DUA EMPAT

567 13 2
                                    

Gus Irham sudah diizinkan pulang. Setelah pemulihan dan terapi tulang, akhirnya ia bisa kembali ke ndalem. Tapi sayangnya ia harus buru-buru kembali ke Turki. Karena masa liburnya sudah habis dan harus segera menyelesaikan tesisnya.

Faiq membuka pintu kamar. Sambil menenteng tas baju mereka, ia masuk terlebih dahulu. Kemudian Gus Irham menyusul dengan perasaan canggung. Setahun meninggalkan kamarnya, ketika kembali entah kenapa vibesnya jadi beda.

“Gus Irham butuh apa?” tanya Faiq setelah meletakan tas di atas kasur.

Gus Irham menggeleng.

“Ya udah Faiq ke bawah dulu ya. Siapin makan.”

Gus Irham mengangguk, “Kalau gitu aku mau mandi dulu.”

Setelah mandi, Gus Irham turun. Semuanya sudah duduk di tempatnya masing-masing. Tinggal kursi Gus Irham yang masih kosong.

“Mas Irham!” pekik Ning Tsabitah begitu Gus Irham menapakkan kaki di ruang makan.

Selama Gus Irham di rumah sakit, Ning Tsabitah memang hanya dua kali datang menjenguk. Karena kesibukannya kuliah dan ngaji, jadi tak bisa izin terus-terusan. Bu Nyai Faizah tidak mengizinkan. Takut banyak materi yang tertinggal.

Ning Tsabitah menghambur ke pelukan masnya.

“Mas Irham udah sembuh?”

Gus Irham tersenyum, “Alhamdulillah. Tinggal pemulihan mandiri aja,” jawabnya sambil mengelus pucuk kepala adiknya.

Wis nanti aja kangen-kangennya. Ayo makan dulu. Keburu dingin ini,” ujar Bu Nyai Faizah sambil menyendokkan nasi untuk Kyai Hasan.

“Ah Umi mana bisa. Kan besok sore Mas Irham udah harus ke Jakarta, balik lagi ke Turki,” ujar Ning Tsabitah sambil kembali duduk di kursinya.

“Tsabitah kan kangen. Pengen dengar cerita kuliah Mas Irham di Turki.”

Gus Irham duduk di kursinya. Diliriknya Faiq yang mengambilkan nasi untuknya. Gadis itu masih tak banyak bicara juga. Seolah ingin menghindar darinya.

“Ya besok kan masih ada waktu kalau mau cerita-cerita, sebelum Masmu pergi. Lagian dia juga baru aja pulang. Masih butuh pemulihan,” Bu Nyai Faizah memberikan pengertian.

Faiq meletakkan sepiring nasi di depan Gus Irham. Dan sebelum Faiq mengambil nasi untuk dirinya sendiri, Gus Irham buru-buru merebut centong nasi dari tangan Faiq.

“Biar aku ambilin,” ujarnya sambil tersenyum tulus.

Meskipun merasa belum terbiasa dengan sikap Gus Irham, Faiq membiarkan saja. Ia tidak ingin keluarga ndalem melihat interaksi mereka yang sebenarnya belum terlalu akrab. Gus Irham mengembalikan piring Faiq yang sudah terisi nasi.

Dengan senyum masih mengembang ia bilang,
“Makan yang banyak ya.”

Sekedar basa-basi Faiq menjawab, “Gus Irham yang harusnya makan banyak. Biar cepat pulih.”

Kyai Hasan dan Bu Nyai Faizah terlihat senang melihat anak dan menantunya itu saling memberikan perhatian. Mereka tidak tahu saja kalau perlakuan Gus Irham bagi Faiq tidak ada ada apa-apanya. Atau bisakah itu disebut munafik? Ia hanya berakting karena tidak ingin menimbulkan kecurigaan.

Setelah makan malam, semua orang kembali dengan rutinitasnya masing-masing. Kyai Hasan berkutat dengan kitab-kitabnya di perpustakaan pribadi. Gus Thoriq kembali sibuk dengan skripsinya. Ning Tsabitah sudah kembali ke asrama. Katanya besok pagi dia ada kuis, jadi harus belajar. Sedangkan Bu Nyai Faizah masih sibuk membereskan dapur, dibantu dengan Faiq.

Wis kamu ke kamar aja sana. Temenin suamimu. Kan kalian udah setahun nggak ketemu,” Bu Nyai Faizah mengambil alih cucian piring yang sedang Faiq kerjakan.

NIRMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang