Tahun pun berganti.
Davis telah tumbuh menjadi remaja. Kini Davis berusia 18 tahun. Hari ini adalah hari pertama ia bekerja di sebuah Pusat Penyiaran Radio.
"Davis ini ubi jalar, makan terlebih dahulu sebelum pergi," ujar nenek sembari menaruh piring berisi ubi jalar di atas meja.
"Iya nek," mengambil ubi jalar sembari bergegas keluar dari rumah sang nenek.
Kemudian Davis bergegas menuju tempat Pusat Penyiaran Radio sembari memakan ubi jalar.
Namun baru berapa langkah belum jauh dari rumah neneknya. Tiba-tiba perjalanan Davis terhenti, kemudian ia melihat ke arah beberapa orang pria dengan gerak-gerik mencurigakan. Mereka sedang mengamati sebuah rumah yang menolak untuk menjual tanahnya, sedangkan beberapa rumah disekitarnya telah berhasil dibeli. Rencanaya tanah tersebut akan dijadikan Taman Safari. Davis pun berinisiatif untuk menghampiri mereka.
"Kalian sedang apa di sini?" Tanya Davis ditujukan pada mereka.
"Nggak usah ikut campur bocah kencur!" Jawab salah satu dari mereka.
"Agh!! Saya sudah berusia 18 tahun. Jadi jangan panggil saya dengan sebutan bocah!" Ujar Davis tak terima dipanggil bocah kencur.
"Emang kami peduli?!" Salah satu dari mereka meledek Davis sembari menaikan alisnya.
"Saya tau kalian pasti ingin mengambil alih rumah tersebut. Karena rumah itu menghambat proses pembagunan taman. Jadi apa kalian butuh bantuan seseorang untuk melakukan tugas tersebut?" Ujar Davis sembari melemparkan pertanyaan.
"Kebetulan saya kenal seseorang yang bisa melakukannya dengan sangat mudah," ujar Davis sembari melipat kedua tanganya di dada.
"Ngomong apa kamu bocah?" Ujar salah satu dari mereka yang menganggap Davis sedang ngelantur.
"Saya bisa melakukannya, akan tetapi kalian harus memberikan saya upah yang cukup besar," ujar Davis ingin membuat mereka percaya.
"Mana mungkin bocah seperti kamu bisa melakukannya dan apa mungkin kami bisa mempercayaimu?" Ujar salah satu dari mereka yang masih tak percaya dengan Davis.
"Begini saja! Rumah saya tidak jauh dari sini," Davis mencoba meyakinkan mereka sembari menunjuk ke arah rumah kayu dibalik pagar beton.
"Baiklah kalau gitu kamu ambil uang ini," menyerahkan koper hitam ke pada Davis.
"Tapi ingat batas waktu yang kamu punya cuman satu minggu," jelas salah satu dari mereka.
Davis mengurungkan niatnya yang akan pergi ke stasiun radio, kemudian ia kembali pulang sembari membawa koper berisi uang tersebut.
"Nenek Davis pulang!, Davis tidak jadi kerja di radio, karena Davis menag lotre," ujar Davis sembari mengayunkan koper di tangannya.
"Apakah koper itu berisi uang?" Tanya nenek kepada Davis.
"Iya, nek sekarang kita bisa membeli apapun yang kita mau," ujar Davis meyakinkan neneknya.
Kau harus menggunakan uang itu dengan bijak dan benar, nenek menasehati Davis.
"Baiklah nek!" Sembari mengacungkan kedua jempol.
Esokan harinya Davis pergi ke pusat perbelanjaan terbesar yang ada di Jepang. Ia berbelanja beberapa barang mewah termasuk baju-baju edisi terbatas, kemudian ia juga mewarnai rambutnya menjadi warna pink (warna kesukanya).
Davis pulang kerumah dan mengganti pakaiannya. Ia juga memasukan sebilah pisau didalam jaket yang baru saja ia beli, selain itu Davis tidak lupa untuk berpamitan dengan sang nenek (sembari memakan ubi jalar rebus).
Davis pun sudah sampai pada tujuannya yaitu rumah di tengah taman. Ia secara sengaja menendang pot bungga untuk memancing perhatian sang pemilik rumah.
"Craang!!" Suara pot bunga pecah.
"Hey!!! Anak nakal apa-apaan kau ini!!" Ujar Ayah dari keluarga tersebut.
Seketika anggota keluarga yang lain keluar karena mendegar suara keributan dari luar.
"Ada apa ini?!" Tanya Ibu dari keluarga tersebut.
Davis pun tersenyum dan semangkin bergairah setelah melihat anggota keluarga mereka yang berjumlah empat orang. Davis teringat akan keluarganya. Keluarga yang terdiri dari empat orang, satu anak perempuan dan satu anak laki-laki (definisi keluarga bahagia di Jepang).
Davis pun pergi pulang meninggalkan mereka, kemudian ia membaca komik dan bermain game online.
Saat malam hari.
"Nek! Davis ingin pergi keluar. Apa ubi jalarnya masih ada?" Tanya Davis pada neneknya.
"Coba lihat diatas meja," jawab nenek sembari menoleh ke arah Davis.
"Oh! Ini dia! Kalau gitu Davis pergi dulu nek!" Ujar Davis sembari melempar ubi jalar rebus ke udara dan menangkapnya kembali.
"Hati-hati," ujar nenek sembari tersenyum.
Sesampainya di rumah tersebut Davis menyelinap kebelakang rumah.
"apa yang harus saya lakukan?, jendela mereka sangat tinggi," tanya Davis pada dirinya sendiri, sembari mengangkat dagunya untuk melihat ke arah jendela rumah tersebut.
"Nyam," Davis memakan ubi jalar.
"Saya tau! Saya panjat saja pohon itu."
Davis pun berhasil masuk kerumah tersebut (dengan cara memanjat pohon).
Sekarang ia berada di kamar anak laki-laki mereka yang sedang tertidur. Setelah itu Ia keluarkan pisau dari jaketnya dan menancapkannya ke perut anak laki-laki tersebut sebanyak 8 kali.
"Jleb," suara pisau di tusuk.
"Krak," suara retakan tulang.
"Kreek," suara pisau di cabut.
"Crat," suara cipratan darah.
Pisau tertancap dan tercabut sebanyak delapan kali.
"Tidak ada perlawanan sama sekali ini sangat mudah," ujar Davis sembari menjilati darah yang terciprat ke bibirnya.
"Baiklah siapa yang selanjutnya?"
Davis membuka pintu kamar tersebut dan menuruni anak tangga. Tanpa sengaja ia berpapasan dengan seorang ibu dan gadis kecil dari keluarga tersebut, kemudian tanpa pikir panjang Davis menarik tangan gadis kecil tersebut dan menggorok lehernya dengan pisau.
"Sring, krak, kreek, crat," suara pisau yang menggorok leher.
"Aa! Ayah! Akira!!!" Teriakan ibu gadis tersebut.
Ibu gadis tersebut pun bergegas memutar badannya dan berlari menuruni tangga. Sedangkan Davis hanya duduk di depan jasad gadis tersebut sambil berkata "Saya hanya ingin menikmati suasana yang menyenangkan ini, maka untuk apa terburu-buru".
"Tap, tap, tap," suara langkah kaki melangkah menaiki anak tangga menuju tempat Davis berada.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LITTLE DEVIL
Mystery / ThrillerTerkadang tanpa kita sadari diantara ribuan orang disekitar kita yang beraktivitas seperti biasa, berprilaku seperti biasa, murah senyum, dan sering menyapa. Belum tentu sama seperti kita. Kita tak pernah tahu siapa pisikopat diantara kita. Banyak...