Bab 8

262 14 0
                                    


"Kamu gak apa-apa Dek?" Tak kujawab pertanyaan mas Guntur. Tanganku masih kuletakan dibawah guyuran air kran.

Hatiku berdebar tidak karuan, dunia ini kadang terasa sempit, dulu ketika mas Rendi pergi begitu saja, sangat sulit aku temukan. Bahkan dirumahnya dia tidak pernah muncul. Orang tuanya pun seakan-akan lupa tetang diriku.

Sekarang dia hadir dan menjadi kakak iparku. Bod0hnya aku tidak menyelidiki keluarga mas Guntur sebelumnya.

"Gak apa-apa Mas, cuma panas sedikit," jawabku, seraya mengoleskan pasta gigi kearea tangan yang terkena air panas.

"Kamu istirahat aja di kamar, biar Mas yang beresin depan sekalian buatkan kopi lagi untuk mas Rendi."

Deg ... Jadi benar yang didepan itu mas Rendi, tadinya aku berharap aku hanya salah lihat dan kebetulan mirip dengan mas Rendi.

Aku menurut dengan perkataan mas Guntur, segera aku ke kamar untuk menenangkan diriku. Tak berapa lama mas Guntur menyusulku ke kamar, dia membawa kotak yang dibungkus dengan kertas kado.

"Ini dari mas Rendi, Dek. Waktu acara pernikahan kita kemarin kan mas Rendi gak bisa datang, jadi dia bawakan ini untuk kita." Aku hanya mengangguk, kemudian Mas Guntur melekatkan kado itu di sudut kamar.

"Masih sakit?" mas Guntur mengelus punggung tanganku.

"Gak, Mas."

"Mereka langsung pulang, mas Rendi besok mau keluar kota lagi," sambung mas Guntur.

"Memangnya suami mbak Tika kerja dimana mas?" Aku berusaha mengulik informasi tetang pernikahan Mbak Tika dan Mas Rendi.

Dulu waktu berpacaran denganku, Mas Rendi mengaku bujang, tetapi Mbak Tika sudah mempunyai anak sebesar Salsa. Salsa sekarang sudah sudah kelas lima SD. Jadi selama ini aku dibohongi Mas Rendi, ternyata dia sudah mempunyai anak dan istri.

"Kerja di perkebunan milik pemerintah, itu kenapa mas Rendi jarang di rumah, dulu mbak Tika kerja di perusahaan yang sama, tapi karena mereka menikah, dengan terpaksa mbak Tika harus resign. Karena gak boleh kerja dalam satu perusahaan," jelas mas Guntur.

"Oh ... Berarti mereka udah lama menikahnya, Mas?" tanyaku memancing.

"Belum, baru dua tahun ini, kalau sama bapaknya Salsa udah lama pisah."

Deg ... Jadi selama ini mas Rendi selingkuh sama mbak Tika. Yaa Allah kenapa hatiku nyeri begini. Astaghfirullah, berkali-kali aku beristighfar didakam hati, meredam gejolak hatiku yang kian memanas.

"Mas, aku tidur dulu ya, sudah ngantuk," pamitku pada mas Guntur kemudian. Aku tak ingin dia mengetahui bagaimana perubahan wajahku saat ini.

"Yah, kok tidur sih, Dek," rengeknya.

"Bukannya mas Guntur malam ini giliran ronda malam?"

"Ah iya, Mas lupa. Yaudah, kamu tidur dulu gih, Mas mau ngopi dulu, biar gak ngantuk nanti."

---

Semenjak aku tahu mas Rendi suami dari mbak Tika, aku selalu menghindari mereka jika mereka datang ke rumah ibu. Hingga akhirnya aku dan mas Guntur bisa pindah ke rumah kami sendiri, rumah yang dibelikan oleh orang tuaku. Bahkah Sampai saat ini ku selalu menghindari mereka.

Tak hanya masalah mas Rendi, aku sebenarnya sudah merasa semenjak menikah dengan mas Guntur, sikap ibu perlahan berubah, terlebih ketika bapak mertua meninggalkan karena serangan jantung. Sikap ibu benar-benar berubah bahkan terhadap mas Guntur, anaknya sendiri.

Ibu selalu membandingkan antara mas Guntur dengan kedua saudaranya yang notabene mempunyai harta yang melimpah. Seakan mereka lupa dibalik keberhasilan Guruh, terutama ada tenaga kami yang diperas.

Dari biaya wisuda, biaya untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan asing, hingga biaya pernikahan selalu kami yang dirayu-rayu untuk meminjam uang di bank.

"Setelah bapak kamu meninggal, secera otomatis kewajiban membiayai seluruh kebutuhan Guruh itu ya Guntur, kakak lelakinya."  Selalu begitu kata-kata ibu yang membuat kami akhirnya menyetujui untuk meminjam uang di bank.

--

Sore itu aku baru saja selesai mandi, Ridho sudah pergi ke masjid untuk mangaji. Tiba-tiba ibu dan mbak Tika datang, tanpa salam dan semacamnya, mbak Tika langsung masuk kedalam rumah sambil mengumpat.

"Kembalikan beras ibu, gak tahu malu kamu ya! Sudah ngasih malah diambil lagi," teriak mbak Tika sambil menunjuk kewajahku.

"Maksud mbak Tika apa?" Aku benar-benar tak mengerti apa yang mbak Tika biacarakan.

"Gak usah pura-pura gak tahu kamu Lia, pasti kamu kan yang ambil lagi beras dari Guntur kemarin, kamu pasti gak pernah makan beras enak. Makanya kamu ambil lagi beras yang seharusnya untuk ibu," sambung ibu. Ternyata mereka membicarakan sekarung beras yang kemarin kami kasih.

"Oh, beras itu? Maaf bu, bukannya ibu tidak mau menerima beras itu. Karena beras itu sampai pagi, bahkah kena air hujan tidak ibu masukan."  Aku mencoba menjelaskan kenapa aku bawa kembali beras itu pulang ke rumah.

"Iya memang, beras itu sengaja ibu kasih untuk ayam. Mana level lidah ibu makan beras ynag biasa untuk ayam makan." Bibir ibu mencebik sambil menyilangkan kedua tangannya kedada.

"Astaghfirullah, Bu. Beras itu beras bagus. Ibu tahu sendiri bagaimana keadaan kami, untuk membelikan beras itu,  mas Guntur rela lembur setiap hari agar bisa memberikan ibu sekarung beras yang menurut kami paling mahal dan enak. Agar mas Guntur bisa dianggap oleh ibu, tidak dianak tirikan. Tapi ibu benar-benar tidak menghargai kerja keras mas Guntur demi ibu." Air mataku mulai melaut membayangkan bagaimana capainya mas Guntur bekerja lembur demi ibu.

"Ck, orang misk*n sok-sokan mau beli beras mahal, itu beras hanya cocok untuk makan ayam-ayam ibu, tega kalian beri makan ibu beras untuk makan ayam, hah!" bentak mbak Tika. Air mataku kian meluas mendengar perkataan mbak Tika.

"Mbok jadi orang itu mikir! kalau udah dikasih ngapa diambil lagi!" ujar ibu dengan sorot mata meremahkan.

"Ibu, mbak Tika, ada apa?" Tiba-tiba mas Guntur datang.

"Ini lagi, anak gak berg*na, bisa-bisanya kalian ambil lagi beras yang sudah kalian kasih." bentak ibu sambil menunjuk wajah mas Guntur.

"Memang bukan untuk ibu, untuk ayam-ayam ibu, sengaja ibu suruh kamu tarok diteras, biar ayam Ibu kalau makan gak perlu ngasih-ngasih lagi."

"Bagaimana ibu bisa berpikir seperti itu, sedangkan ibu tahu sendiri kehidupan kami bagaimana, bahkan membeli beras itu yang khusu kami berikan untuk ibu, hasil dari lemburku selama satu minggu. Tapi Ibu sama sekali tidak menghargai usahaku dan Dahlia," ucap mas Guntur.

"Sudahlah, mana berasnya!" potong mbak Tika.

Akupun bangkit dan masuk kedalam untuk mengambil beras yang sudah aku bersihkan. Ibu kemudian bangkit dan mengambil dengan kasar beras ditangan Dahlia.

"Kalau sudah dikasih, jangan diambil lagi, terserah ibu mau diapakan beras ini," sewotnya, kemudian berlalu begitu saja. Tak lama terdengar suara motor mbak Tika menjauh dari rumah.

****




SEKARUNG BERAS UNTUK IBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang