aku berjalan menuju ruangan mas janu seusai gerombolan sekolah tersebut pulang menggunakan bis hijau milik mereka.
tok-tok!
aku mengetuk pintu ruangan mas janu. "mas janu di kulkas," mba weny lewat dan menyahut padaku, menunjukkan bahwa percuma aku mengetuk dan menunggu sepanjang hari karna mas janu tidak ada di ruangan.
"thanks, mba!" ujarku. mba weny mengacungkan jempolnya padaku dari kejauhan. aku bergegas berjalan menuju ruangan minuman tempat kulkas yang dimaksud mba weny.
"permisi, mas." kuketuk bingkai pintu sembari menatap mas janu yang memunggungiku. mas janu menoleh. "oh, iya, rak. silahkan, silahkan." ujar mas janu sembari menggeser badannya sedikit kearah tembok. mungkin dikiranya aku hendak mengambil minuman sepertinya ya, tapi bukan.
"saya mau ngomong sama mas," ujarku akhirnya. peduli amat akan akhirnya seperti apa. yang jelas, aku ingin mengutarakan ini padanya sejak jauh hari. mas janu bangkit dari bungkuknya dan mengarahkan wajahnya padaku. "boleh, rak. ada apa?" tanyanya tenang. ketenangan yang entah mengapa sangat mengusikku.
"mohon maaf sebelumnya, tapi kalau boleh saya bicara, tolong jangan buat anak magang melakukan hal diluar kemampuannya." ujarku dengan kalimat yang berantakan. berbicara dengan atasan luar biasa deg-degan juga. "tadi rubi sudah bilang tidak bisa, tapi mas janu tetap nge push rubi. ditambah seharusnya pertanyaan tadi ditujukan ke pegawai tetap divisi turisme yang memang lulusan sejarah, bukan anak magang dari divisi publikasi. jadi menurut saya tadi itu kurang tepat mas," ujarku dalam satu tarikan napas.
"itu saja mas, yang mau saya bilang." aku hendak melangkahkan kaki namun tertahan karna masih ada satu hal yang menginap di otakku semalaman. "oh iya mas, sama saya sering dengar mas janu suka minta tolong banyak hal ke rubi. kalau tentang kopi atau fotokopi, bisa minta cleaning service saja, mas. meski magang, bukan berarti bisa diperintah sana-sini mas." tukasku. aku menunduk sekilas padanya. "duluan, mas. kalau begitu. permisi," aku balik badan, berjalan cepat ke arah ruangan.
aku duduk dibangkuku.
gila. tadi itu gila.
bicara apa aja aku ini? satu bulan tinggal menghitung hari. kalau dipecat di akhir masa, tidak keluar sertifikat, gagal lah kelulusanku semester ini akibat satu mata kuliah magang yang tidak sampai. ini semua memang impulsif. aku. aku yang impulsif. entah mengapa setelah mengetahui rubi menangis di parkiran tadi, hatiku sedih luar biasa dan mendahului pikiran dan akal sehatku untuk mengendalikan kaki dan mulutku. entah apa yang akan dilakukan mas janu padaku besok. yang jelas, aku lega setengah mati sudah mengutarakan hal yang kuingin sejak kemarin-kemarin.
aku tidak tahu apakah culture kerja disini memang seperti itu, tapi memanggil dan menyuruh rubi tanpa alasan hampir tiap harinya seperti memperbudak. pun tugas yang diberikan juga sebenarnya bisa dilakukan oleh orang lain bahkan tidak usah dilakukan sama sekali.
aku biasa tipikal yang diam-diam saja ketika melihat ketidaknyamanan. aku akan menahannya, seberapa tidak nyamannya hal itu. namun untuk rubi, sudah bukan tidak nyaman kata yang kugunakan. sakit. ikut sakit aku melihatnya menangis.
mungkin ini benar-benar cinta, eh? bukan suka sepele semata.
☆
"lu suka ya ama si rubi," jendral mematikan rokoknya. aku terkejut dalam hati, namun masih bisa mengontrol ekspresiku. aku menoleh ke kanan-kiri. kali ini kami ada di warung kopi berjarak sekitar tiga lokasi dari museum. biasa, untuk mencoba kopi lain yang lebih enak dari sentra wisata kuliner biasanya. "gak ada, rak." sahut haikal, sepertinya membaca pikiranku sembari mengunyah tahu isi di genggamannya. "gak ada siapa?" tanyaku bingung. "padahal gak bilang kalo itu orang, rak." haikal tertawa kecil. sial.
KAMU SEDANG MEMBACA
dokumen tanpa judul
Fanfictionsatu bulan magang yang menyebalkan dengan atasan bernama mas janu. menyuruhku ini-itu, memanggilku lupa waktu, dan meninggalkan tugas setinggi gedung baru di universitasku. tapi tenang, ada raka sang penyelamat. pokoknya kalau toserba berubah wujud...