Rencanaku untuk membuka warung mie ayam disambut baik oleh bapak dan ibu, bahkan mereka siap untuk menambah modal jika uang yang aku punya masih kurang.
Bapak yang paling semangat untuk membuatkanku warung. Pagi sekali Bapak sudah datang ketika aku masih sibuk di dapur. Celoteh bapak dan mas Guntur terdengar hingga kesini. Aku langsung membuatkan kopi hitam untuk bapak.
Aku sangat bersyukur karena kedua orang tuaku masih ada dan sehat, walaupun perlakuan ibu mertuaku tidak sebaik yang aku kira diawal menikah, bahkah bisa dikatakan tidak baik. Aku tetap berusaha bersikap sebagai selayaknya seorang menanntu. Membantu jika bisa aku bantu dan memberi selagi bisa aku beri.
Aku juga sebisa mungkin membujuk mas Guntur untuk tidak membenci ibu, dengan perlakuan yang semena-menanya itu. Aku tidak mau pada akhirnya nanti akan berbalik pada kami nantinya sebagai orang tua. Tugas kita hanya berbakti dan mendoakan kebaikan untuk orang tua.
Setelah berbincang sebentar dengan bapak, kami berdua berangkat kerja, sebenarnya mas Guntur tidak enak hati meninggalkan bapak bekerja sendiri di rumah, tapi apa boleh buat. Bapak orangnya suka tidak sabaran dan mas Guntur juga harus bekerja.
Pelepasan jabatan Nia sebagai guru kelas kepada guru yang baru harus dipercepat karena suatu hal. Kepala sekolah membuat acara dadakan untuk perpisahan Nia. Aku kebagian tugas menghubungi mas Guntur untuk memesan roti kotak.
"Sebenarnya tidak perlu pakai perpisahan segala pak Agus," tolak Nia ketika pak Agus--kepala sekolah kami ingin mengadakan acara perpisahan.
"Ini harus Bu, bu Nia kan disini sudah 10 tahun mengabdi, saya dan guru-guru sangat berterimakasih dengan bantuan bu Nia," jawab pak Agus.
"Iya bu Nia, anak-anak juga ingin memberikan salam perpisahan untuk bu Nia," timpal guru yang lainnya.
Jadilah hari ini kami mengadakan perpisahan dadakan sekaligus serah terima jabatan. Berkali-kali Nia menyeka air mata disudut netranya. Pun dengan aku dan guru lainnya, tak menyangka jika hari ini hari terakhir Nia memgajar di SD ini.
"Kita mampir ke pasar dulu ya Lia, ada yang mau aku beli, gak apa-apa kan?"
Hampir setiap hari aku nebeng Nia jika pulang dari sekolahan, sudah hal biasa ketika pulang ngajar aku salalu bareng Nia. Disamping rumah Nia melewati rumahku, aku juga tidak pernah membawa motor. Karena motor kami cuma ada satu, dan selalu dibawa mas Guntur bekerja.Awalnya aku merasa sungkan karena hampir tiap hari selalu nebeng, tetapi Nia tidak pernah mempermasalahkan hal itu, kadang ketika aku sudah berjalan kaki, Nia selalu maksa untuk naik keboncengannya.
"Ya gak apa-apa Nia, aku kan ngikut aja kemana sopir membawa," kekehku.
"Oh jadi selama ini menganggap aku sopir ya." Nia menempatkan kedua tangannya dipinggang sambil buang muka, tapi bukan membuatku takut, malah semakin membuatku gemes dengan sikap Nia. Kami memang sering seperti itu, suka meledek satu sama lain.
"Biar aku aja yang nyetir, Nia. Ibu hamil duduk manis aja di belakang," tawarku.
"Boleh deh." Dengan hati-hati Nia naik ke atas motor, kemudian aku lajukak kendaraan roda dua itu menuju pasar.
Selesai belanja, kami langsung pulang. Aku turun di depan warung mbak Jumi untuk membeli roti kelapa, es batu dan minuman rasa buah. Bapak sangat suka sekali jika lagi kerja disuguhin roti kelapa dan es rasa buah, katanya makin semangat.
"Ini untuk Ridho." Nia menyerahkan satu kresek berisi buah salak yang dia beli di pasar tadi.
"Ini banyak banget lho, Nia." Dengan ragu aku menerima plastik yang berisi buah salak.
"Ridho kan suka buah salak, jadi tadi aku sengaja beli untuk dia," sambung Nia.
"Aku kira ini tadi buat Kaira."
"Kaira kurang suka, dia lebih suka jeruk. Makanya aku tadi beli jeruk sama salak. Salak untuk Ridho dan jeruk untuk Kaira. Nih ambil aja!"
"Makasih banyak ya, Nia." Nia tersenyum, kemudian dia ambil alih motor yang tadi aku kendarai. Dengan perlahan wanita yang tengah berbadan dua itu melaju dengan kecepatan terendah.
"Hati-hati," teriakku.
"Iya," sahutnya dari balik kaca helm.
Aku turuni tanah berundak menuju warung mbak Jumi yang memang berada lebih rendah dari jalan. Jam segini biasanya warung sepi, jadi aku tak perlu berlama-lama berada di warung.
"Pulang cepat kamu, Lia?" tanya mbak Jumi tiba-tiba, yang membuat aku sempat terperanjat karena tak melihat sang punya suara.
"Eh ... Iya mbak Jum, tadi ada acara di sekolah, jadi pulangnya cepat."
"Mau beli apa?" tanyanya kemudian.
"Roti kelapa, es batu sama jus jas dua ribu."
Tak berap lama mbak Jumi sudah mengambilkan barang yang aku beli. Setelah membayar aku langsung pulang, tak mau berlama-lama, taku kebablasan ngegosip.
"Kok buru-buru toh, Lia."
"Ada bapak di rumah, Mbak," jawabku.
"Tadi pak Danang udah pulang, sama Ridho juga ikut."
"Owalah, sudah pulang toh, aku mau langsung pulang dulu Mbak, belum masak untuk makan siang. Biasanya mas Guntur pulang."
Aku naiki tangga alami dari tanah itu dengan sedikit ngos-ngosan. Karena bawaanku ternyata cukup banyak, buku KKS anak-anak sengaja aku bawa pulang untuk dikoreksi.
Ternyata benar kata mbak Jumi, di rumah sudah sepi. Kulihat tanah di depan teras sudah bapak ratakan. Bahkan sudah ada beberapa bambu besar. Mungkin bambu itu akan digunakan untuk tiang.
Segera aku membuka pintu dan meletakan bawaanku di atas meja makan. Sebelum beraktivitas kembali, kuteguk air putih terlebih dahulu untuk menghilangkan dahaga. Es batu yang tadi ku beli, aku masukan kedalam teko. Sementara jus jas nya belum aku campur.
Di luar rumah, terdengar suara motor berhenti. Pasti itu suara motor mas Guntur, segera aku cuci muka dan mengganti baju dengan baju rumah. Derap langkah seseorang terdengar begitu tergesa-gesa. tak bisanya mas Guntur begitu.
"Hei, perempuan tak tahu diuntung kamu ya, beraninya kamu godain suamiku," teriak mbak Tika sambil menunjuk wajahku.
"Maaf Mbak, ada apa ini? Kenapa mbak Tika teriak-teriak?" tanyaku tak mengerti.
Plak .... Tamparan keras mendarat dipipiku, seketika pipi ini menjadi panas. Tak hanya, mbak Tika juga sudah menarik rambutku dengan kasar. Aku tak sempat untuk menghindar karena merasakan sakit ya ditampar olehnya.
"Dasar perempuan gat*l kamu ya! sengaja kamu mau bernostalgia sama mas Rendi. Hah?"
"Au ... Sakit Mbak." tangaku mencoba melepaskan jambakan rambutku.
"Mbak Tika! Apa-apaan ini? Kenapa mbak jambak rambut Dahlia?" Tiba-tiba mas Guntur datang dan mencoba melepaskan jambakan dirambutku, aku meringis kesakitan.
"Bilang sama istri kamu ini, jangan kegatelan jadi perempuan!"
"Kepaskan Mbak!" teriak mas Guntur.
"Jangan coba-coba kamu merebut mas Rendi dari aku!"
"Ada apa Mbak?" Mas Guntur beralih pandang kearahku. "Dek, ada sebenarnya?" Aku masih syok, belum mampu menjawa pertanyaan mas Guntur.
"Ma, lepaskan! Dahlia tidak salah!" Teriak mas Rendi yang tiba-tiba sudah diambang pintu.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
SEKARUNG BERAS UNTUK IBU
RandomGuntur merasa ibunya tidak pernah menghargainya sebagai seorang anak, hanya karena dia satu-satunya anak yang tidak berhasil dalam mengumpulkan harta. Satu karung beras yang dia berikan untuk ibunya ditengah-tengah keterbatasan ekonomi keluarganya...