bab 5 : seribu matahari

9 5 1
                                    




"bagus, rubi. sisanya bisa langsung diselesaikan saja, ya." puji mas dion. aku tersenyum. "makasih, mas." lantas melenggang pergi kembali menuju bangkuku.

"makan siang, rubi." raka datang sambil menggenggam sebuah botol berisi air dingin. "gak, ah, rak. gak laper." ujarku. memang benar, kok. hari ini sarapanku begitu banyak sampai-sampai aku merasa malas untuk sekedar memikirkan makan. mungkin sore hari nanti aku merasa lapar. "beneran?" tanya raka memastikan. haidar dan jendral masuk ruangan, sepertinya mereka bertiga makan bersama. ketiganya makin lama makin lengket seperti teman lama. 

"yes." aku mengangguk. "haus aja, sih. tapi." ujarku, merapikan tasku dan menutup laptop. istirahat siang ini masih sekitar lima belas menit lagi, mungkin aku bisa menuju mesin kopi untuk memesan -

"buat kamu," sebuah tangan panjang tiba-tiba datang dan menyodorkan segelas kopi ke mejaku. aku mendongak. 

mas janu.

"buat saya?" tanyaku lagi. bukan bermaksud tidak dengar, ya. cuma aneh saja tiba-tiba.

"iya. gak makan siang, kan?" tanyanya. memang kedengaran, ya? bodo amatlah. aku hanya mengangguk. "biar gak lapar. saya gak mau punya karyawan tiba-tiba pingsan." ujarnya lantas pergi. menyebalkan dan seperti siluman, ya. datang tak diundang pulang tak diantar.

aku menoleh ke raka yang sudah duduk di bangkunya dan memandangi bingkai pintu tempat mas janu berdiri barusan. sebagai informasi, bangku anak magang - aku dan raka - adalah berjarak beberapa senti dari pintu ruangan. jadi siapapun yang masuk dan keluar tentu akan kami ketahui karena itu tepat di belakang kami.

"raka," bisikku. raka menoleh. "iya?" tanyanya.

"suka kopi, gak?" tanyaku sepelan mungkin. takutnya kalau keras-keras ada yang melapor bahwa anak-magang-baru-membuang-kopi-dari-bosnya. "suka, sih. kenapa?" tanyanya. "aku gak bisa minum kopi. sakit lambung." ucapku. ini benaran, ya, bukan gimmick. bukan juga karena aku tidak menyukai mas janu. tidak ada masalah personal, kok, tenang. "terus mau minum apa?" tanyanya lagi. "sebenernya mau beli hot chocolate di mesin kopi, tapi nanti kalau ada mas janu gimana?" tanyaku berbisik-bisik.

"aku aja yang belikan." raka tanpa persetujuanku lantas bangkit dan berjalan menuju ruang tempat mesin kopi berada. meskipun namanya mesin kopi, tapi didalamnya tidak cuma kopi (sebagai informasi). ada juga susu hangat, coklat hangat, dan tentu saja bermacam jenis kopi. tapi memang lambungku yang rewel ini tidak bisa menoleransi barang sedetikpun kopi yang masuk. sudah lama sekali aku tidak minum kopi. mungkin terakhir di masa sekolah menengah, yang itu sudah tiga tahun yang lalu.

"nih," raka datang dan meletakkan gelas kertas berwarna coklat dihadapanku. ia kemudian mengambil gelas berisi kopi tadi dan menyeruputnya.

 ia kemudian mengambil gelas berisi kopi tadi dan menyeruputnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"eh, berapaan?" tanyaku pelan. maklum baru pertama beli di mesin kopi. sebelumnya tidak pernah soalnya.

"gratis. kan udah dibayar pake ini," raka mengacungkan gelas kopinya.

dokumen tanpa judulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang