"Manusia menang pandai menyembunyikan rasa, terutama perasaan bersalah. Seharusnya mereka bisa jujur. "
***
Semilir angin malam menerpa wajah milik Ardinita. Kini, dia telah berada di rooftop selepas salat Isya. Tidak lupa teleskop bintangnya menemaninya menyepi dari hiruk pikuk dunia. Sebentar lagi dirinya akan PKL. Sebulan tidak di indekos 127, melainkan di kota orang bersama dua orang yang--kurang akrab--dengannya. Namun, itu tidak menjadi bagi Ardinita, hanya saja apakah dia mampu bertahan dengan segala situasi tak mengenakan?
Dia ragu.
Terlepas dari itu semua, ada sesuatu yang mengganjalnya sejak tadi. Soal masa lalu. Lebih tepatnya, Soal Habibah. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama dirinya dan teman dekatnya dulu bertemu. Hanya saling pandang, tanpa berucap, tetapi mampu membuat secuplik momen membekas di dalam pikiran.
Sekarang, berbagai pertanyaan muncul dalam benak Ardinita, seolah menghunjam sebuah perasaan yang dia pendam selama ini. Perasaan bersalah karena telah egois, memikirkan diri sendiri.
Apa, kata maaf yang ingin diucapkannya masih bisa diterima oleh seseorang yang diharapkan?
"Hidup itu rumit banget, ya, ternyata."
"Banget."
Spontan, Ardinita menoleh ke belakang. Ada Rudi berjalan mendekat sambil tersenyum tipis. Dia duduk di atas lincak selagi gadis berkerudung bergo hitam berjongkok di sebelah teleskop bintangnya.
"Kadang, kita udah terlalu percaya diri, nyatanya nggak berarti apa-apa," tambah Rudi. Dia mengeluarkan kedua tangannya dari saku celana, kemudian melihat ke arah teleskop bintang milik Ardinita.
"Lo mau cari bintang?"
Ardinita berdeham, mengangguk. "Iya, udah lama aku nggak menepi kayak gini. Cari bintang, bulan, atau malah planet-planet yang kebetulan kelihatan. Seru rasanya. Menenangkan buat hidupku yang penuh huru hara."
"Kayaknya tiap manusia hidupnya penuh huru hara, deh. Cuma kadarnya aja yang beda."
"Iya itu maksudku." Ardinita mulai fokus memutar-mutar lensa untuk mendapatkan fokus. Sejak tadi, hanya kelabu awan yang bergumuk di kanvas hitam. Sepertinya, kali ini dia pupus harapan. Para bintang enggan menampakan diri di antara awan-awan mendung itu.
"Semarang udah mulai banyak polusinya. Mau cari bintang atau apalah, malah dapetnya mega mendung. Mending beli batik sekalian ya nggak, sih?" ujar Rudi bermaksud bercanda.
Ardinita beranjak dari tempatnya, lalu duduk di sebelah Rudi. Dia menghela napas, merasa sedikit kesal karena objek langit incarannya tidak berhasil didapatkan.
"Padahal aku mau ngobrol sama bintang kalo ketemu mereka."
"Mending ngobrol sama gue, Din. Kalo bintang, kan, jauh banget di atas sana," ujar Rudi.
"Enaknya kalo ngobrol sama bintang nggak ada yang respons atau pun nge judge, Kak. Mereka bakal diam aja dan ndengerin kita. Beda sama manusia."
"Beneer, Din, tapi nggak selamanya kita mau begitu aja, 'kan? Pasti pengen direspons juga, 'kan?"
Ardinita mengangguk kecil.
"Gue lagi patah hati, Din. Lo pengen dengerin secuil keluh kesah gue, nggak?"
"Patah hati? Kenapa?"
"Kayaknya, gue yang salah. Terlalu mempermainkan perasaan orang, sampai akhirnya dia memilih pergi."
Ardinita belum tahu banyak tentang Rudi di antara ke lima anggota Alaska Band. Dia hanya tau, Rudi paling cerita sama seperti Nanda.
"Gue habis ditinggal sama seseorang yang belum lama ini gue pacarin. Dia pergi, terus ninggalin kata-kata nggak enak, tapi gue ngerasa biasa aja. Gue malah ngerasa bebas setelah dia pergi."
Belum ada respons, hanya keheningan di antara keduanya serta sayup-sayup suara kendaraan yang melintas di jalanan besar depan indekos 127.
"Ya, namanya juga pilihan hidup. Semua tergantung apa pun keputusan manusianya sendiri. Mau itu nyakitin atau buat orang lain seneng, semuanya bisa diatur, sih."
"Tapi, kalo kata Nenekku dulu, lebih baik berbuat baik daripada meninggalkan luka di hati milik yang lain. Karena kita nggak tau, luka itu bisa jadi dendam atau biasa aja," imbuh Ardinita.
Belum merespons, Rudi masih terdiam. Dia jadi merenung setelah mendapat sedikit pencerahan atas apa yang dia tanyakan kepada gadis di sebelahnya. Terbesit di hatinya, perasaan bersalah kepada Gayatri. Selama ini, Rudi hanya memikirkan perasaan sendiri. Baginya, ketika bosan dengan seseorang, pilihan terbaiknya adalah memutus tali yang terikat di antara keduanya secara gamblang. Namun, kenyataannya dia salah.
"Makasih, Ardin. Udah memberitahu gue soal kehidupan. Ternyata, selama ini yang salah adalah gue sendiri."
Ardinita tersenyum, masih menatap ke depan. "Sama-sama. Kita sebagai manusia sudah sepatutnya belajar memahami kehidupan. Ini bukan tentang kita sendiri, melainkan ada banyak hal di sekitar kita yang patut dijaga dan dihargai."
***
Besoknya, Alaska Band telah bersiap untuk persiapan lomba. Karena kelimanya free kuliah di siang hari, studio band langganan menjadi tujuan utama.
"Akhirnya, kita lengkap juga!" ucap Nanda semringah sambil menyetel ulang gitar bass agar nada yang diharapkan sesuai dengan kemaunnya nanti.
"Iya, masyaallah. Alhamdulillah kalau gitu. Nggak sabar kalau udah lengkap gini. Mau main lagu yang mana dulu, gais?" Azaiz menimpali sembari menekan tuts putih berjejer untuk melemaskan jemarinya. Sudah lama dia tidak bermain piano atau organ semenjak tugas kampus yang bejibun mulai menyerangnya. Belum lagi urusan organisasi.
Jemmy hanya tersenyum seraya memetik senar gitar melodi dan mengetes apakah nada yang dihasilkan masih enak didengar atau tidak.
"Yuk, mulai!" seru Ipul. Dia telah bersiap di posisinya. Dua stick drum dipegangnya dengan mantap. Siap menggebrak lagu yang dimainkan. Baginya, bermain drum adalah untuk melepaskan segala emosi.
Selagi Alaska Band berlatih dalam rangka mempersiapkan lomba band antar kampus, Ardinita sudah on the way ke kota rantau sebelah yang tidak jauh dari Solo untuk PKL selama sebulan lebih. Dia berangkat sendiri tanpa Boni dan Vinara. Itu kesepakatan mereka. Ardinita pun setuju. Dia tidak mau merepotkan diri untuk berbasi-basi dengan kecanggungan.
Namun, untuk masalah indekos nanti, Ardinita tetap bersama Vinara. Ternyata, cewek gaul satu itu tidak mau hidup sendiri. Alasannya takut kalau ada apa-apa, dia malah lupa.
"Hm, nanti gue satu kos sama lo aja, tapi berangkat tetep sendiri-sendiri. Soalnya gue ada perlu," ucap Vinara saat rapat kecil membahas soal PKL nanti.
Ardinita menaikan kedua alisnya. "Aku oke aja, sih. Nggak masalah," jawabnya singkat. Sedangkan Bobi hanya diam sambil manggut-manggut sendiri. Dia merasakan adanya aura perang dingin, tetapi untungnya tidak menjadi kenyataan.
[Din, kamu di mana? Mau Mas Abim anter ke stasiunnya?]
[Aman, Mas. Ardin, udah otw, kok, naik grab ke stasiun Tawang]
Setelah Ardinita membalas pesan dari Abimanyu, ponsel miliknya diletakan lagi ke dalam tas slempang kecilnya. Ardinita kembali fokus menatap pemandangan luar melalui jendela. Dia merasa ada banyak gejolak yang terjadi di dalam hidupnya ketika merantau ke luar Yogyakarta, meskipun orang tuanya tetap tidak peduli, gadis itu tidak masalah, yang penting dia masih punya Tuhan dan orang-orang baik di sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KOS 127 ✔️ [END]
Teen FictionLangit, senja, dan Coki adalah karibnya. Menikmati kesendirian sudah menjadi rutinitas Ardinita Alamanda. Terlepas dari semua hiruk pikuk duniawi yang pernah mampir tanpa ada keinginan untuk membuatnya bahagia. Berkat Coki, hidupnya yang semula sep...