24

1.6K 271 10
                                    

"Terlalu pedas." Keluh Hinata sambil menatap suaminya. Hari ini dirinya diperbolehkan makan sebelum besok dilarang memakan apapun untuk persiapan operasi.

"Benarkah?" Naruto kemudian mencicipi kuah sup yang dia pegang. Dia lalu terbatuk. "Kau benar, terlalu pedas."

Hinata memegang perutnya. "Ayahmu sangat ceroboh, tolong Ibu." Ucapnya kepada bayi di dalam perutnya.

Naruto menukar mangkuk sup Hinata dengan miliknya yang belum dibuka. Kemudian bersiap menyuapi wanita itu. "Maafkan Ayah, tidak sengaja." Dia mengecup perut wanita itu sekilas dan meminta maaf. "Yang ini tidak pedas sama sekali."

Hinata kemudian mulai makan, dibantu pria itu. Masih dengan tatap yang dipenuhi ketidakpercayaan.

Malam sudah menunjukan pukul sepuluh. Hinata baru tiba di rumah sakit milik Tsunade setelah surat rujukan dari rumah sakit sebelumnya akhirnya dikeluarkan.

Ya, akhirnya operasi akan dilaksanakan besok malam. Sekarang Hinata sebetulnya masih sangat kesakitan namun Naruto memberi support yang sangat luar biasa sejak istrinya itu membuka mata.

Maka Hinata mencoba kuat, meski dalam perjalanan ke sini dia sangat ingin menangis mendengar suara ambulance yang mengantarnya. Tapi Hinata tidak bisa banyak protes sebab dirinya tidak mungkin dibawa menggunakan mobil selain ambulance, ada beberap alat medis yang masih menempel di tubuhnya, selang oksigen, infus dan lainnya.

"Naruto." Hinata menatap pria itu "aku takut untuk menghadapi operasi besok." Sebetulnya dirinya sedang sangat cemas namun dia takut membuat orang lain ikut cemas.

"Dokter yang akan mengoperasimu besok adalah Dokter yang sangat hebat, kau jangan khawatir ya." Naruto harus mengatakan itu meski sebetulnya dirinya merasa sama ketakutannya, dia tidak ingin Hinata menjadi khawatir.

"Bayinya akan baik-baik saja kan?" Hinata hanya peduli soal bayinya, dia takut sesuatu terjadi.

"Meski risiko obat bius tetap ada, tapi Dokter akan sangat berhati-hati, kau akan dirawat secara intensif setelah operasi dan bayinya juga akan dipantau." Naruto sudah minta dijelaskan soal prosedur yang akan dijalani istrinya dan dirinya pikir semua akan baik-baik saja.

"Doakan kami." Pinta Hinata kepada suaminya.

Naruto membelai kepala wanita itu dengan lembut "pasti aku akan melakukannya." Tanpa diminta pun dia selalu mendoakan Hinata dan putranya.

"Setelah keluar dari ruang operasi nanti, tolong beri dia nama." Hinata sangat ingin menyebut bayinya menggunakan nama mulai sekarang.

"Aku memikirkan banyak nama." Ucap Naruto sambill menyuapi istrinya. "Kuharap kau menyetujui salah satunya."

Hinata tersenyum ke arah pria itu dan mengangguk. "Terima kasih, Naruto." Dia sangat bersyukur bahwa Tuhan membiarkannya membuka mata dengan Naruto di sisinya.

Pria itu selalu ada di sisinya, menemaninya melalui malam-malam panjang yang menyakitkan. Setelah operasi, Hinata percaya rasa sakitnya akan menghilang, dirinya akan sembuh dan hidup bisa berjalan seperti sebelumnya.

Beberapa orang mengatakan pada Hinata, kemalangan ini dia dapatkan akibat memilih bersama dengan pria itu, namun bagi Hinata bukan begitu. Takdirnya memang begini, pertemuannya dengan wanita keji itu sudah ditakdirkan namun memang melalui Naruto.

Dirinya tak akan pernah menyesal bisa mengenal dan bertemu dengan Naruto, meski hampir menghadapi kematian.

Melalui kejadian itu Hinata menjadi tersadar seberapa berharganya setiap hari yang dia lalui. Betapa berharganya tiap detik yang dia lalui bersama Naruto, bersama bayi di dalam perutnya, sebelumnya Hinata tidak menyadari itu.

Kini tiap detik dan langkahnya terasa berharga.

"Maafkan aku, Hinata." Naruto tak akan pernah lelah mengucapkannya di hadapan wanita itu.

Hinata membelai wajah pria itu dengan lembut. Satu hal yang dia sadari sejak dia terjaga dan membuka mata, pria itu terus meminta maaf kepadanya. "Kenapa terus meminta maaf hm?"

"Aku berbohong padamu saat awal mengenal dulu, membawamu pada malapetaka ini, dan membuatmu terlibat pada masa laluku. Aku benar-benar minta maaf, Hinata." Naruto sadar sepenuhnya bahwa dirinya mengacaukan banyak hal di hidup wanita itu. Dia tak seharusnya mengalami ini semua. Pengorbanannya terlalu besar.

"Kuanggap ini adalah harga yang harus kubayar untuk bisa bersamamu." Jika Hinata bisa memilih untuk bersama dengan Naruto melalui ini semua atau tak mengenalnya sama sekali, Hinata akan tetap memilih jalan ini, meski jalannya berliku dan dirinya harus jatuh terlebih dahulu.

Narito meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya erat. "Aku janji padamu, sampai kapanpun itu aku akan selalu mengingatnya."

"Kau membuatku hidup kembali." Hinata rasa dirinya tak pernah lagi merasa bahagia selepas kematian ayah dan ibunya, sebelum mengenal Naruto hidup terasa abu di matanya namun sejak mengenal pria itu semua kembali seperti dulu.

Keduanya tidak menyadari betapa bersyukurnya mereka memiliki satu sama lain saat ini. Memang takdirnya pertemuan mereka harus begini, mereka ada untuk menyembuhkan luka satu sama lain, meski jalannya tidak mudah.

Hinata menghapus air mata pria itu. Oh, ini pertama kali dia mendapati pria itu menangis di hadapannya. "Aku sangat mencintaimu, Naruto."

Nyatanya bagi Naruto, melihat Hinata sakit dan terluka rasanya jauh lebih menyakitkan. Setelah menahan diri mengalami kekalutan akhirnya hari ini tumpah juga resahnya yang dia tahan mati-matian. Sebab dia tahu dirinya harus tetap kuat di sisi wanita itu.

Tak akan pernah Naruto lupakan rasanya berlari di lorong rumah sakit, bertanya seperti kesetanan di mana istrinya yang terluka berada.

"Berikan aku kekuatan untuk menghadapi operasi besok." Hinata menggenggam tangan pria itu. "aku pasti akan kuat, Naruto."

Naruto mengangguk percaya. "tentu, kau wanita terkuat yang pernah kutemui, Hinata."

"Janjikan aku sesuatu." Hinata butuh motivasi untuk ditagih sekembalinya dia dari ruang operasi besok.

"Apapun yang kau inginkan katakanlah." Naruto menatap amethyst wanita itu dan bertanya.

"Aku ingin berbulan madu." Hinata menyampaikan keinginannya yang belum jadi kenyataan. Mereka menikah setelah kehamilan. Tak pernah merasakan bulan madu yang sesungguhnya.

Naruto tersenyum ssmbil mengusap kepala Hinata dengan lembut. "baiklah, ayo berbulan madu nanti."

Hinata mengangguk kemudian memeluk pria itu. "Akan ku nantikan dengan kesabaran sepenuhnya."

...

Hinata rasa dirinya dianugerahi kekuatan, sepanjang hidupnya dirinya telah lolos dari kematian sebanyak dua kali. Yang pertama saat kecelakaan dengan ayah dan ibu, ke dua saat mendapati malapetaka penusukan ini.

Dua kejadian itu membuat Hinata berpikir betapa Tuhan ingin melihatnya tetap hidup dengan kuat setelahnya.

"Sampai bertemu di ruang perawatan." Naruto mengecup kening Hinata sebelum wanita itu dibawa ke ruang operasi.

Hinata menggenggam erat tangan pria itu dan mengangguk. "sampai bertemu."

Naruto merapikan selimut di atas tubuh Hinata dan mempersiapkan wanita itu menuju ruang operasi. Dia percaya wanita ini akan keluar dengan selamat.

"Naruto, jangan terlalu cemas. Beristirahatlah selagi aku ada di ruang operasi." Hinata mendapati pria itu nampak tegang.

"Aku akan menunggumu di depan ruang operasi, sambil memikirkan nama untuknya." Naruto mengusap perut wanita itu.

Hinata tersenyum tipis dan mengangguk "baiklah, tunggu aku." Dia berjanji akan keluar dengan selamat.

...

The TailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang