SEPULUH

561 18 1
                                    

Bruukk!

Gus Irham terperanjat. Setumpuk buku tebal-tebal dijatuhkan di hadapannya. Ia menaikkan sebelah alisnya.

“Kata ayahku, ini buku-buku yang bisa dijadiin referensi tugasnya Profesor Ahmad,” ujar seseorang di sebrang tempat duduk Gus Irham.

Mereka dipisahkan meja kayu yang panjang. Dan sekarang ditambah dengan tumpukan buku.

“Sebenarnya masih banyak sih. Tapi aku pilih yang paling fokus ke bahasan kita,” lanjutnya.

Gus Irham tersenyum. Menampakkan deretan gigi bersihnya yang rapi. Lalu mengambil salah satu buku dan membolak-baliknya.

“Wah pinter banget kamu Num. Ini benar-benar buku yang aku cari,” ujarnya disela kegiatan membaca cepat buku yang ia pegang.

“Keren,” sebuah pujian meluncur dari bibir Gus Irham diiringi senyuman yang sangat manis.

Kepada siapakah Gus Irham bisa tersenyum semanis itu? Siapa lagi kalau bukan ke Shanum.

Shanum mengedikkan bahunya sambil melempar ekspresi bangga pada dirinya sendiri. Seolah ia bilang, “Shanum gitu loh”. Kemudian ia ambil salah satu buku dan mulai mempelajari isinya.

Gus Irham masih belum bisa meninggalkan senyumnya. Malah semakin lebar ketika melihat wajah serius Shanum membaca buku. Inilah hal yang sangat ia sukai dari sosok Queen Shanum Rania.
Dia selalu terlihat cerdas. Bak wanita intelek yang tak pernah ketinggalan zaman. Eits, tapi bukan hanya kelihatannya saja. Pada kenyataannya Shanum memang gadis yang pintar luar dalam. Berdebat dan diskusi dengan Shanum adalah candu bagi Gus Irham. Karena lewat itu pesona Shanum akan semakin terpancar.

Ddrtt... ddrrtt...

Bunyi getar ponsel Gus Irham yang ia letakkan di atas meja. Sebuah pesan masuk.

‘Alhamdulillah, mudah-mudahan Allah selalu menjaga njenengan Gus. Kalau ada waktu, video  call ya Gus. Abah sama Umi kangen,' baca Gus Irham dalam hati.

Meskipun kalimat itu tidak diucapkan secara langsung, tapi Gus Irham tetap merasakan sebuah kehangatan dari setiap kalimat yang tertulis di pesan tersebut. Tanpa sadar membuatnya menarik sedikit ujung bibirnya. Tersenyum sangat tipis. Bahkan Shanum yang duduk di depannya, tidak menyadari.

“Pesan dari siapa?” tanya Shanum.

“Oh, dari keluarga,” jawab Gus Irham singkat. Lalu keduanya kembali fokus dengan buku masing-masing.

Di tengah lalu lalang orang yang tidak sedikit ini, perpustakaan tetaplah perpustakaan. Yang mana keheningan selalu menjadi ciri utamanya. Membuat Gus Irham sedikit melamun. Mengenang kejadian-kejadian yang terjadi padanya beberapa bulan ini.

Malam hari usai akad nikahnya dengan Faiq, Gus Irham sebenarnya tidak betul-betul ingin meninggalkan Faiq sendirian di kamar. Tapi hatinya memang belum sepenuhnya siap. Kendati begitu, nafsunya sebagai lelaki tetap saja terpancing jika teringat kecantikan Faiq di balik jilbabnya.

Makanya untuk menenangkan diri, ia putuskan muroja’ah sebentar. Baru kembali ke kamar untuk minta ijin tidak tidur bersama dulu. Karena ia sadar, hatinya belum sepenuhnya menerima pernikahan ini. Gus Irham berusaha menjaga perasaan Faiq agar tidak semakin merasa tersakiti. Bagaimana pun juga, Gus Irham masih punya hati nurani.

Tapi saking asyiknya Gus Irham muroja’ah, seperti biasa ia akan tertidur begitu saja. Sampai-sampai tak terasa sudah hampir sepertiga malam. Gus Irham kaget bukan main.

Buru-buru ia keluar dari kamar mihrab, sebelum santri putra datang untuk sholat tahajud. Mengendap-endap ia masuk lewat pintu belakang ndalem yang memang tak pernah di kunci. Bisa-bisa akan ada rumor tak sedap jika sampai ia ketahuan melewatkan malam pertama dengan tidur di masjid.

NIRMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang