Davina terbelalak setelah menerima telpon. Hp nya terjatuh begitu saja dari tangannya, dengan tatapan mata yang tiba-tiba menjadi kosong dan berkaca-kaca. David yang duduk di sebelahnya kebingungan sendiri. Bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya terjadi?
Kaki Davina kehilangan tenaga untuk menopang tubuhnya, dia terduduk tepat di sebelah David. Melihat Davina mulai menitihkan air mata, David meraihnya ke dalam pelukan.
"Fira, Vid.... Hiks.... Fira... Ga bakal baik...." Kalimatnya terasa bergetar dengan tangis yang kian menjadi.
David kebingungan. Mereka yang awalnya hendak merayakan ulang tahun Fira, memasakkan makanan enak, menantinya pulang. Apakah Fira kecelakaan? Tidak mungkin bila Fira kecelakaan, namun Davina hanya menangis, batin David berkecamuk sendiri.
Seorang polisi datang ke rumah mereka. Mereka membawa sebuah amplop coklat entah berisi apa. Sementara polisi wanita di belakangnya membawa beberapa barang.
"Maaf sebelumnya, tapi saya ingin mengonfirmasi. Apakah benar tas dan telpon genggam ini milik adik Anda?" Tanya polisi itu pada Davina, yang kantung matanya membesar karena menangis. Davina hanya mengangguk dengan tatapan kosong.
"Korban menelpon kami, saat itu kami hanya mendengar rintihan kesakitan dan suara minta tolong." Polisi wanita itu memutar sebuah rekaman suara.
"Srrrkkkk..... Ugh.... Siapa.... Pun... Argghh... Srrrkkkk..... Ugh.... Tolongg..... Akuuu..... Ughhh.... Srrrkkk."
Suara itu terdengar sangat lirih dan kesakitan. David memiliki kesimpulan yang sama dengan polisi itu, bahwa Fira mengalami penganiayaan. Polisi masih melakukan investigasi, mencari tersangka beserta motifnya.
David terpaksa harus menemani Davina malam itu. Dia tak mungkin meninggalkan wanita, yang kini tatapannya selalu kosong. Bahkan Davina terus berada di pelukan David, di ruang tamu, hingga terlelap.
Fira bersekolah di SMA 1 Wilayah Selatan. Sekolah negri yang berada di area pegunungan. Jarak sekolah itu dari rumah Fira mungkin setengah jam perjalanan menggunakan mobil. Tak heran polisi memberikan praduga bahwa Fira dibuang ke jurang setelah dihabisi oleh pelaku. Namun David masih merasa janggal, kenapa barang buktinya ditinggalkan? David berpikir sambil mengusap-usap kepala Davina.
David membayangkan andai dia adalah pelakunya. Setelah dia memikirkan sesuatu. SMA 1 terkenal sebagai gudang piala wilayah selatan. Selain adanya dendam pribadi, David hanya memikirkan satu hal. Davina pernah bercerita bahwa adiknya adalah seorang atlet volly, mungkin polisi sudah memikirkan hal ini. Menanyai anggota Tim Volly Wanita SMA 1.
"Vid? Oh, maaf. Jam berapa ini?" Davina terjaga, dia mengucek matanya sambil mencari jam dinding. Pukul tiga dini hari.
"Maaf, membuatmu tak bisa pulang." Davina tersadar bahwa dia tertidur di pelukan David. Dia menegakkan punggungnya, tatapannya tak lagi kosong, menjadi tak memiliki gairah.
"Bukan masalah besar." David berpura-pura meregangkan otot lengannya sambil tersenyum.
"Istirahatlah di kamar tamu, akan kubangunkan saat sarapan sudah siap." Davina berdiri, terdiam beberapa saat. David melihat Davina menyembunyikan sesuatu di balik tatapan matanya. Benar saja, Davina ambruk kembali ke sofa, menangis. David hanya bisa menariknya kembali ke dalam pelukan.
"Apa dosa dia, Vid? Kenapa mereka menyiksa Fira?" Racau Davina diantara isak tangisnya. David sendiri memahami itu, Davina tidak dapat memproses hukum mereka karena masih di bawah umur.
"Tenang, Davina. Fira anak yang baik, dia pasti tenang di sana." David mengusap kepala belakang Davina, mencoba membuatnya tenang.
Drrrtttt.... Drrrrtttt....
Hp David bergetar oleh panggilan masuk. Dia meregangkan sedikit pelukannya, meraih hp yang ada di sakunya. Angel.
"Halo?" David menjawab panggilan itu dengan Davina yang masih dipelukannya. Hanya saja isakan Davina kini sedikit mereda.
"Baik, aku akan ke sana bersamanya." Ucap David sebelum menutup panggilan.
David melepaskan pelukannya pada Davina, meraih kedua pergelangan tangannya.
"Davina, tatap mataku. Kamu percaya padaku, kan?" Tanya David sambil menatap mata sembab Davina. Wanita itu hanya bisa mengangguk lemah.
"Ikut aku." Ucap David, membantu Davina berdiri.
Mereka meluncur, menerobos gelapnya malam. Davina tak tahu kemana David akan membawanya. Mobil itu memasuki wilayah timur melalui jalur hutan. Beberapa kilo meter setelah melewati gerbang selamat datang, mereka berbelok menuju jalan tak beraspal. Memasuki area tengah hutan dengan jalan yang terbilang cukup lebar. Mobil itu berhenti.
"Kita turun di sini." Ucap David sambil mematikan mesinnya.
"Mau kemana kita?" Davina tampak ragu untuk keluar dari mobil. David hanya menunjuk sebuah cahaya yang samar terpantul di langit malam.
David menarik bagian pengatur arloji di jam tangannya, membuat sisi lain jam tangan itu menonjolkan sesuatu. David mengambil benda yang ternyata headset portable. Jam tangannya menjadi alat komunikasi David, entah dengan siapa.
"Hai, David. Terakhir kali kita menjadi tim saat usiamu masih 22 tahun." Suara di sebrang terdengar akrab sekali dengan David.
"Diam kau, Neysa si tante genit. Mulai jalankan protokolnya." Ucap David tegas. Dia menggandeng tangan Davina, memasuki hutan, menjauhi jalan tempat David parkir mobil.
"Saat ini Alex telah menerbangkan drone miliknya ke area target. Sementara Kemal dan Kamil telah mulai bergerak masuk, dicover oleh Leo." Neysa menjelaskan semuanya pada David yang hanya tersenyum. Mengingat beberapa jam lalu dia memaksa mereka semua membantunya.
"Kau mau berjanji padaku, untuk tidak bertindak sembarangan?" David menatap wajah Davina, menghentikan sejenak langkahnya. Davina mengangguk mantap. Mereka berjalan lebih dalam lagi.
Davina melihat sebuah lahan luas di tengah-tengah hutan dengan sebuah gedung di sana. Itu adalah sumber cahaya putih yang memancar ke langit. David menariknya lebih dekat, menyaksikan apa yang ada di sana. Davina terbelalak, kaget dengan apa yang dia lihat. Gadis-gadis berbagai usia dengan wajah yang penuh memar dan pakaian compang-camping. Beberapa masih mengenakan seragam sekolah dengan kancing baju yang sudah berantakan, ada juga wanita-wanita dengan kaos biasa. Mereka semua diseret masuk ke dalam gedung itu.
"Mulai." Ucap David sambil menatap tajam ke arah bangunan.
Sebuah drone hinggap ke atap gedung itu tanpa ada satupun orang menyadarinya. Drone itu mengeluarkan bunyi tuut-tuut-tuut berulang kali, hingga akhirnya.
DUAR!!!!
Drone itu meledakkan atap bangunan, membuat para pekerja kaget. Ini memberikan sedikit waktu agar para wanita yang masih kuat berjalan dapat kabur dari sana. Wanita-wanita itu disambut oleh seorang lelaki yang menyuruh mereka untuk segera lari dari jalur utama.
DUAR!!!
Sekali lagi, sebuah drone meledakkan atap mereka di sisi lain. Para pekerja benar-benar dibuat kebingungan. Dan sebelum mereka menyadari kejanggalan itu, dua orang lelaki masuk ke dalam gedung dan menghajar mereka.
Breesss....
Sebuah peluru melesat dari luar pintu, menembus kepala salah satu pekerja, membuat lelaki itu tersungkur dan seketika meninggal.
Menyadari hal itu, para pekerja langsung berhamburan keluar dari pintu belakang. Sayangnya mereka tak menyadari, satu persatu dari mereka berjatuhan karena terkena tembakan. Tak ada yang mati, karena semua peluru itu bersarang di area kaki dan perut.
Dua lelaki yang berada di dalam gedung, mengevakuasi para tawanan yang tak berdaya di sana. Davina hendak turun, namun tangannya dicekal oleh David.
"Jangan sekarang." Ucapnya. David memiliki rencananya sendiri untuk mengembalikan Davina.
Malam itu, banyak ambulan di kirim dari rumah sakit-rumah sakit terdekat untuk mengevakuasi para korban. Puluhan mobil polisi juga merapat ke sana.
"Pastikan kau mendapatkan gambar mereka. Hukum di negri ini mudah sekali disulap." Ucap David pada Neysa yang berada di sebrang panggilan.