Harusnya Ga Ada Masalah kan Ya?

39 10 2
                                    

Hari ini Sena berpenampilan tidak seperti biasanya. Ditambah masker yang senantiasa menutupi wajahnya meskipun perintah penggunaan masker di lingkungan kampus sudah tidak lagi berlaku.

Hari ini tugas pertamanya sebagai asisten dosen dimulai. Dikarenakan Pak Arya sedang menghadiri seminar di luar kota, ia ditugaskan untuk menggantikan beliau mengajar selama dua hari ke depan. Sialnya, hari ini adalah jadwal mengajar dosennya di prodi teknik industri, yang merupakan bagian dari fakultas yang dihindarinya itu.

Seno: aku di kelas

Sena: otw

Sena menghela napas. Perdebatan dalam diri membuatnya ragu. Ia sangat sadar tingkahnya ini begitu kekanakan dan cenderung memalukan, tapi sungguh ia tidak ingin berpapasan dengan cowok bernama Sean itu. Masuk tidak ya? Kalau masuk, ada kemungkinan ia bertemu dengan orang yang paling dihindarinya saat ini. Jika tidak masuk, profesionalitasnya dipertaruhkan.

Ah, kenapa juga waktu itu ia harus salah masuk mobil? Kalau tidak ada insiden itu, hidup Sena tidak akan mendadak ribet seperti ini.

Oke, mari kita analisa situasi saat ini. Selain nama dan fakultas, ia tidak mengetahui apa-apa lagi tentang pemuda itu. Memang benar dia di fakultas teknik, tapi apa iya dia berada di prodi yang dituju Sena saat ini? Lalu, kalau misalkan memang begitu, mungkinkah secara kebetulan cowok itu adalah mahasiswa baru? Mengingat mata kuliah kalkulus yang diajarkannya hari ini adalah materi di semester satu?

Kalau dipikir-pikir bukankah probabilitasnya sangat kecil—mendekati mustahil? Harusnya tidak ada masalah kan? Mana mungkin semesta sebercanda itu padanya?

Setelah memantapkan hati, Sena memilih untuk melanjutkan langkahnya. Dengan sikap waspada sambil tetap memperhatikan kanan-kiri, Sena melangkah menyusuri koridor gedung fakultas yang terletak di ujung paling depan komplek kampus itu. Ia berhenti di suatu ruangan yang sebelumnya diberitahukan oleh Pak Arya, ruang tempat ia akan mengajar hari ini.

Sebelum masuk, gadis itu menghela napas sedalam mungkin, meyakinkan diri bahwa hari ini akan dilaluinya tanpa kendala. Ya, ini bukan masalah besar. Di dalam, ia melihat Seno sedang serius mengutak-atik laptop hingga tidak menyadari kehadiran dirinya yang baru saja tiba. Ia berdeham untuk memberitahu keberadaannya.

"Ekhem, mau dibantu?"

Cowok itu mengangguk sekali dan menjawab, "tolong nyalain proyektor sama siapin layarnya boleh?"

"Bisa," jawabnya kemudian melakukan apa yang diperintahkan oleh Seno.

Setelah proyektor tersambung dengan laptop dan memastikan tidak ada kesalahan dalam media pembelajaran hari ini, Seno pun menghampiri Sena yang menyenderkan punggungnya di ujung papan tulis. Gadis itu sedikit merasa gugup. Bukan hanya karena kekhawatirannya tentang Sean, tapi juga karena ini adalah hari pertamanya mengajar.

Sena selalu berpikir bahwa belajar dan mengajar adalah dua hal yang jauh berbeda. Bahkan meskipun nilai-nilainya hampir selalu sempurna, bukan berarti ia bisa membuat orang mengerti dengan penjelasannya. Bukankah seringkali jalan berpikir orang pintar itu tidak mudah dipahami?

"Grogi?" tanya Seno yang kini menyamakan posisinya dengan Sena.

"Ya, it's my first time."

Keduanya berbicara dengan pandangan yang sama-sama lurus ke depan, ke arah bangku-bangku yang tersusun rapi. Di situlah 'murid-murid' mereka nanti akan duduk memperhatikan setiap materi yang disampaikan.

"You'll make it anyway, i'm sure."

"Thanks. Kamu sendiri, udah pernah ngajar sebelumnya?"

"Beberapa kali."

"Kalau gitu, mohon bantuannya?"

Si pemuda hanya membalas dengan senyum tipis.

Satu persatu mahasiswa mulai berdatangan. Sambil tetap menyembunyikan wajah dibalik masker dan tudung hoodie yang tetap terpasang di kepala, diam-diam Sena memperhatikan wajah-wajah di depannya itu, dalam hati mengucap syukur setiap kali matanya bertemu dengan wajah yang tidak dikenalinya. Sepertinya dia bisa menghembuskan napas, karena kekhawatirannya ternyata tidak terjadi.

Merasa aman, gadis itu membuka tudung hoodie dan melepas masker yang digunakannya sejak tadi. Ia menyunggingkan senyum untuk meninggalkan kesan ramah, sebelum membantai mereka dengan materi njelimet yang membuat mereka pusing tujuh keliling. 

Seisi kelas berseru takjub. Maklum, fakultas teknik memang biasanya didominasi oleh kaum adam, sehingga langsung heboh saat melihat ada cewek bening berdiri di depan mereka.

"Kayaknya ada yang fansnya nambah nih?" bisik Seno padanya.

Sena hanya memutar mata acuh, sedangkan cowok itu tertawa kecil dengan respon yang diberikannya.

Hari ini adalah pertemuan pertama di mata kuliah kalkulus dan jadwal kuliah mereka adalah 3 sks. Rencananya, satu jam pertama akan digunakan untuk perkenalan terlebih dahulu, kemudian dilanjut satu jam pengenalan materi, dan 1 jam berikutnya untuk masuk ke materi pertama.

Melihat waktu sudah memasuki jam kuliah, Seno kemudian membuka kelas dengan memperkenalkan dirinya dan Sena sebagai asisten dosen yang menggantikan untuk mengajar. Sesi perkenalan itu berlangsung dengan santai, mengingat usia mereka tidak terpaut jauh dengan mahasiswa lain di kelas itu. Hingga 15 menit kemudian, kehadiran seseorang menginterupsi perkenalan mereka.

Sena menoleh ke arah pintu, dan begitu matanya berhadapan dengan sosok yang sangat ia kenali, jantungnya seakan berhenti sesaat. Sosok yang sangat ingin dihindarinya. Sosok yang saat ini memasang sorot mata yang sama dengan beberapa waktu lalu, ketika melihat kehadiran Sena yang mendadak masuk ke dalam mobilnya.

Sepertinya Sena salah sangka, semesta memang sedang ingin bercanda dengannya.

*****

Seorang pemuda masih terdiam memandangi kaca spion tengah mobil yang mengarah ke belakang. Dilihatnya gadis yang beberapa saat lalu secara mengejutkan memasuki mobilnya, kini mendekatkan wajah ke jendela samping mobil yang berada tepat di belakangnya sebelum akhirnya masuk dengan tergesa-gesa.

Dari jendela depan mobil itu, samar-samar ia bisa melihat gadis tadi dan seorang temannya yang duduk di kursi kemudi membicarakan sesuatu dengan heboh. Gadis tadi juga berulang kali menundukkan wajahnya ke dasbor seperti menyesali tindakannya.

Sean, nama pemuda itu, tanpa sadar tersenyum membayangkan wajah gadis itu memerah karena salah tingkah, pasti sangat lucu. Beberapa menit kemudian, mobil di belakangnya pun melaju mendahuluinya. Sayang sekali ia tidak bisa memastikan ekspresi gadis itu dikarenakan jendela samping mobil yang sangat gelap.

"Ar... sena?" ujarnya pada udara kosong.

"Jadi namanya Arsena?"

Senyum pemuda itu semakin melebar. Pertemuan pertama mereka memang singkat, namun meninggalkan kesan mendalam. Sambil melihat kursi sampingnya, Sean menguatkan tekad.

"Kita pasti akan ketemu lagi."

Sepertinya ketika ia mengatakan itu, tekadnya berhasil mengetuk pintu hati malaikat yang sedang lewat, sehingga bersedia mengabulkan keinginannya. Pertemuan pertama dan kedua mereka memang hanya sebuah plot yang diciptakan semesta. Selanjutnya, interaksi mereka bisa berlanjut atau tidak itu tergantung dari langkah dan pilihan yang mereka ambil. 

Dan Sean, tidak akan menyia-nyiakannya.

...

TO BE CONTINUED!

Thanks for your time, hope you enjoy reading this story...

-Bloomin'S

How To Tell You The Reason: Why I Can Not Let You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang