David terjaga dari tidurnya saat mentari baru menyapa. Dia melihat jam yang ada di atas nakasnya. Baru pukul 6? David menghembuskan nafas malasnya. Dia melangkah ke kamar mandi, membasuh muka dan menggosok giginya. Dia teringat sesuatu.
David melangkah sedikit tergesa, membuka pintu basement. Dia melihat wanita yang tertidur sambil bersimpuh, berselimutkan jasnya. Baju yang dia berikan belum disentuh sama sekali. Dia melihat cairan yang ada di sekitar wanita itu, menatap kembali dengan iba. Wajah wanita itu dipenuhi jejak air mata yang mengering.
David berlari keluar, dan kembali dengan sepiring nasi gorang dan segelas susu. Dia meninggalkan sebuah catatan kecil. Makanlah, dan tinggal dulu di sini hingga membaik.
David tidak sendirian di rumah ini. Dia memiliki dua orang seorang pembantu yang dikirimkan oleh organisasi. Wanita tua ahli bela diri tradisional yang pandai memasak itu.
"Mak Sirah, aku berangkat dulu." Ucap David sebelum pergi meninggalkan rumahnya.
Sampai di sekolah David sudah kembali sibuk dengan materi yang akan diberikannya untuk para murid. Hari ini dia akan mengajar di kelas sebelas. Setelah menjelaskan sebuah teori, dia mencoba dengan sebuah soal. Sambil menanti muridnya mengerjakan, dia melangkah ke bangku paling belakang. Siswi yang tampak dengan santainya menempelkan headset portabel di telinganya.
"Gerakanmu sedikit terlambat." Ucap David lirih, dia berhenti tepat di sebelah meja wanita itu.
"Itu sesuai prosedur organisasi." Balas wanita itu dengan santainya kemudian mulai mengerjakan soal yang diberikan oleh David.
Dia adalah Angela Christy. Orang yang lebih dulu dikirim oleh organisasi untuk memonitor seorang guru mantan narapidana. Parasnya cantik, cerdas, ahli beladiri. Kekurangannya adalah pendiam, dan jarang memiliki teman. Meski begitu, banyak wanita yang iri dengan kecantikannya. Dan hal lain, dia hidup sendiri namun tidak pernah menjadi anak buah Mark dan kawannya.
Mark dan kawan-kawannya masuk ke dalam kelas 11 C saat bel istirahat berbunyi. Mata mereka seakan mencari seseorang.
"Siapa yang bernama Alma Valezka di sini?" Tanya Mark sambil melangkah ke dekat wanita berkacamata yang tampak ketakutan.
"Siapa namamu, nona cantik?" Tanya Mark sambil meraih dagu wanita itu.
"Chi-chika." Ucapannya tergagap karena takut.
"Kau tahu dimana Alma?" Mark mengusap kepala Chika yang menggeleng.
"Hei, gadis di pojok!" Panggil Mark pada Angel yang sedang membaca novel. Namun Angel sama sekali tak merespon. Mark memberikan kode pada salah satu anak buahnya, Ferry Van Hilton.
Brak!!!
"Lu budeg?" Ferry menggebrak meja Angel, membuat novel yang dibacanya sobek.
Angel melepaskan headset portable dari telinganya.
"Gua ga tau." Balasnya singkat dengan tatapan dingin. Mark tersenyum melihat Angel, bocah ini menarik juga.
"Gimana kalo lu ikut kita?" Mark mendekati Angel, membuat Chika dapat bernafas lega.
"Maaf, ga minat." Balasnya singkat, memasukkan novel sobeknya ke dalam tas dan meraih buku lain.
Mark geram merasa tak dihargai oleh Angel. Tangannya bergerak cepat, meraih rambut Angel. Mencengkramnya ke belakang. Namun dengan satu gerakan cepat, Angel langsung memukul dada Mark dengan keras, membuat bocah itu terlempar ke belakang beberapa langkah sambil memegangi dadanya.
"Bajingan!" Mark berlari, bersiap mendaratkan tapakan kaki ke tubuh Angel. Namun siapa sangka, Angel malah menangkapnya dan membanting tubuh Mark dengan satu gerakan. Membuat kawan-kawan Mark bergidik ngeri.
"Aku akan diam selama kalian tak mengusikku." Ucap Angel sambil berjongkok di sebelah kepala Mark.
Angel pergi meninggalkan mereka di kelas sambil menatap Mark tak percaya. Berani sekali bocah itu.
Mark dan kawan-kawannya melanjutkan kegiatan mereka mencari Alma. Kini mereka melangkah ke kantin dengan hati gondok karena Mark dihajar oleh Angel.
Brak!!
Baru selangkah masuk kantin, Mark langsung membuang barang-barang yang ada di atas meja di hadapannya. Dia melompat ke atas meja makan itu dengan tatapan dingin.
"Oke, aku tak ingin basa-basi. Yang merasa bernama Alma silahkan maju!" Suaranya terdengar jelas ke seluruh penjuru kantin. Seorang wanita ragu-ragu berdiri sambil mengangkat tangan kanannya.
"Pergi ke kantor kepala, ditunggu Pak Justin." Titah Mark sebelum turun dari meja dan pergi entah kemana.
Alma masuk ke dalam ruangan Justin dengan ragu-ragu. Lelaki berbadan gempal itu tampak sedang membuka dokumen sambil ditemani sebatang rokok yang tergeletak di bibir asbak.
"Saya, Pak?" Justin mengangkat kepalanya, melihat gadis cantik telah berdiri di hadapannya.
"Oh, kamu Alma?" Justin pura-pura tak tahu, bangkit dari duduknya dan mempersilahkan Alma duduk di sofa tamu.
"Kamu tahu apa yang terjadi dengan orang tuamu?" Justin datang sambil membawa segelas teh untuk Alma. Wanita itu hanya menggeleng karena kedua orang tuanya terlalu sibuk.
"Ini mungkin hal yang berat untuk anak seusiamu. Orang tuamu dipecat dari perusahaannya dan menanggung ganti rugi sebesar lima ratus juta." Mimik wajah Justin tampak berubah menjadi sedih, sementara Alma terlihat tak percaya, terpukul.
"Mungkin mereka tak mau memberitahumu karena dapat mengganggu aktivitas belajar, dan mereka menunggak SPP selama dua bulan terakhir." Lanjut Jastin. Melihat Alma yang terdiam dengan tatapan kosong, dia mendekatkan posisi duduknya. Meraih Alma ke dalam pelukannya.
"Aku tahu ini berat, bahkan yayasan sudah menagih hal ini berulang kali. Tapi sepertinya aku tak memiliki daya untuk membantu." Tangan Justin mengusap lembut bahu Alma.
"Kecuali kita dapat saling membantu." Tangan itu perlahan turun ke paha, namun Alma bergegas menepisnya.
"Maaf, Pak. Mungkin orang tua saya dipecat, tapi bukan berarti saya menerima tawaran bapak." Alma bangkit dari duduknya.
"Bukan... Bukan begitu, Alma. Kamu tahu, orang tuamu tak mau kamu putus sekolah. Tapi yayasan mendesak saya untuk meminta SPPmu secepat mungkin." Justin kembali ke mode hasutnya.
"Ayolah, ini tak buruk. Kau dapat tetap bersekolah, dan tak perlu terlalu memikirkan orang tuamu." Justin ikut berdiri, melangkah memojokkan Alma yang terus berusaha menjauh.
"Pak.... Saya tetap tidak bisa..." Alma mulai menitihkan air mata karena ketakutan.
"Ini akan cepat selesai Alma, percayalah tidak akan sakit." Justin berhasil meraih pergelangan tangan Alma, menahannya ke dinding. Kepalanya mulai mengendus leher Alma.
"Pak, janganhh..." Lirih Alma yang kian tenggelam dalam tangis yang tertahan.
"Nikmatilah, Alma. Ini-"
Klek....
"Permisi, Pak Justin. Saya ingin menyerahkan data hasil pembelajaran." Justin terkesiap, melepaskan lengan Alma.
"Kenapa ini?" David melihat Alma yang sedang menangis di sudut ruangan Pak Justin.
"Dia mendapat berita buruk dari orang tuanya." Justin menepuk-nepuk pundak Alma dengan senyum yang terkesan dibuat-buat. David hanya mengangguk-angguk paham sambil menyerahkan berkasnya pada Justin.
"Mungkin saya dapat membantu. Mari ikut saya, biar saya teraktir makan." David meraih pundak Alma, merangkulnya keluar dari ruangan Justin.
"Temui saya sepulang sekolah." David memasukkan secarik kertas ke saku baju Alma sebelum berpisah.
"Jaga dirimu, okay!" David tersenyun sambil mengedipkan sebelah matanya.
###
Cara paling jahat dalam menjajah adalah
Mengendalikan presepsi dan pikiran lawan
Karena manusia bukan robot