III. Temu antara Dua Kisah

191 44 9
                                    

Pertemuan mereka berawal dari perayaan festival yang diadakan oleh petinggi tentara Belanda menjadikan kota tengah Batavia itu ramai, membuat semua kalangan Netherland maupun Pribumi turut memeriahkan acara-tak terkecuali Praresti, gadis pribumi Jawa yang ikut mementaskan kesenian tari khas Jawa Timur.

Parasnya yang dilukis oleh perias dengan elok agar dapat menarik perhatian pengunjung untuk melihat tariannya. "Sangat cantik dan sempurna," puji sang perias sekaligus pengajar di sanggar tarinya.

Praresti adalah tipikal gadis yng terkesan blak-blak an, dan tidak kenal takut. Kelemahannya hanya satu, dia tidak bisa di puji. Jika seseorang memujinya maka respon tubuh alam sadar dirinya akan tersenyum malu, melihatkan kedua pipinya yang tersemu merah, seperti saat ini. Ia tertunduk malu. "Terimakasih."

Meskipun tidak secantik Noni Belanda, yang memiliki kulit putih bersih, mata biru, dan rambut pirang. Namun, untuk kalangan mayoritas Jawa, Praresti sangat tersorot. Selain karena bakatnya yang di puji banyak kalangan, kulit tan bersihnya dengan senyuman manis khas wanita Jawa pun menjadi alasan mengapa seseorang menyukai gadis itu.

Tak terkecuali seseorang berpakaian seperti kapten Belanda yang saat ini tengah duduk di kursi paling depan dengan senyum mata sabitnya, yang sedari tadi meneriaki sahabat karibnya. "Duduklah di sini, kawan. Lihatlah tarian mereka, pasti akan sangat menyenangkan!" Dia adalah Kapten I dari Belanda, Joanes Den Harg.

Terlihat Leen dengan tubuh yang berpostur tinggi dan gagah, duduk tepat di samping Joanes. Sebenarnya, berada di keramaian bukanlah hal yang digemari Pria itu dan selalu ia hindari. Nampak dari gerak-geriknya yang seringkali merapikan pakaian khas yang memperlihatkan bahwa dia adalah Jendral besar dari Belanda, ditandai dengan lencana yang terpasang berjejer di kedua bahu dan nama yang tertera di dada kanannya. 'Leen Van Der Mark'.

Keningnya mengerut kala suara musik mulai terdengar mengalun, sedikit mengganggu indra pendengarnya.

"Kau tahu gadis yang berada di formasi paling belakang itu? Ah! Sekarang beralih di depan! Matanya mengarah ke kita! Dia gadis yang sangat cantik! Aku rela waktuku terbuang sia-sia hanya untuk melihat gadis itu menari!"

Pekikan dari Joanes tak ia idahkan, sebab netranya terpaku pada paras cantik salah satu seorang penari di sana. Pikirannya berkelana, memikirkan bagaimana cara mendekati gadis pribumi itu. "Cantik."

"Benar, gadis itu sangat cantik. Aku ingin mempersuntingnya."

Tanpa Joanes duga, ucapannya kini membuat kerutan di kening Leen muncul secara jelas dan menatap Joanes tajam. "A-apa?"

"Kun je dat meisje voor me opgeven, Joanes? Kijk om je heen, met hoeveel meisjes ben je getrouwd? Geef me er tenminste één." (Bisakah kau merelakan gadis itu untukku, Joanes? Lihat di sekelilingmu, sudah berapa banyak gadis yang kau nikahi? Berikan setidaknya satu untukku.)

"Hei, Bung. Aku akan memberikan salah satu istriku untukmu, jika kau mau silahkan pilih sendiri."

"Aku ingin dia," jawab cepat Pria itu sembari menatap tarian yang ditampilkan- ah bukan, lebih tepatnya menatap gadis itu yang sedang tersenyum kearanya.

***

Netra Vara mengejap sesaat setelah seseorang melambaikan tangan kearahnya. "Ya?" tanya Vara.

Tertangkap basah sudah jika dirinya tengah menatap lekat kearah Pria yang tampak tidak asing baginya. "Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Nona?"

"Iya-maksud saya tidak, Coach! Maaf, belakangan ini tingkat konsentrasi ku menurun, maaf, Coach."

Terlihat pelatih baru itu memanggutkan kepalanya setelah Vara menunduk. "Okay, not problem. Sekarang fokuskan pikiran kalian, lanjut latihan dengan benar." Setelah mengatakan hal itu, Pria yang digadang sebagai pelatih baru itu sedang memeriksa persenjataan api untuk digunakan dalam latihan kali ini.

"Coach siapa tadi namanya?" bisik Vara kepada Hendra kala melihat Pria itu yang tampak gagah meskipun hanya punggung yang ia tatap.

"Coach Marka."

"Namanya lokal, ya. Gue pikir bakalan susah di ucapin," komentar Vara.

"Nama panjangnya sih yang menurut gue susah, tapi keren," timbal Hendra sembari menyiapkan diri sebab ia selanjutnya adalah urutan dia yang akan berlatih.

"Siapa emang?"

"Leen Van Der Mark." Setelah itu, terdengar nama panjang Hendra bergema di ruangan. Segera ia pergi meninggalkan Vara yang di landa kebingungan untuk pergi berlatih.

"Kayak gak asing sumpah namanya, tapi siapa, ya."

Tak ingin ambil pusing, gadis itu pun menfokuskan kembali pikirannya. Belakangan ini ia harus berlatih lebih keras dari sebelumnya. Sebab, dua bulan yang mendatang akan diadakannya turnamen menembak dengan hadiah yang sangat fantastik.

Acap kali ia mengikuti turnamen-turnamen seperti itu dan tak lain tak bukan, agar dia mendapatkan uang hasil juaranya yang lebih dari cukup untuk menunjang hidup sehari-hari dan biaya kuliahnya.

Pravara Respati, anak Perempuan yang lahir di tahun 2000 dan besar di Panti Asuhan yang berada di kota Surabaya. Ia tidak tahu, di tanggal dan bulan berapa pasti dirinya dilahirkan, sehingga Vara tak pernah merayakan ulangtahun-bahkan ia tidak tahu siapa orangtuanya.

Kata pemilik Panti tiga tahun yang lalu, "saya menemukan kamu di depan gerbang, saat malam hari-tepat di bulan purnama, dan lengkap dengan secarik kertas sobek lusuh dengan tinta darah bertuliskan namamu, Nduk."

Setelah usianya menginjak Dua puluh tahun, Vara memutuskan untuk keluar dari Panti Asuhan dan memutuskan untuk hidup mandiri-mencari jati diri yang sebenarnya.

Kini, gadis bersurai coklat itu telah tumbuh menjadi seorang wanita yang mandiri. Dirinya tak lagi mencari siapa keluarganya, yang selalu jadi pertanyaan di benak.

Dia telah berdamai dengan keadaan dan takdir, mungkin saja Tuhan menciptakannya untuk suatu hal yang harus di kerjakan.

Setelah berlatih, Vara memutuskan pergi ke Cafe sederhana dekat dengan gedung latihan, berdiam di dalam guna mengistirahatkan otak. Tempat ini lah yang cocok dan menjadi tepat favorite nya, karena di lengkapi AC, dinginnya bisa mengalahkan cuaca panas kota Jakarta saat ini.

"Tidak memesan apapun?"

"Huh?" Vara yang sedari tadi duduk dan memejamkan mata-menikmati hawa sejuk, pun tersentak. Sebab suara bariton milik seorang Pria tiba-tiba saja terdengar di rungunya.

Pria itu tertaa renyah, entah apa yang membuatnya tertawa. "Maaf mengganggu. Boleh saya bergabung?"

Ingin sekali Vara menjawab 'tidak!' tetapi respon tubuhnya sangat berbeda, dan tidak bisa dikendalikan. Kepalanya mengangguk kecil, sembari mengamati Pria di depannya yang baru saja menduduki tubuhnya dan sedang memanggil pelayan Cafe.

Guru pelatih baru itu mengganggu waktu sendinya sekali, gerutu Vara dalam hati.

"Mau kopi?"

"I don't like black coffe or any kind of coffe." (Saya tidak suka kopi hitam atau kopi jenis apapun.)

"Uh? Okay, saya pesankan teh, ya? Mas, I want one iced tea, and one ice black coffe. For coffe, use a little sugar." (Saya ingin es teh satu, dan es kopi hitam satu. Untuk kopi, pakai gula sedikit saja.)

Tanpa menunggu jawaban pasti dari lawan jenisnya, Marka memesan es untuk mereka berdua dengas gestur ibu jari yang menunjuk buku menu.

"Masih sama, ya?"

𝐇𝐀𝐓𝐄 ▪︎ Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang