O4. Ikan

2K 193 5
                                    

"Kamu tidak bosan di sini teyus? Pulang sana," perintah Aelrish.

Marcus tak menghiraukan ucapan bocah cadel itu, ia kembali memfokuskan diri pada novelnya. Sebenarnya ia sedikit terbenak rasa kesal pada Aelrish.

Sudahlah tau Marcus lebih tua darinya, tetapi bocah itu tidak memanggil dengan embel-embel apa begitu. Kan pemuda berkacamata itu juga ingin dipanggil Kak atau Mas. Dengan nada yang lembut seperti waktu pertama kali mereka berjumpa. Bukan kasar seperti saat ini.

Yah, memang pernah sih. Waktu itu, Marcus dipanggil Kak olehnya. Tetapi itu hanya satu kali, sekarang sudah berminggu-minggu lamanya dari hari itu.

"Di rumahku tidak ada bocah yang bisa ku ganggu. Kalau di sini 'kan enak ada kau." Marcus mencubit pipi gembil itu entah untuk ke berapa kalinya. Bocah itu mengaduh kesakitan, ia merasa tidurnya terganggu.

"Ish! Sehali saja tidak mengganguku meliang?" Aelrish memukul badan pemuda berkacamata itu dengan bantal kesayangannya.

"Sudah dong, jangan kasar kasar."

Mendengar itu Aelrish berdecak dan merotasikan bola matanya, dramatis sekali tetangganya ini.

Marcus sedikit mengangkat bibirnya.

"Kamu tau tidak? Aku lasanya lebih cenang sekolah di sini," ujar Aelrish sembari memejamkan matanya tidak tertidur.

"Hmm iya? Kenapa begitu?" jawabnya penasaran.

Apa karena Marcus, ya?

"Di sekolah sebelumna, aku muak dengan olang-olang di sana. Mungkin menuwut meleka itu belcanda. Tapi, aku sakit hati."

Aelrish menghela nafas lalu melanjutkan kalimatnya, "meledek lidah cadelku. Yang padahal aku sendili tidak meminta ini."

Pemuda setahun lebih tua darinya itu mendengarkan baik-baik, mencoba memahaminya.

"Sedangkan di sini, aku bisa lebih meneyima diyi sendiyi. Kawena meleka malah suka belteman denganku."

Gadis itu mengubah posisinya menjadi duduk, juga matanya sudah mulai berkaca-kaca. Marcus pun melepas novel dari genggamannya dan mendekatinya.

"Kekurangan kamu itu adalah spesialnya kamu." Mendengarnya Aelrish malah tambah ingin menangis.

"Kamu tidak perlu jadi sempurna, cukup menerima diri kamu. Dan Tuhan yang akan mengirim orang-orang baik di sekitarmu."

Marcus mengelus-elus rambut coklat milik gadis itu, "kamu berharga, selalu."

Marcus tersenyum hangat, sedikit menahan tawanya karena melihat mata indah Aelrish menangis. Matahari terbenam kala itu, menjadi saksi bisu bagaimana Aelrish mulai menerima dirinya sendiri sebagaimana adanya. Walaupun diiringi tangis, Marcus tetap ada di sisinya.

.

.
.

"Bun! Ini Seya, temanku." Donghyuck tersenyum sangat lebar dengan membawa gadis di sampingnya. Shera pun tersenyum menyapa ibunda Aelrish.

"Wah, akhirnya kamu bawa teman selain Marcus ya." Bundanya terkekeh.

Aelrish menghela nafas, "Ayo ke belakang rumah, Sey! Di sana ada kolam ikan."

Mendengar ajakan itu Shera mengangguk. Mereka berdua akhirnya berjalan menuju belakang rumah Aelrish sembari berbincang-bincang, meninggalkan ibundanya yang tengah menonton sinetron di ruang TV tadi.

"YA! KAMU NGAPAIN DI CANA?" Aelrish berteriak sehingga Shera menutup kedua telinganya. Oh telinganya yang malang.

"Ayahmu mengajakku berkebun, hehe." Marcus yang badannya masih cemong dengan tanah serta topi di kepalanya itu tersenyum.

bocah cadel; remake.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang