Toleransi Kebodohan

5.8K 12 0
                                    

Ansen International High School. Tulisan yang terpajang begitu megahnya di pintu masuk, didampingi sebuah patung lelaki berkacamata yang sedang berdiri dengan buku di tangannya. Di belakangnya, sebuah taman kecil, tempat satpam penjaga gerbang biasanya merokok. Gerbang masuk yang dipadati oleh para murid itu tampak sesak saat jam masuk dan pulang sekolah, sebagaimana normalnya.

Seorang lelaki melangkah bersama pria tua di koridor sekolah saat para murid sudah masuk ke dalam kelas. Lelaki berbadan tegap dengan kulit bersih. Kacamata yang tergantung di wajahnya menambahkan kesan cerdas di sana. Tubuhnya terbilang tegap dan tampak masih muda.

"Maaf sebelumnya, apa yang membuat Anda tertarik mendaftar kemari? Padahal Anda tahu kami baru saja terkena kasus." Tanya pria tua berrambut putih dengan perut buncitnya. Namun, dari pada dibilang buncit, tubuhnya lebih mengarah ke gempal.

"Yah, sebenarnya saya sudah mendaftar ke beberapa sekolah lain yang kualitasnya jauh di bawah Ansen, dan mereka menolak tenaga baru seperti saya. Jadi saya pikir, Ansen lebih butuh tenaga segar dibandingkan mereka." Balas lelaki itu dengan senyum yang selalu tersungging di wajahnya.

"Baik, kalau begitu. Saya akan mengantarkan anda ke kelas. Berikutnya saya akan berikan jadwal mengajar anda." Ucap pria tua itu sambil terkekeh ringan.

Kelas 12 A

"Sttt.... Kepala sekolah masuk!" Seru seorang Siswa yang tampak paling berkuasa di kelas.

"Beri salam!" Seru bocah itu saat si pria tua masuk ke kelas bersama si lelaki gagah.

"SELAMAT PAGI!" Seru mereka serempak, membuat si lelaki memasang wajah kagum.

"Hari ini, saya akan memperkenalkan guru fisika baru kalian. Silahkan Mr. David." Si Pria tua itu mempersilahkan Mr. David memperkenalkan dirinya di hadapan para murid.

"Terimakasih, Mr. Justin." David maju selangkah, dengan tubuh tegap dan pandangan lurus.

"Perkenalkan nama saya David Adriano, sekarang saya adalah guru fisika kalian." Ucapnya dengan tegas. Bahkan murid yang awalnya meremehkan, tiba-tiba terdiam.

"Silahkan buat kontrak belajar anda sendiri, saya akan keluar." Ucap Justin sambil melangkah meninggalkan kelas itu.

Seperginya Justin, David meletakkan tasnya di atas meja. Meregangkan sedikit dasinya, kemudian duduk di tepi meja.

"Jujur, saya bukanlah siswa yang baik. Saya dibesarkan dengan hadiah dan hukuman. Usia saya sekarang dua puluh delapan tahun. Saya bisa mentolelir nilai buruk, tapi tidak dengan bolos ataupun kabur dari kelas." David membenarkan posisi kacamatanya, menatap tajam murid yang duduk sambil menyenderkan punggungnya, malas.

"Membosankan." Gerutu bocah itu lirih sambil melihat kawan sesama barisan belakangnya. Mereka tertawa kecil.

"Ingat, dunia ini menerima kebodohan. Tapi tidak dengan kemalasan." Lanjut David dengan kalimat yang tiap katanya diberi penekanan. Dia bangkit dari duduknya, melangkah ke belakang kelas.

"Buka buku kalian halaman lima belas. Saya tidak tahu sampai mana kalian belajar, saya ingin melihat kemampuan kalian satu persatu." Lelaki itu menyandarkan tubuhnya ke loker belakang kelas. Dia melihat jadwal piket kebersihan kelas yang tertempel di dinding belakang.

"Viona Prily. Maju dan kerjakan nomor satu." Seru David dari belakang kelas.

Seorang siswi bangkit, dan berjalan ke depan kelas dengan santai. Dia mulai menuliskan informasi yang dia dapat dari soal dan apa yang harus dicarinya. David tidak fokus kepada siswi itu, matanya menyapu seisi kelas.

David adalah tipikal orang yang cerdas dengan daya ingat tinggi. Dia bahkan mengenali tiap anak yang telah dimintanya untuk maju.

Jam pelajaran berakhir dengan damai, dia keluar setelah merapikan buku yang dia bawa. Beberapa anak memilih untuk pergi ke kantin, namun beberapa memutuskan untuk tetap di kelas. Saat David hendak bangkit, beberapa anak menghampirinya. Bocah-bocah bangku belakang.

"Ada apa, Mark?" Tanya David dengan wajah tenangnya.

"Jangan terlalu serius menghadapi kami, Mr. David. Anda hanya akan berakhir seperti guru sebelumnya." Ucap Mark lirih, kemudian meninggalkan David yang masih berdiri, bedanya dia tersenyum dengan tatapan menakutkan.

Sementara itu di kantin. Dua orang gadis duduk bersama sambil menikmati bakso yang masih panas.

"Sumpah, Vio. Mr. David ganteng banget. Ditambah bad boy vibes-nya pas ngelonggarin dasi. Uh....." Wanita ber-name tag Melly Thomson itu memasang wajah menggemaskannya saat bercerita tentang David. Sementara lawan bicaranya tak dapat membantah, Viona Prily.

Saat mereka berdua sedang asik mengobrol, kegaduhan terjadi di sudut lain kantin. Itu adalah ulah Mark dan gangnya, AnX. Mereka adalah murid paling ditakuti di Ansen. Bahkan beberapa guru memilih diam saja saat melihat mereka bolos atau semacamnya.

"Hutang lu bayar dulu, bangsat!" Seru Mark sambil menendang tubuh ringkih lelaki yang sudah tersungkur dengan kuah bakso mengguyur tubuhnya.

Seorang lelaki muncul di pintu kantin, menatap tajam Mark dan gengnya. Mark yang tak peduli, terus memukuli siswa yang bahkan sudah tak mampu lagi berdiri. Saat Mark hendak memukulnya lagi, dia terhentak. Tangannya tertahan. Dia menatap lelaki berkacamata yang sepagi tadi sudah mengusiknya di kelas. Mark menghempaskan tangannya hingga terlepas dari cengkraman David, kemudian berlalu bersama gengnya.

"Liat, Vi. Argghhh, ganteng banget." Ucap Melly berkomentar.

David membawa bocah yang dihajar Mark ke UKS sekolah.

"Oh, anak-anak berandal. Mereka sudah lama bikin onar, namun tak satupun berani melawan mereka." Jelas Bu Erina sambil menuangkan alkohol ke dalam cawan.

"Ga tau, apa power mereka di sini. Yang jelas guru lain ga ada yang berani ngelawan." Erina mulai membersihkan luka di wajah siswa itu perlahan.

"Baik, Bu. Kalau begitu saya pamit dulu." Ucap David, sebelum meninggalkan UKS. Dia cukup pusing di hari pertamanya mengajar. Seperti inikah sekolah internasional?

David melangkah menuju kantor guru, disambut dengan tatapan mata tak wajar dari guru lain. Berbeda dengan guru yang memiliki meja tepat di sampingnya. Wanita cantik dengan rambut kecoklatannya. Jemari lentiknya tampak indah dengan kuku-kuku yang dicat merah muda.

"Mr. David. Anda adalah guru yang berani." Puji wanita bernama Maria Elsa itu.

"Itu akan aneh bila saya takut pada siswa, karena mendidik mereka adalah tugas kita." Lanjut David sambil melihat-lihat Jadwal kelas berikutnya.

"Kau tahu dalam hukum fisika ada yang disebut dengan aksi-reaksi, atau apalah itu? Orang-orang di sini mungkin enggan terlibat dengan berandal itu karena mengetahui kemungkinan reaksi, berbeda dengan anda yang guru baru. Aksi anda mungkin tidak terganggu oleh hipotesis-hipotesis yang diciptakan oleh kepala anda." Maria tampak memutar-mutar kursi yang didudukinya. Matanya mengedar ke sekitar, melihat guru-guru yang terlalu takut untuk bertindak.

David mengernyitkan dahinya, tak paham dengan apa yang dimaksud Maria 'hipotesis-hipotesis'. Namun David terlalu sibuk untuk berpikir, karena dia harus menyusun rencana pembelajaran.

"Berhati-hatilah."

###

Kalem, jangan kebawa emosi.
Emosi mungkin menjadikanmu seperti singa.
Tapi situasimu seperti singa yang berusaha menangkap belut

Teacher MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang