TUJUH BELAS

435 14 5
                                    

“Shodaqollah hul ‘aldzim,” Faiq mengakhirinya muroja’ahnya malam ini. Ia tutup mushafnya, dan meletakkannya di meja teras.

Suasana malam pesantren Al-Hikam sepi. Sepertinya sudah jam sepuluh, makanya tidak lagi terdengar kegaduhan para santri. Karena di jam itu santri sudah wajib masuk kamar dan istirahat. Agar tidak susah dibangunkan tahajud.

Keluarga ndalem juga sudah pada istirahat. Kyai Hasan pasti lelah karena sedari pagi mengecek santri yang akan talaqi dengan Syaikh Aslam. Bu Nyai Faizah juga pasti capek. Karena hari ini dapat undangan mengisi ceramah di dua tempat yang berbeda. Gus Thoriq apalagi. Sudah jelas paling sibuk selama Syaikh Aslam datang kesini. Kalau Ning Tsabitah jarang tidur di ndalem. Ia lebih suka berkumpul bersama teman-temannya di asrama.

Hembusan angin malam menerpa badan Faiq. Ia sedikit merapatkan cardigan yang dipakai. Lalu melipat tangan di depan dada. Menghalau dingin yang menusuk kulit.

Matanya menerawang jauh, menatap langit malam yang kehilangan pendar bulan dan bintang. Agaknya mereka disembunyikan awan mendung. Gelap sekali malam ini. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan.

Teringat pembicaraan Ustaz Ibrahim dengan Gus Irham via telepon beberapa waktu lalu, yang tak sengaja ia dengar. Pembahasan yang mungkin bisa dijadikan alasan kenapa selama ini Gus Irham tidak setuju dengan pernikahan ini. Tapi yang Faiq tidak mengerti adalah, kenapa Gus Irham masih mempertahankannya? Jika memang hatinya bukan untuk Faiq, kenapa ia masih mengikat Faiq dengan pernikahan yang tidak jelas ini?

Tiba-tiba air mata Faiq menetes. Padahal sudah lama Faiq tidak menangisi pernikahannya ini. Mungkin efek mendungnya langit malam, hatinya jadi ikutan mendung.

“Apa Ham? Kamu mau ngajak  Shanum nikah?”

Mendadak Faiq jadi sakit telinga jika terngiang kalimat itu. Mungkin Ustaz Ibrahim saking kagetnya, sampai nggak sadar berkata dengan cukup keras. Untung waktu itu sepi. Jadi tidak ada yang tahu obrolan mereka. Tapi justru karena sepi Faiq yang tidak sengaja lewat jadi bisa mendengar dengan sangat jelas.

“Hah? Bulan depan?”

Saat mendengar itu, Faiq langsung bisa membuat kesimpulan. Atau lebih tepatnya menerka-nerka apa yang sedang mereka bicarakan. Waktu itu Faiq cuma bisa mematung di tempatnya. Meskipun otaknya bekerja, tapi raganya seolah mati rasa.

Harusnya saat itu Faiq tidak terlalu kaget. Karena memang sudah nampak jelas gesture Gus Irham terhadap pernikahan mereka. Tapi sayangnya, Faiq sudah terlanjur berharap rumah tangganya akan pelan-pelan membaik. Tapi ternyata...

Tak terasa air mata yang tadinya hanya menetes, tiba-tiba menjadi isak yang deras. Faiq menutup wajah. Berusaha meredam suaranya agar tidak ada yang dengar. Bahunya berguncang. Perih sekali ia memendam semua ini sendirian.

Liburan akhir semester tinggal satu bulan lagi. Sepertinya Gus Irham tidak akan pulang lagi liburan kali ini. Entah alasan apa lagi yang akan ia buat. Memikirkannya membuat Faiq tambah nelangsa.

“Mbak Aiq napa?”

Faiq yang mendengar suara bocah, langsung menoleh. Dan mendapati Zayd di ambang pintu. Dengan piyama tidurnya, ia memasang wajah heran. Buru-buru Faiq menghapus air matanya.

“Loh kok Zayd bangun lagi? Mbak Faiq berisik ya?” tanyanya pada bocah yang sebenarnya sudah tidur sejak habis isya’ tadi.

Kyai Zulfikar dan Zayd memang tidur di kamar tamu. Dan  kamar tamu adalah yang paling dekat dengan ruang tamu dan teras.

“Jayd ari Abi, pi Abi ga ada.”
Faiq mengangkat tubuh mungil Zayd, lalu memangkunya.

“Iya tadi katanya Abi pergi ke rumah Syaikh Aslam, mau talaqi,” ujar Faiq sembari merapikan rambut Zayd yang berantakan karena bangun tidur.

“Zayd mau bobo lagi? Yuk Mbak Faiq temenin yuk!”

“Pi ada Abi. Lau ada Abi, Jayd ga boleh bobo ma Mbak Aiq,” ujar Zayd cemberut.

Faiq tersenyum. Baru saja dia akan masuk ndalem karena malam yang semakin dingin, tiba-tiba Kyai Zulfikar datang.

“Loh Zayd kok bangun?”

“Iya Paklik katanya Zayd kebangun nyari njenengan,” jawab Faiq.

“Mau minum susu? Kan udah Abi siapin di samping bantal,” ujar Kyai Zulfikar sembari mengambil alih Zayd dari Faiq.

“Abi, Jayd au bobo ma Mbak Aiq ya,” pinta Zayd dengan wajah memelas. Gemas sekali.

“Tapi kasihan nanti Mbak Faiq jadi harus bangun tengah malam.”

“Jayd ga inta cucu deh, janji,” ujar Zayd sambil mengacungkan jari kelingkingnya yang mungil sekali.

Faiq yang gemas dengan kelakuan Zayd, langsung mengambil Zayd dari gendongan Kyai Zulfikar.

“Ih kamu ini gemes banget sih. Udah yuk tidur sama Mbak Faiq aja. Biar sama saya aja ya Paklik. Anak pinter ini mau tak uyel-uyel sampai pagi,” ujar Faiq sambil mencubit gemas pipi Zayd. Lalu keduanya dengan riang menuju kamar Faiq.

Kyai Zulfikar hanya tersenyum. Tapi kemudian menatap sendu punggung Faiq yang semakin menghilang dari pandangannya.

⚫⚫⚫

“Syukron ya Syaikh,” ucap Kyai Zulfikar sambil memeluk Syaikh Aslam.

Syaikh Aslam menepuk-nepuk pundak Kyai Zulfikar. Seraya memberikan nasihat dan semangat dalam bahasa arab. Kyai Zulfikar mendengarkan dengan seksama sambil sesekali manggut-manggut. Dan ketika Syaikh Aslam mengakhiri pembicaraan mereka dengan mendo’akan kebaikan untuknya, Kyai Zulfikar mengamini. Kemudian pamit undur diri. Memberikan ruang kepada guru besar itu untuk istirahat.

Kyai Zulfikar berjalan kembali ke ndalem. Rasanya badannya pun juga sudah sangat ingin direbahkan. Tadi sore ia baru saja kembali dari Kediri. Sengaja mengejar talaqi dengan Syaikh Aslam. Untungnya tadi siang sebelum berangkat ke Kediri, asisten Syaikh Aslam mengabari kalau beliau bersedia talaqi selepas isya’.

Kaki Kyai Zulfikar sudah hampir sampai di teras ndalem. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat Faiq yang terisak dengan bahu berguncang. Seperti ledakan perasaan yang sudah ditahan lama.

Kyai Zulfikar jadi teringat pemandangan Faiq yang menguping Ustaz Ibrahim sedang telepon. Ternyata waktu itu Kyai Zulfikar juga tak sengaja lewat, dan tak sengaja juga melihat Faiq. Apakah Kyai Zulfikar dengar suara Ustaz Ibrahim? Ya tentu saja dengar. Suasana lengang waktu itu, rasa-rasanya siapa pun yang tak sengaja lewat pasti mendengarnya.

Dan sekarang apakah Faiq menangisi sesuatu yang ia dengar waktu itu? Atau ia sedang bertengkar dengan Gus Irham? Atau ia sedang meratapi nasib pernikahannya yang tak jelas? Kyai Zulfikar tidak tahu. Tapi ingin sekali rasanya ia berlari ke arah Faiq lalu memeluknya. Sekedar meminjamkan bahu dan membelai lembut kepalanya. Seraya berbisik, “Jangan sedih”.

Sayang sekali, angan itu tetaplah angan. Siapa dirinya sekarang? Sampai harus berbuat begitu. Lagi pula lihatlah wajah gadis yang punya keturunan Arab itu. Begitu cepat berubah ketika mendapati Zayd terbangun dari tidurnya.

Dari tempatnya, Kyai Zulfikar memandangi mereka dengan senyum. Hatinya tiba-tiba menghangat. Ia seperti melihat mendiang isterinya sedang bersama anak laki-laki kesayangan mereka. Haruskah ia berharap kalau jodoh Faiq sebenarnya bukan Irham?

⚫⚫⚫

Gimana nih Gaiis? Kalian tim Irham Faiq apa Zulfikar Faiq nihh? 🤭🤭

Anyway chapter kali ini cuma segini dulu ya Gaiiss. Kalau mau pada up lanjutannya malam ini, komen dong yang banyak 😁

Jangan lupa follow, pencet lonceng sama bintangnya yakk 🤗💕💕

NIRMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang