menjadi incaran mereka karena desainnya sedap dipandang mata. Kaca-kaca mengkilat tampak meng highlight seluruh bagian dari gedungnya.

Akan tetapi, tidak dengan Aziz. Dia memilih gedung fakultas sendiri dengan suasana di sekitarnya yang asri. Dia ditemani Aldino yang duduk tidak jauh dari tempatnya. Keduanya belum ada tegur sapa. Mengingat tempo lalu, Aziz memergoki Habibah dan Aldino berbincang akrab, ada percikan api cemburu mendadak terbesit di hatinya.

Beruntung, Aziz adalah mahasiswa yang lumayan aktif di berbagai organisasi serta sering kali menjadi narasumber dalam rangka mengisi kajian, hal ini membuat pikirannya tidak tercampur oleh overthinking kurang jelas dan mengakibatkan galau berkepanjangan.

"Ziz? Lo gambar apaan?" Suara Aldino terdengar dari kejauhan. Tanpa mendekat dia bertanya. Mungkin karena terlalu hening di antara keduanya, dia merasa aneh dan berkeinginan menyapa, biasanya pun mereka akrab.

Aziz berusaha profesional. "Gedung fakultas kita aja, Al." Dia tidak bertanya balik karena tidak mau berbasa-basi berlebihan.

"Mas!" Suara yang tidak asing di telinga Aziz terdengar. Derap langkah dari kejauhan milik seorang gadis yang dia kagumi perlahan mendekat ke arah tempatnya menggambar sketsa bebas.

Habibah? Ngapain? Eh, kok, ke tempat Aldino? Hmmm.

Terlihat Habibah memberikan satu kantong plastik berlabel Alfi-Mart berisi sebotol air mineral dan dua bungkus roti. Aldino pun semringah ketika menerima pemberian itu. Selang beberapa waktu, Habibah mendekati Aziz yang dari tadi sudah panas dingin karena cemburu buta.

"Lho, ada Kak Aziz juga, toh." Gadis berkerudung pink muda itu langsung duduk di sebelah Aziz. Cowok itu hanya tersenyum kecil tanpa menoleh apalagi menyapa Habibah.

Merasa terabaikan, Habibah mencoba bercerita asal agar Aziz merespons.

"Kak Aziz, kemaren aku habis ikut kajian online di Youtube. Uztaznya jelasinnya enak banget, kayak Kak Aziz pas ngisi kajian di masjid kampus. Keren, deh."

"Enggak, lah. Aku remahan rengginang dan masih jadi faqir ilmu," jawab Aziz cepat seraya menahan gengsinya yang masih meninggi. Dalam hati, sebenarnya dia senang ketika mendapat pujian itu apalagi dari seseorang yang dia pendam dalam hati. Namun, diingat lagi kalau bisikan setan selalu ada dan menghasut manusia.

Habibah berdecak sebal. "Ish, apaan, Kak. Memang bener, kok ... kata Mas Aldino, Kak Aziz emang idaman para ciwi-ciwi."

Hm, Mas Aldino?

"Oh ya, Kak. Aku belum kasih tahu, kalau Kak Aldino itu Masku kandung yang ternyata satu kelas sama Kak Aziz. Ehe, maaf ya, Kak."

Hah? Gimana? Kakak kandung?

Spontan, Aziz menghentikan gerakan tangan kanannya, lalu menoleh ke samping. Wajahnya memasang ekspresi setengah bingung disertai kernyitan di dahi.

Habibah mengangguk. "Iya, Kak. Mas Aldino itu kakak laki-lakiku. Makanya, aku agak sering, kan, ke fakultas arsitektur. Ya, karena dia suka nitip dibeliin makanan sama suka ada barang yang ketinggalan di rumah, lupa dia bawa ke kampus," jelas gadis itu meyakinkan.

Jadi, selama ini, Aziz cemburu buta dan tiada artinya? Kenapa bisa begini coba? Sekarang, cowok itu merasa malu sendiri. Tanpa sadar, dia tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. Untuk menghindari salah tingkah berlanjut, dia pun melanjutkan sketsanya.

Kak Aziz kenapa? Kok, ketawa sendiri? Emangnya aku habis ngelawak? batin Habibah. Dia pun langsung mengambil ponselnya, lalu membuka kamera depan untuk mengecek kondisi mukanya.

***

"Aku mau kita putus, Rud."

"Lho? Kenapa? Baru seminggu, lho, kita jalanin hubungan ini."

Perempuan berambut panjang hitam sedikit sentuhan ombre alias campuran kedua warna hijau tosca dengan ungu pada bagian bawah mendekati ujung itu terlihat kesal. Tergesa, dia pun membereskan barang bawaan yang sempat tercecer di atas meja makan berlapis taplak putih. Steak wagyu dan minuman yang baru saja diantar pun belum dimakan olehnya. Dia memilih bangkit dari kursi setelah beres, tapi Rudi menahan keinginannya agar tetap tinggal.

"Mau ke mana? Lo belum jawab pertanyaan gue," ucap Rudi bernada serius sekaligus memohon. Gayatri‐-itu nama sang gadis, dirinya tetap bersikukuh pergi dari tempat makan steak setelah dikecewakan.

"Apa yang harus gue jelasin ke lo?" Bahasa aku-kamu perlahan lepas dari keduanya.

"Jelasin kenapa lo minta putus ke gue. Apa susahnya?" Rudi melepas cengkraman tangannya.

Gayatri mendengkus. "Tsk. Gue tau lo playboy. Makanya plin plan. Inget, Rud, nggak semua cewek bisa dimainin dan gue nggak sudi diperlakukan begitu."

Setelahnya, tinggallah Rudi sendiri bersama dua piring steak wagyu yang dibiarkan di atas meja. Akhirnya, dia memakannya seorang diri diiringi senyum kecil terukir di bibir. Dalam hati berkata, 'Ya, beginilah hidup. Mau gimana lagi, haha.'

Bukan Nino Baskoro Rudi namanya kalau tidak gonta ganti cewek. Setiap ada cewek cantik lewat, dia pasti terpesona, lalu mengajak berkenalan. Ketika mulai intens, entah kenapa Rudi merasa kalau dirinya mulai bosan dan ingin berpindah ke lain hati. Terakhir kali, Rudi hanya berhasil menjalin hubungan selama tiga bulan, hasil dari kencan buta. Selain itu, tidak pernah lagi. Malah hari ini dia habis dicampakan karena plin plan.

"Hm, enak juga, ya ini steaknya. Gayatri kenapa, sih, nggak mau makan dulu. Aneh banget emang kalo cewek udah putus terus pergi aja, sempetin makan, kek," gumam Rudi tanpa beban selagi mengunyah potongan steak wagyu di dalam mulutnya.

Tanpa dia sadari, Gayatri belum keluar dari tempat makan. Dia memandang Rudi di dekat pintu masuk. Sebetulnya, ada perasaan enggan pergi dari cowok itu, tetapi hati dan pikirannya seolah bertolakbelakang.

"Gue tahu lo kesepian, Rud."

Setelah kepulangan Diah, Ardinita merebahkan diri lagi di kasurnya, tetapi tidak dengan berselimut tebal melainkan penuh perenungan. Berbincang bersama Diah ternyata menghasilkan banyak pelajaran hidup yang berkesan untuk gadis itu. Soal menghargai, melepaskan, dan ikhlas.

Ardinita jadi ingat soal Coki yang sudah lama tidak dia dengar kabarnya, bahkan hatinya sempat melupakan meskipun sesekali terbesit keinginan untuk bertemu.

Namun, sepertinya Ardinita harus melepas kepergian Coki mulai detik ini. Mungkin, Coki hanya disiapkan Tuhan untuk menemani masa kecil menuju remaja, tetapi tidak dengan proses pendewasaan.

"Say goodbye to Coki right now."

KOS 127 ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang