"Bu, Alhamdulillah ini ada beras bisa untuk tambah-tambah kebutuhan ibu," ucapku seraya meletakkan dua kilo beras diatas meja dekat kompor. Di dalam plastik itu juga ada gula satu kilo dan teh satu kotak.
Ibu membuka bungkusan plastik itu, seketika mukanya berubah masam, "kalau gak niat ngasih, lebih baik gak usah ngasih sekalian Tur, ini mah cuma cukup untuk makan sehari!" cela ibu seraya meletakan dengan kasar gula kedalam plastik.
"Mbok ya dicontoh Adikmu Guruh, dia kalau ngasih ibu itu minimal satu karung, bukan yang lima kilo tapi yang dua puluh kilo. Belum lagi gula, teh, kopi, perlengkapan mandi juga gak ketinggalan. Udah gitu ninggalin uang lagi. Lah kamu? Jangankan uang, beras aja cuma dua kilo kamu kasih ke ibu, kok kayak ngasih makan ayam aja," sungut ibu.
Aku hanya diam, ada rasa nyeri dalam dadaku, memang nasibku tidak seberuntung Guruh, selepas lulus kuliah dia langsung diterima bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang tinggi, sedangkan aku? Aku hanya lulusan SMA yang tak mempunyai pekerjaan tetap.
Dahlia--istriku hanya menatap sendu, tangannya masih sibuk dengan seabrek cucian piring. Dia adalah wanita paling sabar yang pernah aku temui. Dia selalu ringan tangan jika berada di rumah ibu, mencuci baju, cuci piring, bersih-bersih rumah dan banyak lagi. Ibu tidak akan tinggal diam jika melihat Dahlia duduk didepan televisi.
Berbeda dengan Fika--istri Guruh, wanita itu sama sekali tak pernah menyentuh pekerjaan apapun di rumah ibu. Sesekali jika aku lagi tidak mengerjakan apa-apa, akulah yang membantu Dahlia.
Kami memang tidak tinggal serumah dengan ibu, jarak rumah kami dengan rumah ibu sekitar satu jam perjalanan. Aku jarang berkunjung kerumah ibu, disamping aku tak mau melihat istriku dijadikan pembatu gratisan, sikap ibu yang membedakan dengan dua saudaraku yang lainnya yang membuatku enggan berkunjung.
Kalau tidak Dahlia yang merengek untuk jenguk ibu, mungkin setahun sekali aku berkunjung kesana.
"Istrimu juga itu disuruh kerja, biar gak enak-enakan dirumah, bantu-bantu suami kerja kan gak salah, orang Fika yang suaminya kerja bergaji besar saja masih sibuk kerja, gak nodong gaji suami melulu." sambung ibu tak kalah pedas.
"Dahlia juga kerja bu, tapi memang rezeki kami sudah ditakar sama Allh hanya segini," jawabku membela Dahlia.
Dahlia hanya diam sambil terus fokus dengan pekerjaannya. Sesekali wanita yang telah delapan tahun menemaniku menyeka sudut netranya.
Tak kutanggapi lagi ocehan ibu yang akan memanjang bagai kereta api jika aku terus menanggapinya.
"Setelah cuci piring kita langsung pulang," bisikku di telinga Dahlia.
"Iya mas," jawabnya singkat.
"Biar mas cari Rhido dulu di lapangan." Kuusap kepala wanitku itu untuk sekedar memberinya penguatan.
Semenjak kepergian bapak, ibu menjadi tanggung jawab kami--anak-anaknya, selain menerima uang pensiun bapak, kami selalu membawakan keperluan ibu, bukan kami, tetapi saudaraku lebih tepatnya, karena aku hanya membawa sekedarnya saja, itu menurut ibu, tetapi untuk kami jelas itu sudah cukup untuk disantap tiga atau empat hari. Saudaraku ada dua, Guruh--adik bungsuku dan mbak Tika--kakak tertua.
Bapak meninggal empat tahun yang lalu karena serangan jantung. Dulu ibu tidak sekasar sekarang, karena selalu diingatkan bapak ketika sudah membandingkan kami bertiga.
Mbak Tika mempunyai suami yang bekerja di perkebunan milik pemerintah, sementara mbak Tika sendiri membuka toko sembako dirumah.
Aku? Tak ada yang bisa dibanggakan dari diriku, aku bersyukur bisa bekerja di pabrik roti milik Pak Haji Mansur. Aku bekerja dari jam delapan pagi hingga jam empat sore. Sementara Dahlia menjadi guru honor di SD tempat kami tinggal.
Di lapangan, Rhido tengah asyik bermain layang-layang, peluhnya membajiri wajahnya yang putih, kulit putih yang mewarisi ibunya, sedangkan mata elangnya mewarisi aku, bapaknya.
"Do, udah main layang-layangnya. Kita mau pulang!" seruku pada Rhido.
"Nanggung Pak, masih jam segini," teriaknya
"Ibumu nanti sore mau pengajian," sambungku.
Dengan kesal anak itu menggulung senar layang-layangnya yang masih terbang tinggj. Ridho sebenarnya betah tinggal disini, dulu dia sebagai cucu kesayangan ibu, ketika masih balita, namun seiring berjalannya waktu, ibu lebih menyayangi Sindi--anaknya Guruh. Sementara anak mbak Tika sudah sekolah SMA.
Walaupun kasih sayang ibu terhadap Rhido tak seperti dulu, tetapi anak yang mempunyai tinggi hampir setinggi ibunya itu tetap betah berlama-lama di rumah mbahnya.
Rhido termasuk anak yang tidak pernah memikirkan perkataan orang sampai ke hati. Jika mbahnya mulai ngomel, maka dia akan main sampai sore.
Kadang aku yang tidak tega melihat Ridho yang dibedakan dengan cucu ibu yang lain. Waktu itu, ibu pulang dari pasar, kebetulan ada aku, Ridho dan Sindi dirumah ibu, tapi dengan teganya ibu hanya membelikan jajanan untuk Sindi. Sedangkan Ridho sama sekali tidak dibelikan.
"Ridho kan sudah besar, gak perlulah oleh-oleh kalau mbah dari pasar kan?" ucap ibu ketika memberikan jajanan pada Sindi, padalah tangannya sudah menengadah minta bagiannya.
Dengan berat hati, dia tarik kembali tangannya yang sudah terlanjur terulur, dan dia hanya menelan ludah melihat Sindi dengan lahapnya memakan jajanan tersebut.
"Mas Ridho mau?" tanya Sindi dengan mulut penuh makanan. Ridho hanya mengangguk.
"Ini untuk mas Ridho." Sindi mencuil makananya dan memberikan pada Ridho. Kemudian dengan sekali hap, makanan itu sudah habis di dalam mulut Ridho.
Hatiku teriris melihat pemandangan itu, air mataku seperti hendak runtuh, namun kutahan dengan sekuat tenaga.
"Mas, pulang yuk, udah mau hujan." Akhirnya kuajak pulang anak lelakiku itu. Terkadang aku memamgginya dengan sebutan 'mas', karena dia anak pertama dan berharap bisa memberikan adik untuk Ridho.
Ridho menurut, dia naik keboncengan motor bututku.
"Insyaallah kalau Bapak gajian, Bapak belikan ya." Hiburku. Karena uangku memang tingal sepuluh ribu lagi didompet.
Tin ... Tin ... Suara sapaan dari mas Rahmat membuyarkan lamunanku.
"Tur, dari mana?" tanya mas Rahmat. Mas Rahmat adalah tetangga tidak jauh dari rumah ibu. Dia masih ada hubungan keluarga dari pihak bapak, tapi tidak terlalu dekat.
"Ini jemput Rhido, mas," jawabku, kemudian menghentikan laju motorku didekat motor mas Rahmat.
"Minggu depan anakku yang ketiga mau aqiqah, datang ya, ajak istrimu juga, kalau bisa sehari sebelum hari H, tadi aku kerumah ibumu, tapi kamu gak ada, Dahlia juga gak ada, gak apa-apa ya, aku ngomong disini." sambung mas Rahmat.
"Alah santai aja lho mas, gak apa-apa. Insyaallah kami datang."
Setelah ngobrol sebentar, aku pamit pulang. Sesampainya dirumah ibu, Dahlia sudah bersiap dengan tasnya yang sudah terlihat usang, semenjak menikah denganku, dia belum pernah membeli tas untuk pergi-pergi. Bukan tidak ingin membelikan, tetapi uang yang kami dapat dari bekerja hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar cicilan.
"Sudah siap dek?" tanyaku pada Dahlia yang duduk di teras.
"Sudah mas."
"Aku pamit ibu dulu ya." Dahlia menggangguk.
Aku kebelakang untuk mencari keberadaan ibu. Wanita yang sudah menginjak usaia 60 tahun itu tengah memanggil ayamnya.
"Ker ... Ker ... Ker."
"Bu Guntur pa ...." Kata-kataku terhenti ketika melihat ibu sedang memberi makan ayam dengan beras yang kubawa tadi.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
SEKARUNG BERAS UNTUK IBU
RandomGuntur merasa ibunya tidak pernah menghargainya sebagai seorang anak, hanya karena dia satu-satunya anak yang tidak berhasil dalam mengumpulkan harta. Satu karung beras yang dia berikan untuk ibunya ditengah-tengah keterbatasan ekonomi keluarganya...