Bagian 49

7K 819 24
                                    

"Apa kamu sudah merasa lebih baik?"

Dirga bertanya kepada Farel sembari memberikan tisu yang ia ambil dari atas nakas samping ranjang Farel.

Farel mengambil uluran tisu dan dengan pelan mengelap kedua matanya. "Iya," jawabnya dengan pelan.

"Terima kasih karena sudah datang kesini untuk menjenguk keadaanku," kata Farel sambil tersenyum, tapi tentu saja senyuman tersebut tidak terlihat akibat masker yang masih digunakannya. Walaupun begitu, dari kedua matanya itu sudah terlihat kalau dia tersenyum.

"Iya. Tadi kamu bilang merasa sakit. Apa kita perlu pergi ke rumah sakit dan segera memeriksa keadaanmu?"

Tentu saja itu tidak akan diperbolehkan oleh kedua orang tuanya. Mereka tidak ingin luka yang ada di tubuh Farel terlihat oleh orang lain.

"Tidak perlu. Aku hanya merasa sakit tenggorokan saja."

"Baiklah. Kamu sedang sakit apa sebenarnya?" Nada pertanyaan Dirga terdengar khawatir. Selama beberapa saat Farel memikirkan jawaban yang perlu dikeluarkan.

Uhukk. Uhukk. 

Farel pura-pura mengeluarkan suara batuk berdahak, ia lanjut berbicara, "Aku sedang batuk disertai demam."

"Benarkah? Apa kamu kehujanan? Beberapa hari terakhir, cuacanya memang sedang tidak stabil. Terkadang hujan terkadang panas."

"Iya itu, benar. Aku kehujanan dan cuacanya memang sering berubah-ubah karena mulai memasuki musim hujan. Uhukk. Uhukk."

"Lain kali berhati-hatilah saat keluar. Lihat cuaca dan jangan lupa membawa persedian payung."

"Iya. Uhukk. Uhukk."

Dirga mengangguk kemudian segera mengambil air minum yang ada di atas nakas dan menyerahkannya kepada Farel sambil berbicara, "Minumlah dengan pelan."

Farel mengambil gelas lalu sedikit mengangkat masker bagian bawah ke bagian atas agar dia bisa minum. Dalam beberapa detik minum air, Dirga sekilas melihat sesuatu dibalik masker tersebut. Dia tidak tahu itu apa, yang ia lihat seperti kulit yang berwarna kebiruan. 

Ketika Farel menaruh gelas dan akan menarik kembali masker ke bagian bawah, Dirga buru-buru menahan gerakan tangan Farel, dengan cepat dia bertanya, "Apa itu?"

Farel kebingungan dengan maksud Dirga. Dirga segera kembali menambahkan, "Aku seperti melihat bagian wajahmu yang terlihat kebiruan. Apa itu luka lebam?"

Mendengar itu kedua mata Farel segera melebar dan dengan cepat dia menyingkirkan tangan Dirga dan tanpa sadar bergerak menjauh dari Dirga. "J-jangan terlalu dekat. Aku khawatir kamu akan ketularan."

Dirga agak tercengang saat tangannya disingkirkan, "Apa yang aku lihat tadi benar adalah luka?" Dirga segera kembali bertanya.

Dengan cepat Farel menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Bukan. Itu bukan luka. Kamu hanya salah lihat saja."

"Baiklah. Kalau itu yang kamu katakan," Dirga kemudian melirik waktu di jam tangan miliknya. Di sana tertera jam 8 kurang. 

"Sebentar lagi jam 8 malam. Sudah sebaiknya kamu segera beristirahat supaya cepat sembuh. Aku pamit pergi. Besok aku akan kembali datang ke sini."

Setelah mendengar jawaban "Iya. Terima kasih karena sudah datang menjenguk," dari Farel, Dirga pun keluar dari kamar Farel, pamit kedua orang tua Farel dan pergi meninggalkan rumah Farel dalam keadaan tanda tanya dibenaknya yang tidak kunjung berhenti menafsirkan di sepanjang perjalanan pulang kembali ke rumah kakeknya.

Keesokan harinya pada jam 7 pagi, Dirga kembali datang menjenguk Farel. Kali ini dia datang tidak dengan tangan kosong. Di bagian tangan kanannya dia membawa buah-buahan dan di tangan lainnya dia membawa sekantong bubur ayam.

[BL] ÉkstraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang