Bab 7

251 10 0
                                    


Dahlia

"Mas Rendi ngapain kesini tadi Dek?" tanya mas Guntur tiba-tiba, diasaat hatiku tengah mengontrol perasaan yang tak menentu.

"Cuma mampir, kangen Ridho katanya Mas, sama kasih jajan untuk Ridho." Berkali-kali aku membenarkan posisi dudukku agar tak begitu kentara jika aku tengah salah tingkah dan gugup.

Mas Rendi, orang yang dulu sangat kucintai dan kuharapkan dia yang menjadi ayah dari anak-anakku, namun nyatanya laki-laki itu pergi sehari sebelum melamarku. Acara lamaran yang sudah aku dan orang tuaku persiapkan harus kandas begitu saja.

Jangan ditanya bagaimana rasa, sudah pasti sakit, bahkan karena kegagalan itu, aku sempat mengurung diri di kamar selama berhari-hari. Aku tidak pernah lagi berbaur dengan tetangga selama berbulan-bulan. Tak hanya itu, akupun menutup diri dari media sosial. Keseharianku hanya kuhabiskan dengan menulis, menulis surat tepatnya.

Setiap hari aku selalu menulis surat untuk mas Rendi, apapun yang aku rasakan aku tulis didalam surat itu. Tapi surat itu tak pernah aku kirim mau mengirimnya kemana pun, aku tidak tahu keterpurukan itu aku lalui hingga setahun lebih.

Hingga akhirnya aku mulai berpikir, bagaimana bisa aku melanjutkan hidup, jika aku terus menutup diri dari lingkungan. Nia--sahabat baikku ketika aku SMA dulu menawariku bekerja di sekolah tempat dia mengajar. Akupun mengiyakan tawaran Nia.

Sebelumnya aku sempat bekerja di sebuah koperasi, namun terpaksa berhenti karena keadaanku yang tidak memungkinkan bekerja pasca kegagalan menikah.

Tak butuh waktu lama aku langsung di terima bekerja di sekolah tempat Nia mengajar. Karena memang di sekolah itu sangat membutuhkan guru Agama.

Hari berikutnya aku sudah bisa mengajar, tugasku mengajar Agama dari kelas satu hingga kelas kelas enam. Begitulah keseharianku sebagai guru honor di SD.

Hingga akhirnya aku bertemu dengan mas Guntur ketika dia tengah mengantar roti ke sekolah, waktu itu ada cara perpisahan kelas enam. Pihak sekolah memesan kue di toko roti haji Mansur yang terkenal enak.

"Maaf mbak, kue-kue ini diletak dimana ya?" Aku celingukan, mencari sumber suara yang mengajakku berbicara.

"Mbak," panggil laki-laki itu lagi.

"Eh iya mas, disitu saja!" Aku menunjuk tempat dimana harus diletakan kue-kue tersebut.

Sebenarnya aku ingin membantu, tetapi pekerjaanku masih menumpuk, mengoreksi hasil ujian siswa kelas sampai kelas lima. Pria berbaju seragam toko itu selalu memperhatikanku, dapat kulihat dari ujung mataku.

"Maaf ya, Mas. Saya tidak bisa membantu, karena pekerjaan saya masih banyak." Akhirnya aku bersuara karena merasa diperhatikan. Mungkin dia mengharapkan bantuanku untuk menurunkan ratusan kotak kue.

"Tidak apa-apa mbak, sebentar lagi teman saya membantu." Aku mengangguk, tak lama memang temannya datang untuk membantu menurunkan kue-kue itu.

"Mbak, maaf ini notanya." Pria itu menyodorkan kertas berisi tulisan pesanan kue.

"Tapi bu bendahara tidak menitipkan uang pada saya," ucapku.

"Ini sudah dibayar lunas kok Mbak, saya hanya menitipkan nota ini saja, karena saya lihat tidak ada orang disini," jawabnya lembut.

"Oh, baik. Terimakasih," balasku, kemudian aku melanjutkan aktivitasku kembali.

"Maaf sekali lagi, Mbak. Boleh minta nomor telfon mbaknya, untuk laporan ke toko nanti, karena biasanya piha costumer servis kami kan menelfon si penerima kue."

"Bisa, Mas. Akupun menulis dua belas digit nomor telfonku di kertas yang tidak aku pakai lagi.

"Makasih Mbak, saya permisi."

"Iya," jawabku seraya tersenyum manis. Dari dalam masih bisa kudengar auara mas-mas tadi berbicara, namun aku tak terlalu memperdulikan.

---

Selepas Asar, ponselku berdering dengan nada poliponinik khas ponsel jadul, ternyata nomor baru yang menelfonku. Segera aku pencet tombol bergambar gagang telfon hijau sebelah kiri. Jaman itu sudah ada handphone BB, namun aku belum mampu untuk membelinya.

"Assalamualaikum," sapaku ketika telfon sudah tersambung. Kulembutan selembut mungkin suaraku, karena aku ingat perkataan si kurir roti jika ada costumer servis akan menelfon menanyakan pelayanan.

"Wa'alaikumsalam," jawab seseorang dari seberang telfon.

"Maaf dengan siapa ya?" tanyaku penasaran.

"Saya yang ngantar kue siang tadi Mbak," jawab pria itu lembut.

"Oh iya, Mas. Ada yang bisa saya bantu?"

Ternyata yang menghubungiku pria pengantar kue ke sekolah tadi siang, awalnya dia menanykan bagaimana rasa kuenya. Karena menurut keteranganya, peracik dan pangadon bahan bakunya adalah dia.

Awalnya kami hanya mengobrol masalahan kue yg dia buat, lama kalamaan obrolan kami makin seru, Guntur--nama pria itu. Dan sampai saat ini costumer servis yang dia maksud tidak pernah menelfonku.

Seiring berjalannya waktu, hubunganku dengan mas Guntur makin dekat, dan diapun mengungkapkan keseriusannya untuk meminangku. Sebenarnya aku masih trauma akan kejadian dua tahun silam, tapi kedua orang tuaku selalu memberikan nasehat-nasehat yang membuatku berani menerima mas Guntur.

Mas Guntur membawaku main ke rumahnya, berkenalan dengan keluarganya. Bapak mas Guntur ternyata sudah berpulang beberapa tahun silam. Ibunya menyambut baik diriku sebagai calon keluarganya. Mas Guntur mempunyai adik laki-laki yang masih duduk di bangku SMA, sementara mbak Tika--kakak perempuannya sudah mempunyai dua anak.

Setelah semua sepakat, kami menikah dengan cara sederhana, hanya mengundang tetangga satu RT dan perangkat desa. Aku sendiri yang tidak mau pesta karena alasan trauma.

Mas Guntur juga sudah tahu aku pernah mau menikah tetapi gagal, tapi aku tidak pernah memberitahu dirinya siapa laki-laki itu, bagiku laki-laki pengecut itu sudah mat*.

Satu minggu setelah menikah, aku diboyong ke rumah mertua, awalnya aku menolak tinggal bersama mertua, karena ada adik laki-lakinya yang bukan mahramku. Mas Guntur menyakinkan tinggal dirumah mertua hanya sebentar.

Malam itu, mbak Tika datang bersama suami dan anaknya, Salsa dan Febi. Waktu pernikahan kami kemarin, suami mbak Tika tidak bisa hadir karena tugas di luar kota.

"Lia, tolong buatkan minum untuk Tika sama suaminya," perintah ibu dengan sedikit berteriak.

"Iy bu," jawabku. Akupun ke dapur untuk membuatkan minum untuk mbak Tika dan suaminya. Sebenarnya rumah mbak Tika tidak terlalu jauh dari rumah ibu, tapi perlakuan ibu seolah mereka tamu juah yang harus disambut kedatangannya.

Aku hanya positif tinking saja, mungkin karena suami mbak Tika baru datang dari luar kota.

Tiga gelas teh hangat dan dua gelas kopi hitam sudah siap, segera aku keluar untuk mengantarkan minuman ke ruang tamu.

Aku letak nampan diatas meja, satu persatu kuturunkan. Suami mbak Tika duduk disampingnya dengan wajah menunduk sibuk dengan ponselnya.

"Silahkan, mas! Diminum!" ucapku seraya menyodorkan gelas kopi kehadapannya.

"Iya, terimakasih." Laki-laki itu mendongak dan betapa terkejutnya aku ketika kau tahu pria itu adalah pria yang sama dengan orang telah menyakitiku.

Saking gugupnya aku, hingga kopi yang kupegang jatuh dan tumpah mengenai tanganku.

"Astaghfirullah," teriakku sembari beristighfar.

"Dek, kamu gak apa-apa?" tanya mas Guntur.

"Maaf," ucapku, kemudian aku berlari ke belakang untuk membasuh tanganku yang terkena air kopi panas.

"Dek, kamu gak apa-apa?"

****

SEKARUNG BERAS UNTUK IBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang