Setiap Melihat Kamu Aku Merasa Dungu, dan Aku Benci Itu

33 3 0
                                    

Sena melihat jam tangannya dengan perasaan gelisah. Sejak tadi ia tampak tidak fokus dengan materi yang disampaikan oleh dosennya, padahal biasanya ia paling semangat jika menyangkut kelas ini. Namun sayang, fokusnya sekarang ada di tempat lain.

Kalimat yang diucapkan Nay kemarin malam terus menghantui kepalanya. Mau tidak mau ia membenarkan bahwa dia juga bersalah pada Sean. Sejak awal Sena memperlakukannya dengan bias, melimpahkan semua kesalahan padanya, men-judge pemuda itu sembarangan dan tidak memberikannya kesempatan untuk membela diri. 

Semua itu tak lepas dari pengaruh kesan pertama mereka, yang Sena tahu persis itu bukan kesalahan Sean.

"Sena, mau ke perpus? Infonya ada koleksi buku dan jurnal yang baru masuk."

"Nggak dulu Sen, gue ada urusan," jawab gadis itu menolak.

Setelah ini dia masih ada jadwal tutor dengan Sean. Meskipun seharusnya hanya memakan waktu satu jam, tapi dia memilih berjaga-jaga jika akhirnya energinya terkuras habis karena menahan ledakan emosi seperti sebelumnya.

"Oh, oke." Seno tersenyum kecil.

Setelah berpamitan gadis itu pun pergi ke luar ruangan kelas, diikuti oleh sepasang mata yang menatap kepergiannya dengan sorot kecewa. Setelah sebelumnya sempat menghabiskan waktu bersama di kafe, Seno merasa hubungannya dengan sena semakin dekat.

Mengetahui ada banyak kesamaan di antara mereka membuatnya merasa senang, hingga timbul keinginan dalam dirinya untuk mencari tahu lebih dalam tentang gadis itu. Padahal ia pikir informasi yang disampaikannya akan berguna, tapi ternyata tidak. 

Sudahlah, lain kali saja.

*****

"Ini apa?"

Sena menatap bingung cowok yang menyodorkan kantong plastik yang diisi penuh oleh berbagai varian es krim padanya. Dilihatnya es krim dan wajah Sean secara bergantian. 

Apa yang diinginkan orang ini?

"Es krim. Ayo dipilih mau yang cone atau yang di cup? Mau rasa stroberi, cokelat, vanila, tiramisu, yang ada kacangnya atau nggak? Semua ada."

Sesaat ia merasa yang dikatakan cowok ini mirip salah satu adegan di animasi kembar botak dimana uncle Muthu sedang menyebutkan menu di warung makannya.

"Mau jualan?" itulah respon yang bisa dipikirkan Sena. 

"Bukan, ini buat Sena. Hari ini panas banget, barusan aku cek suhu di Solo itu 32 derajat celcius. Nah pas banget, panas-panas gini enaknya makan es krim," jawab Sean sambil nyengir

Gadis itu menaikkan alis heran, ia tahu kelakuan cowok itu memang sering random, namun yang kali ini cukup mengejutkan. Ia menatap horor pada tumpukan es krim di dalam plastik. Memang sih cuaca kota Solo sedang terik-teriknya, tapi bukan berarti hal itu membuatnya bisa menghabiskan semua es krim itu kan?

"Terus, belinya harus sebanyak itu?" tanyanya.

"Aku ga tahu kamu sukanya rasa apa, daripada ditolak dengan alasan 'saya ga suka rasa itu' aku beli aja semuanya, jadi kamu ga bisa nolak."

Sena tersenyum kecut, jadi ini karena responnya yang selalu judes ya. Setelah dipikir-pikir, memang sikapnya terlalu berlebihan terhadap Sean. Dia tidak bisa bersikap netral karena kadung malu setiap melihat pemuda itu. 

"Tetap bisa dicounter dengan 'saya ga suka manis'," ujar gadis itu disertai sudut bibirnya yang terangkat sedikit sebelum mengambil satu es krim secara acak.

Ada jeda beberapa detik, yang membuatnya mendongak ke arah pemuda itu dan menemukan sepasang netra balik menatapnya dengan sorot terkesima. Senyuman itu singkat, mungkin hanya satu detik, namun damage yang ditinggalkannya pada Sean tidak main-main.

"Iya juga ya, kan senyum kamu udah manis," ujarnya spontan.

Cewek itu menghela napas panjang, kemudian kembali menatap Sean langsung di mata. Namun, kali ini dengan sorot tegas. 

"Sean," panggilnya.

"Iya?"

"Aku ga suka kamu gombalin kayak barusan."

"Oh," cowok itu sedikit tercengang, tidak menduga mendapat respon seperti itu. 

Selama ini gadis itu hanya akan memasang ekspresi kesal yang lucu di matanya, yang membuat Sean ingin terus menggodanya. Habisnya jika tidak begitu wajah Sena akan selalu datar, nyaris tidak menunjukkan ekspresi yang berarti. Hal itulah yang membuatnya tergerak untuk terus-terusan menjahili gadis itu.

"Aku juga ga suka sikap kamu di kelas yang selalu berisik waktu aku ngajar, itu mengganggu. Kita sama-sama sudah dewasa, jadi aku harap kamu mengerti."

"Jadi... kita sekarang pakai aku-kamu?"

"Sean!"

"Oh, oke. Ekhem, aku minta maaf kalau itu mengganggu kamu. Dari awal aku ngerasa itu lucu aja kalau ingat gimana awal kita ketemu. Aku penasaran apa kamu masih ingat, jadi aku bersikap kayak gitu, supaya dinotice."

Sena menghela napas, kali ini dia harus jujur. "Aku ingat... dan aku malu," gadis itu memberikan jeda kemudian menoleh pada pemuda di sampingnya yang menatapnya dengan terkejut.

"Salah masuk ke mobil kamu adalah satu dari sedikit kebodohan yang aku lakukan seumur hidupku, sampai hari ini. Jadi, setiap melihat kamu aku merasa dungu, dan aku benci itu. Itu sebabnya aku mengasosiasikan kamu dengan hal yang tidak menyenangkan demi melindungi diriku sendiri, maaf untuk itu," ungkapnya dengan kalimat paling jujur yang ia bisa jelaskan.

Sean terlihat masih memproses kata demi kata yang barusan diucapkan Sena. Jadi itu sebabnya gadis itu selalu terlihat tidak menyukainya, karena malu, bukan benci. Sean tidak bisa menahan senyum yang muncul setelah ia memahami situasinya.

"Hey, it's okay. Jadi, masalahnya udah selesai kan?"

"Belum."

Senyuman menghilang dari wajah cowok itu. Jangan bilang Sena ada hal lain yang membuat gadis itu tidak menyukainya? Ia pun bertanya dengan hati-hati.

"Ada lagi?"

"Ada, tentang aku jadi tutor kamu. Aku punya tugas untuk memastikan kamu lulus di matkul ini Sean, jadi aku harap kamu bisa serius," ujar gadis itu dengan keseriusan di matanya. 

...

TO BE CONTINUED!

Thanks for your time, hope you enjoy reading this story...

-Bloomin'S

How To Tell You The Reason: Why I Can Not Let You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang