Rival Tapi Bukan Rival

137 13 0
                                    

"Selamat ya."

Gadis itu mengulurkan tangannya pada pemuda di depannya, yang bersambut positif.

"Terima kasih," jawab cowok itu sambil tersenyum tipis.

Ia kembali mengarahkan pandangan ke papan pengumuman di depannya, yang berisi peringkat mereka semester ini. Sena, nama gadis itu, menyayangkan kekalahannya dari Seno akibat mata kuliah pemrogramannya mendapat grade A- sementara lawannya itu mendapat A, sehingga ia harus puas berada di posisi kedua.

"Semester depan, gue pastiin gue yang peringkat pertama."

"Kita lihat nanti," jawab Seno skeptis.

Sena tertawa mendengar jawaban yang terkesan meremehkannya itu. Kalau ada yang mengira mereka berdua itu bermusuhan, maka sayang sekali asumsi itu salah besar. Mereka memang bersaing untuk menjadi peringkat pertama, namun bukan berarti menjadikan mereka berselisih satu sama lain. Ia memang tidak berteman dengan Seno, tapi tidak juga bermusuhan hingga ia kesal melihat kemenangan Seno.

Adalah hal yang biasa untuk dua insan itu kejar-kejaran untuk mencapai peringkat pertama. Sena dan Seno selalu satu sekolah dan sekelas sejak TK hingga kini keduanya kuliah di kampus dan jurusan yang sama. Keduanya sama-sama memiliki kapasitas otak diluar nalar, hingga keduanya sering bersanding dalam setiap pengumuman prestasi sejak kecil, membuat sekolah sering membanggakan keduanya karena memiliki dua anak berbakat sekaligus.

Sayangnya mereka tidak sedekat itu, tapi tidak juga sejauh itu. Prestasi, minat, bahkan nama yang serupa membuat keduanya sering digadang-gadang cocok untuk satu sama lain, menjadikan keduanya tidak nyaman dan memutuskan menjaga jarak untuk menghindari gosip tidak penting.

"File pemrograman tahun lalu dan tahun ini udah gue kirim ke lo, selamat mengejar ketertinggalan."

Pemuda itu berjalan tanpa menunggu ucapan terima kasih dari si gadis, yang akhirnya tertelan angin. Begitulah mereka, berusaha menjadi nomor satu namun tetap membantu yang lain untuk mengejar ketertinggalannya. Rumit bukan?

Sena merasa ada seseorang menepuk pundaknya dari belakang yang membuatnya menoleh. Ia mendapati beberapa teman seangkatannya berdiri sambil menyunggingkan senyum misterius.

"Sena, kali ini peringkat berapa?"

"Dua."

Ada beberapa orang yang mendesah kecewa, dan ada beberapa yang menyerukan kemenangan. Mahasiswa seangkatannya sudah paham, bahwa posisi 1 dan 2 di jurusan mereka itu sudah paten dimiliki oleh Sena dan Seno, yang menarik adalah menebak-nebak urutan peringkatnya.

"Kalah atau menang lo?"

"hehehe, menang Na," jawab gadis mungil itu sambil cengengesan.

Sena hanya menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir. Diantara banyaknya orang yang dikenalnya, hanya Nay lah yang dengan pedenya mendeklarasikan diri sebagai sahabatnya. Meskipun awalnya sering tidak dianggap, pada akhirnya batu es itu luluh juga dengan ketulusan seorang Kanaya Ariska yang rela menghadapinya tanpa sedikitpun mengeluh.

Namun sepertinya setelah berhasil menjadikan Arsena Cecillia sebagai sahabatnya, gadis itu mulai melunjak dan sering mengodanya untuk hal-hal seperti ini.

"Bahagia banget gue kalah?" tanya Sena melihat wajah sahabatnya itu sumringah mendengar berita kekalahannya.

"Bukan gitu Na. Lah kita mah realistis aja, nilai lo kan emang di bawah Seno pas pemrograman. Masa gue mau maksain milih lo sih?"

Sangat kurang ajar bukan?

"Yah marah ya? Jangan marah dong Na, nanti yang ngasih gue contekan tugas siapa lagi? "

"Minta aja sama Seno!"

"Duh gimana ya? Kalau Seno sih baru manggil nama aja udah ditatap sinis. Tatapannya itu loh Na, gue tuh berasa dihakimi tau ga?"

"Mana ada?"

"Ya lo kan sama pinternya Na, dia juga tau kali siapa yang peringkatnya kejar-kejaran sama dia dan siapa yang mentok di 20 besar," ujar gadis itu lesu.

Sudah menjadi rahasia umum di angkatan mereka kalau Sena dan Seno ini memiliki hubungan yang sulit dijelaskan. Keduanya sama-sama dingin dan tidak tertarik satu sama lain, tapi nyatanya mereka cukup sering berinteraksi.

"Kita bagi dua deh uang taruhannya," lanjut Nay dengan wajah memelas andalannya.

Jujur saja, untuk Nay, bertahan di jurusan yang tidak diminatinya ini sangatlah sulit. Sayangnya, ia terjebak setelah jemarinya yang laknat ini secara tidak sengaja meng-klik jurusan matematika sebagai jurusan pilihannya di sbmptn. Sialnya lagi, ternyata ia diterima. Menangis sekali bukan? Memang yang namanya takdir tidak ada yang tahu.

"Emang dapet berapa?"

"Kalau ditotal sih 300 Na, lumayan kan? Lo 150 gue 150."

Ia berpura-pura jual mahal, meski pada akhirnya dia menerima juga. Lagipula ia tidak benar-benar marah pada Nay, juga uang yang dijanjikan gadis itu terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja.

Sena bukanlah mahasiswa yang kesulitan ekonomi hingga harus menghemat uang sedemikian rupa, namun bukan berarti ia akan menyia-nyiakan kesempatan itu begitu saja. Cuan tetaplah cuan.

"Semester depan rencana ambil matkul apa aja Na?"

"Basis data, lo?"

"Yah, ga ada rencana ambil kommat gitu Na? Kok susah ya kayaknya MBD tuh," ujar Nay lesu.

Sebenarnya ia memang sudah paham kalau temannya ini ingin fokus di bidang statistik dan data, berbeda dengannya yang belum tahu ingin kemana. Pokoknya untuk Nay, yang penting mata kuliah itu tidak sulit dan dosennya asik, itulah yang akan ia pilih.

Tapi tetap saja, semudah-mudahnya mata kuliah di jurusan ini tetaplah sulit baginya. Ia membutuhkan bantuan seorang Sena untuk mengajarinya hingga paham.

"Ya lo ambil kommat aja, kan gue ga maksa?"

"Masalahnya keberlangsungan nilai gue tergantung lo Na, siapa lagi yang sanggup ngajarin gue sampe mudeng selain lo?"

"Yaudah sih, gue juga kan belum tentu dapet MBD. Semester depan kan kita war KRS*."

[*KRS=Kartu Rencana Studi, daftar mata kuliah yang diambil per semester]

Benar juga, karena mereka sudah masuk ke semester tiga, tidak ada lagi sistem paket untuk KRS mereka seperti dua semester sebelumnya. Mereka diharuskan memilih mata kuliah yang diminati dengan sistem rebutan alias siapa cepat dia dapat.

Tidak menjadi masalah jika mata kuliah wajib, karena kuotanya pasti tersedia untuk semua mahasiswa, namun untuk mata kuliah pilihan yang terbatas adalah hal lain. Di saat inilah para mahasiswa rela begadang dan standby di website kampus, menunggu pembukaan input KRS demi mengamankan satu kursi di mata kuliah yang mereka inginkan.

"Oiya Na, gue baru inget. Yah gimana dong? Gue kan molor abis anaknya? Kalo ketiduran pas war gimana?"

"Nasib."

"Ga dapet matkul dong?"

"Dapet," Sena memberi jeda sebelum melanjutkan, "kalo ada sisaan."

"Ih nyebelin!" seru Nay kesal, namun masih tidak menghilangkan paniknya yang semakin menjadi.

Sena tersenyum geli. Menjahili Nay adalah salah satu hobinya. Siapa suruh gadis itu membuatnya kesal duluan.

...

TO BE CONTINUED!
Thanks for your time, hope you enjoy reading this story...

-Bloomin'S

How To Tell You The Reason: Why I Can Not Let You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang