O1. Rumah Sebelah

5.1K 308 17
                                    


Kata demi kata menembus netra pemuda berkacamata itu. Tidak sedikitpun ia bergerak, seperti yang biasa terjadi. Pemuda berkacamata itu selalu fokus menatap bukunya, tanpa sadar ada yang memasuki ruang kamarnya.

"Marcus," panggil wanita paruh baya dengan lembut. Mark melirik sekilas wanita yang mengenakan kaus lengan panjang bunga-bunga itu, ia berdeham untuk meresponnya.

"Kita punya tetangga baru, Nak. Kamu tidak mau melihatnya?" tanya wanita paruh baya, baiklah sebut saja dengan Mama Maya, ia mendekati sang putra semata wayangnya.

Pemuda berkacamata itu menggeleng dengan posisi yang masih sama seperti tadi, terduduk di ranjangnya, "aku sedang belajar untuk ulangan besok, Mam."

Wanita paruh baya yang statusnya adalah ibu dari Marcus pun hanya bisa menghela nafasnya. Mengapa anaknya ini terlalu fokus mendapatkan nilai tinggi? Toh, dirinya dan suaminya tidak pernah meminta anaknya untuk belajar terus-menerus. Dirinya ingin Marcus seperti remaja lain, menikmati masa remaja bersama teman-teman contohnya. Ini jangankan main bersama teman, keluar rumah saja jarang. Paling pemuda berkacamata ini hanya akan keluar untuk sekolah, ke perpustakaan kota, dan pergi ke warung jika Mama nya menyuruh.

"Cukup, Ryan Marcus. Nanti bisa belajar lagi, ayo ikut Mama," ujar Mamanya dengan menarik ujung lengan Marcus hingga ia mulai melepas buku di genggamannya.

"Seberapa penting tetangga itu, Ma?" tanya Marcus polos.

"Astaga, Sayang. Mama hanya ingin kamu bersosialisasi, sedikit saja. Bisa?" Marcus menghela nafas lalu mengangguk pelan. Dirinya terpaksa mengikuti Mamanya.

Selamat tinggal buku dan pena kesayanganku.

.

.
.


Kacamata nya ia benarkan untuk mengusir rasa canggung dalam dirinya. Pemuda itu hanya bisa melihat sekeliling ruang tamu itu, Mamanya masih sibuk mengobrol. Oh demi apapun! Hal ini benar-benar membosankan, lebih baik membaca buku berjam-jam di dalam kamar sana daripada mendengarkan kedua wanita paruh baya itu bergosip.

"Namanya Marcus, ya?" ujar wanita tetangga barunya. Pemuda berkacamata itu mengangguk kaku sembari tersenyum tipis.

"Dia baru masuk SMA." Mama Tesha menambah kekehan kecil di akhir kalimatnya. Sang anak hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu.

"Ku dengar kau punya anak perempuan? Selisih berapa tahun dengan anakku?" sambung Mama nya.

"Kelas tiga SMP. Dia masih kecil, sangat manja dan juga cerewet. Tetapi senyuman nya bisa menghibur semua orang." Kedua wanita itu terkekeh lagi. Entah apa yang lucu dari percakapan itu, Marcus amat tidak paham. Materi pembicaraan ibu-ibu tidak ada di sekolah nya. Jadi sulit sekali untuk memahaminya.

Setelah beberapa menit pembicaraan itu berlalu, tetangga barunya itu baru mengajak Marcus berbicara.

"Anakku sedang ada di kamar. Masuk saja kalau mau main." Wanita itu tersenyum lebar. Siapa tau anak mereka itu bisa berteman dengan baik, 'kan?

Pemuda berkacamata itu membalas senyumnya canggung. Sedangkan, Mama Maya mengangguk seru, wanita paruh baya itu setuju jika Marcus mau bermain bersama anak dari tetangga barunya ini.

Marcus lagi-lagi terpaksa mengiyakan. Agaknya hidupnya selalu ada dengan kata terpaksa, ya? Baiklah kembali lagi. Dirinya pun menuju kamar  anak tetangga barunya. Dengan sopan tentunya Marcus mengetuk pintu kamarnya. Seseorang di dalam kamar itu mengernyit, tak biasanya anggota keluarganya mau mengetuk pintu hanya untuk sekedar masuk kamarnya. Siapa yang ada di luar kamarnya?

bocah cadel; remake.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang