David melangkah menuju parkiran saat koridor telah sepi. Para murid telah pulang sejak tadi, sementara dia menyelesaikan koreksi tugas milik anak muridnya. Dia mengedarkan pandangan ke lorong sepi itu, menikmati pemandangan kata-kata mutiara yang tergambar di sepanjang dinding koridor.
David menghentikan langkahnya saat berpapasan dengan wanita berwajah khas asia tengah itu. Mata sipit dan kulit putih yang khas. Namun matanya melihat ke rok sepahanya yang kusut. David menyingkirkan pikiran kotornya dan melemparkan senyum.
"Siang, Mis. Mizune." Sapa David ramah sambil menundukkan tubuhnya.
"Siang, Pak David. Anda tampak bekerja keras di hari pertama." Mizune melangkah bersama David. Meski logatnya mulai mirip dengan orang lokal, namun ciri khas-nya belum hilang.
"Ya, begitulah. Saya guru baru, jadi saya berusaha yang terbaik." Balas David dengan senyum yang terus tersungging di wajahnya.
Mereka berpisah di parkiran. Mizune langsung melajukan mobilnya, sementara David tampak menanggalkan jasnya terlebih dahulu. Dia melihat ban belakang mobilnya gembes. Apa ini? Serius? David mengedarkan pandangannya, namun tak mendapatkan petunjuk apapun. David meraih hp-nya, menelpon seseorang. Dia masih berpikir bahwa ini adalah ulah anak-anak itu.
Tak lama berselang, tiga buah mobil masuk ke area parkiran. Salah satunya adalah mobil derek.
"Tolong urus ini. Aku benar-benar ingin menghajar bocah-bocah itu." Ucap David, meraih barang-barangnya dan membawa pergi salah satu mobil. Itukah alasan para guru tak berani melawan mereka?
Sementara itu, di hutan belakang sekolah.
"Biar dia tahu rasa. Beraninya dia melawan kita." Ucap lelaki yang masih berseragam sekolah itu. Di jarinya tergamit sebatang rokok.
"Mark, Bos memesan lagi yang baru." Ucap lelaki dengan name tag Ferry Van Hilton.
"Siapa yang bakal kita bawa? Bilang saja padanya, kita punya banyak daging segar." Balas Mark sambil melihat-lihat pesan masuk di hp-nya.
David sampai rumahnya yang terletak tak terlalu jauh dari sekolah. Rumah dua lantai dengan roof top yang di sulap menjadi tempat ngopinya. David menekan sebuah tombol yang ada di balik gagang pintu lemarinya. Saat pintu itu ditarik, David disambut dengan tangga yang mengarah ke basement. David masuk ke sana, dan menutup kembali pintunya.
Basement ini adalah ruang kerja David. Sebuah komputer, lemari, dan sederet rak buku. Monitor yang menunjukkan sebuah lambang Night Shaddow. Organisasi balik layar pengungkapan kasus-kasus besar dunia. Mereka adalah organisasi swasta di bawah naungan kepala mahkamah internasional.
David sendiri adalah seorang utusan untuk mengusut kasus hilangnya seorang murid Ansen. Tak hanya itu, setelah kasus dinyatakan usai tanpa hasil, orang tua murid ditemukan mati di dasar jurang. Lagi-lagi kasus ini hanya dianggap bunuh diri tanpa adanya autopsi.
Komputer David masuk ke dalam server rahasia NS. Server yang terhubung ke pusat.
Code:0
Mail/lord/reporting
Contain:
Kanakalan remaja tidak normal.
Melakukan pembullyan terhadap murid lain.
Guru-guru tidak berani menyentuh mereka.Uploading......
David menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya menerawang langit-langit ruang kerjanya. Siapa yang berada di balik mereka?
David membuka laci mejanya, meraih sebungkus rokok yang masih tersegel. Dia teringat dengan seorang kawan lamanya.
"Merokoklah! Ini akan membuat otakmu bekerja dengan lancar."
Di ingatannya tergambar jelas sosok berbaju tentara dengan bekas luka di mana-mana. Darah yang mengalir segar dari mulutnya cukup menunjukkan betapa hancurnya organ di balik dagingnya itu. Dengan sebuah senyum kebanggan, dia menyerahkan sebungkus rokok yang masih tersegel itu kepada David.
"Kebenaran itu tergantung sudut pandang. Dan sudut pandang terbaik adalah sudut pandang Tuhan. Lihatlah dari mata orang ketiga, maka kau akan tahu siapa yang benar dan salah."
Pesan terakhir sebelum kawannya itu tak lagi bernafas.
David membuka bungkusan rokok itu, meraih sebatang dan menyulutnya. Kau benar, Jim. Mata David melihat ke langit-langit ruangan itu, kembali terhanyut dalam kenangan.
###
Malam semakin larut, saat anak-anak muda itu mulai masuk ke dalam sebuah club. Orang-orang yang menggantungkan masalah pada minuman keras dengan efek terbang. Beberapa membuang penat dengan tidur bersama wanita-wanita yang mereka temui di club. Namun ada juga yang sedang berbisnis ria.
"Ini, Bos. Cewe yang diminta. Dijamin masih perawan mulus." Mark dan kawan-kawannya duduk di sofa. Mereka membawa seorang wanita yang tampak terlelap dengan tangan yang masih terikat di belakang punggungnya. Wanita yang dipanggil Bos oleh Mark itu mengangguk-angguk, setuju.
"Siapa namanya?" Tanya Wanita itu.
"Abellia Friesca." Mark membuka rok pendek wanita yang dia bawa. Memperlihatkan vagina mungil yang masih rapat dengan bulu yang tumbuh masih halus.
"Siapkan hidangannya sekarang, pelanggan akan segera datang." Titah Wanita itu. Mark dan kawan-kawannya menyeret Lia yang masih tak sadar ke dalam sebuah ruangan.
Mark melucuti semua pakaian Lia, mengikatnya pada tiang besi kecil yang tersedia di tengah ruangan untuk penari strich. Mereka mengoleskan sebuah gel ke dalam vagian Lia, juga dengan kedua puting yang belum mengacung itu. Mereka menjepit puting itu dengan jepitan besi yang terhubung ke mesin pendingin.
Sentuhan terakhir, Mark memasukkan benda berbentuk bola kecil yang tampak sesak di mulut lia. Bola dengan tali karet yang membuatnya tak bisa keluar dari mulut Lia. Mereka juga memasukkan es batu kecil ke dalam vagina Lia.
"Oe, Lonte. Bangun!" Mark menepuk-nepuk pipi Lia, membuat wanita itu terjaga. Dia mengerjapkan matanya, hingga sadar dia berada di sebuah ruangan yang asing. Dia merasakan dingin dan gatal di area vagina dan putingnya. Dia terbelalak saat menyadari bahwa dia terikat pada tiang.
"Ehwasin ghuwaahhh..!!!!" Seru Lia yang mulutnya tersumbat oleh bola itu. Dia meronta-ronta sekuat tenaga. Mark hanya tertawa.
"Apa? Gua ga denger, ewein lu?" Goda Mark sambil melompat turun dari tempat Lia terikat.
"Tenang, cantik. Bentar lagi kamu bakal dapat." Ucap Mark yang keluar dari sana bersama teman-temannya. Meninggalkan Lia seorang diri.
Lia terus meronta sambik berteriak-teriak. Rasa gatal di area vaginanya kian menjadi-jadi, membuatnya terus menggesekkan pahanya. Begitupun dengan putingnya, membuatnya tak tahan. Tubuhnya terasa gerah dengan keringat yang perlahan mengucur. Air mata perlahan menitih dari matanya.
Tak lama, seorang lelaki berbadan tambun masuk. Dari pakaian yang dia kenakan, sepertinya dia orang kaya. Namun Lia tetap meronta, terlebih saat melihat anak buah lelaki itu.
"Inikah hidangan saya?" Lelaki itu tampak menatap Lia bagai menatap sebuah makanan mewah yang sangat lezat. Dia melangkah mendekat sambil menanggalkan dasi dan jasnya.
"Tenang, kalian akan dapat giliran setelah aku." Ucap lelaki itu yang kini telah melepaskan kemejanya, membuangnya sembarangan. Kemudian meloloskan sabuk kulitnya.
Ctas.... Ctasss..
"Ahhh... Ahhh...." Lia terbelalak. Rasa sakit akibat sabetan sabuk itu sempat membuat rasa gatal di vaginanya berkurang. Entah bagaimana itu terasa sangat nikmat.
Ctas..... Ctass...
###
"Kebenaran itu tergantung sudut pandang.
Bisa jadi hal ini benar untuk kita, namun salah untuk orang lain."