Perih rasa hatiku bagai tersayat sembiluh. Beras dua kilo jika untukku dan keluarga bisa dimasak untuk makan dua hari, terkadang lebih. Tapi dengan mata kepalaku sendiri beras yang mungkin sangat berharga itu harus kandas dilahap ayam.
Gajiku bekerja di pabrik roti sebesar satu juta dua ratus ribu rupiah dan di bayarkan setiap satu minggu sekali, jadi aku menerima gaji sebesar 300 ribu per minggu, semua sudah ada post-nya masing-masing, 125 ribu aku sisihkan untuk bayar angsuran. Selebihnya untuk kebutuhan sehari-hari, seperti membeli beras, bayar listrik, air uang saku Ridho dan jika bersisa akan ditabung Dahlia untuk biaya tak terduga, tapi lebih sering kurang daripada lebih.
Aku mempunyai angsuran di bank milik pemerintah, yang aku gunakan untuk biaya wisuda Guruh waktu itu.
"Coba kamu ajukan pinjaman di bank, Tur. Ibu sudah gak ada uang untuk biaya wisuda Guruh."
"Pakai jaminan apa bu? Sertipikat rumah ini kan sudah digadaikan." jawabku waktu itu.
"Kan bisa pakai sertipikat rumahmu," ujar ibu sedikit memaksa.
"Tapi rumah itu milik Dahlia bu, Guntur gak ada hak atas rumah itu, karena rumah itu yang belikan bapaknya Dahlia," kilahku. Aku tidak enak jik harus menggadaikan sertipikat rumah yang kami tinggali, sudah bersyukur orang tua Dahlia memberi rumah untuk kami berteduh
"Kan cuma pinjam Tur, gak dijual! Apa susahnya?" Suara ibu mulai meninggi.
"Maaf Bu, bukannya masih ada uang asuransi bapak? Kan itu bisa digunakan untuk biaya wisuda Guruh, kalau pinjam bank, nanti siapa yang kaan bayar bu? Gaji Guntur kan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja." Aku masih berusaha menolak agar ibu tidak memaksa mengajukan pinjaman.
"Gak usah kamu ungkit-ungkit yang bukan urusan ku Tur, uang asuransi bapakmu itu sepenuhnya untuk ibu, bukan untuk bayar kuliah, yg jdi tanggung jawab adikmu kan kamu, setelah bapakmu meninggal!"
"Mas ... Mas ..." Tepukan Dahlia dibahuku menyadarkanku dari lamunan.
"Iya dek, ada apa?" Aku terperanjat.
"Mas itu gang kerumah kita kelewatan lho, rumah kita kan harusnya belok kanan," ujar Dahlia, seketika aku pijak tuas rem untuk menghentikan laju kuda besiku yang sudah sepuluh tahun menemaniku dan Dahlia.
"Astaghfirullah," ucapku beristighfar.
"Kamu melamun Mas?" tanya Dahlia menelisik.
"Gak kok dek, tadi merhatikan mobil didepan kita jadi gak fokus," kilahku.
"Sama pak, Dodo juga lagi lihatin mobil yg didepan, bagus ya pak?"
"Iy Do, bagus," hatiku lega karena Ridho.
"Kapan ya pak kita bisa beli mobil?" sambung Ridho.
"Doain aja rezeki kita lancar ya," hiburku, aku tidak tahu kapan bisa membeli mobil, jangankan mobil, motor saja sudah dikatakan butut, namun belum mampu menggantinya dengan yang baru.
Motor ini aku beli second dengan cara menyicil, sejak aku dan Dahlia masih pacaran dulu. Sampai sekarang masih kami pakai, beruntung motor ini tidak banyak rewel, mesinnya juga masih bgaus, tetapi modelnya sudah ketinggalan jaman.
Segera kubelokan motorku kearah kanan dimana tempat kami tinggal. Rumah yang dibelikan bapak mertua terletak dipinggiran kota.
Sesampainya dirumah, Ridho langsung berlari kesamping rumah, entah yang anak itu lakukan.
"Kamu ngapain Do?" tanya istriku.
"Mau pipis bu, gak tahan."
"Owalah," suhutku sambil terkekeh. Dibelakang rumah ki memanga ada tempat untuk mencuci baju yang tidak menyatu dengan rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEKARUNG BERAS UNTUK IBU
RandomGuntur merasa ibunya tidak pernah menghargainya sebagai seorang anak, hanya karena dia satu-satunya anak yang tidak berhasil dalam mengumpulkan harta. Satu karung beras yang dia berikan untuk ibunya ditengah-tengah keterbatasan ekonomi keluarganya...