Anin

13.9K 705 43
                                    

****

"Kenapa?"

"Abang bilang suka jus melon, kenapa enggak mau?"

"Kenapa?"

"Mama buat banyak, Bang"

"Ih, Abang. Anin kan mau bagi-bagi sama Abang"

"Ya udah, Anin minum semua, deh"

Lagi-lagi Dinda hanya bisa mengelus dadanya saat melihat sang putri kembali berbicara seorang diri. Entah makhluk seperti apa sosok 'Abang'  yang sering Danin ajak bicara.

"Jusnya kok belum diabisin, kak?" Tanya Dinda, ia berjalan menghampiri sang putri sambil membawa hasil masakannya pagi ini. Tumis brokoli ayam jamur saus tiram untuk sarapan keluarga kecilnya.

"Kebanyakan, Anin enggak kuat habisinnya" jelas Danin. Tadi memang Danin memaksa minta dibuatkan jus melon dengan porsi lebih banyak dari biasanya. Gadis kecil itu sendiri yang mengatur seberapa banyak jus yang diinginkannya.

"Kan Mama sudah bilang sama Anin, buatnya sedikit aja" ucap Dinda.

"Tadinya Anin mau bagi sama Abang soalnya Abang bilang suka jus melon juga kaya Anin, tapi Abang enggak mau" jelas Danin sambil mengerucutkan bibirnya.

"Anin harus berapa kali Mama bilang, enggak ada Abang. Di rumah ini cuma ada Anin, Mama, Papa, dedek, mbak Ayi, sama Bah Una. Enggak ada Abang!" Entah harus bagaimana lagi Dinda menjelaskannya, sepertinya Danin belum mengerti sosok yang sering dipanggilnya Abang itu berbeda dari mereka.

"Kenapa? Kok Mama jahat, Abang aja bilang kalo Abang sayang sama Mama" ucap Danin menatap Mamanya tak terima.

"Iyakan, Bang? Abang sayang Mama 'kan?" Danin menoleh ke samping tempatnya duduk, seolah meminta jawaban atas pertanyaanya. Padahal dengan mata kepalanya sendiri Dinda bisa melihat jelas kursi yang berada di samping putrinya itu kosong. Tidak ada siapa-siapa disana.

"Tuh kan! Abang aja sayang Mama" ujar Danin.

Dinda lagi-lagi hanya bisa mengelus dadanya. Dinda sudah membicarakan tentang masalah ini bersama Denish. Suaminya itu bilang selagi tak menganggu biarkan saja Danin tetap dengan keistimewaanya, selagi itu semua tak sampai menyakiti putrinya.

Tapi, tetap saja Dinda yang setiap hari 24 jam bersama putrinya masih belum terbiasa jika harus melihat Danin tiba-tiba berbicara sendiri.

"Apin..." Dinda berucap lirih.

"Terimakasih sudah bantu Mama jaga adik-adik. Tapi, Mama akan jauh lebih bahagia kalo Apin juga bisa hidup tenang disana" Sambil memejamkan mata Dinda merapalkannya dalam hati. Sekilas wajah sendu sang putra bisa ia lihat.

"Abang kok pelgi? Abang, ih" Danin menoleh kesana kemari sambil berseru kesal. Padahal ia masih ingin mengobrol dengan 'Abang' tapi sosok Abangnya itu sudah pergi

"Cepet abisin, kalo belum abis nanti Mama tinggal" ucap Dinda setengah mengancam. Pagi ini setelah sarapan Denish memang berniat mengajak mereka pergi mengunjungi rumah orangtuanya.

Dinda kembali berjalan ke dapur setelah menghidangkan sarapan ke piring putrinya. Ia belum selesai membuatkan sarapan untuk satu pria kecilnya.

"Kenapa cemberut terus?" Tanya Denish, mendaratkan sebuah kecupan di pipi Danin sebelum mendudukan Dylan di kursi bayi miliknya.

"Mama jahat, kalena Mama Abang nambek telus pegi" jelas Danin, dengan malas-malasan ia menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

"Main sama dedek aja, Oke? Kakak Anin sibuk main sama Abang terus, dedek enggak diajakin" ucap Denish yang sudah hafal putrinya itu akan lupa dengan sekitar jika sudah bermain dengan 'Abang'.

"Males, dedek belum bisa nomong, telus dedek nangis telus, belisik" ucap Danin. Salah satu alasan kenapa Danin bisa sangat menyukai bermain dengan 'Abang' adalah karena 'Abang' selalu menjawabnya ketika ia ajak bicara. Danin sangat suka jika sudah bercerita dengan 'Abang'. Sedangkan Adiknya belum bisa bicara, jika hanya bermain bersama Dylan, Danin malas karena harus bicara sendiri tanpa ada balasan.

"Papa yakin Abang pasti enggak suka Kakak bilang begitu. Abang 'kan maunya Kakak Anin dan dedek sama-sama terus. Abang pasti bilang sama Kakak untuk bantu Mama jagain adik, bukan?" Ucap Denish, yang langsung mendapat anggukan semangat dari Danin.

"Hm, iya juga. Kok Papa tau Abang pelnah bilang begitu?"

"Iya dong, karena Papa juga temannya Abang" jelas Denish.

"Woah!" Danin berseru takjub.

"Anin dan Papa temankan Abang, Mama enggak, wlee" Sengaja Danin mengejek sang Mama dengan menjulurkan lidahya saat sang Mama baru bergabung sambil membawa mangkuk kecil berisi makanan Dylan. Dinda sendiri hanya mengelengkan kepalanya pelan, sebahagia putrinya saja.

****

"Aaaaaa..." Teriakan melengking yang Danin keluarkan berhasil menarik perhatian semua orang, terutama orangtua bocah kecil itu. Denish yang tadi sedang mengobrol santai bersama saudaranya segera berlari untuk menyusul sang putri. Beberapa orang dewasa yang lainnya juga ikut menyusul di belakang Denish.

"Papa..." Melihat kedatangan sang Papa, Danin langsung berlari masuk dalam dekapan Papanya.

"Hei, kenapa?" Tanya Denish, dengan lembut ia meraup tubuh kecil Danin dalam dekapannya, mencoba menenangkan sang putri yang masih menangis terisak-isak.

Denish menatap satu persatu wajah keponakannya, tapi bocah-bocah yang terakhir ia tinggalkan main bersama Danin itu kompak menggelengkan kepala.

"Kenapa Anin, Pa?" Tanya Dinda yang baru menyusul, tadi ia sedang mengganti popok Dylan di kamar, baru bisa menyusul setelah pekerjaanya itu selesai.

Denish hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan sang istri. Ia pun belum mengetahui kenapa Danin bisa menjerit sekencang itu.

"Kenapa, hm?" Tanya Denish setelah tangis Danin mulai reda.

"Anin takut, Papa" cicit Danin, ia menenggelamkan wajahnya pada leher sang Papa tapi pandangannya sesekali melirik pada pojok ruangan.

"Takut kenapa?"

"Di sana ada guling tebang liatin telus Anin" tanpa mau melihat ke arah yang ditunjuk, jari menunjuk pojok ruangan tempat ia melihat sosok yang ia sebut 'guling terbang'.

"Pocong tuh!" Celetuk Azka.

"Sttt, jangan sembarangan kalo ngomong"

"Mukanya serem enggak, Nin?" Tak memperdulikan teguran sang Mama, semakin jadi Azka bertanya kepada Danin.

"Selem, Anin takut" cicit Danin semakin mengeratkan lingkaran tangannya pada leher sang Papa.

Niat Denish mengajak keluarga kecilnya untuk menginap di rumah orangtuanya tak bisa dilakukan, karena setelah kejadian Danin menangis karena melihat 'guling terbang' Danin terus saja merengek ingin pulang. Denish dan Dinda yang tak tega melihat putri mereka terus terlihat ketakutan memilih menuruti keinginan gadis kecil itu.

****

Ada yang kangen Mama Didin, Papa Dede, Kakak Anin dan dedek Dylan tidaaakkk??

Btw, met maljum guys..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Destiny Of Us [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang