Menjelang libur semester setelah UTS, OSIS mengadakan mini konser di sekolah. Berita itu disebar lewat mading menggunakan selebaran. Siapa saja boleh membentuk dan mendaftarkan band mereka untuk mengikuti acara tersebut.
"Guys, lo berdua udah tau belom soal konser yang di..." Gisel yang baru datang dengan tasnya tidak melanjutkan ucapan ketika melihat dua temannya tak merespon. Mereka malah sibuk memainkan ponsel dengan ekspresi datar.
"Kalian kenapa, dah? Abis berantem, ya?" tanya Gisel sembari duduk menyerong ke belakang, pada Ziana dan Helen.
Masih sama.
Kedua gadis itu mengabaikan Gisel.
Geram, Gisel mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya menegang.
BRAK!
Gisel menggebrak meja hingga seluruh orang yang ada di kelas terkejut. Tanpa terkecuali dua gadis itu yang sekarang mulai ketar-ketir.
"Budeg, ya?! Kalo mau nge-prank tuh yang pinteran dikit! Sekarang bukan ulang tahun gue, jadi ga usah berlagak musuhan!" sentak Gisel menggebu-gebu.
Ziana berdeham, mencoba menetralisir ekspresinya. Ia dan Helen masih tak mau merespon kemarahan Gisel.
Karena sebenarnya ... mereka tidak sedang memainkan prank.
"Ah, udahlah! Gue ngambek sama kalian!" dumel Gisel, dengan sebal keluar dari kelas begitu saja setelah melempar kasar tasnya ke bangku.
Di koridor, Gisel sesekali menoleh dan melirik ke belakang, berharap dua temannya mengejar. Tetapi, apa yang ia harapkan tidak terkabul karena dua gadis itu memang tak ada niatan sama sekali untuk membujuk Gisel.
Itu membuat Gisel benar-benar marah dan merasa kecewa.
"Sial!" Cewek itu memberengut.
Jika ada masalah di antara mereka, kenapa Gisel tidak menyadarinya? Mengapa mereka berdua malah melakukan silent treatment pada Gisel?
"Cemberut aja pagi-pagi. Nanti cepet tua, loh."
Ledekan itu berasal dari Reja yang menghadang perjalanan Gisel. Cowok itu sedang bersandar pada tembok di dekat papan mading.
"Berisik! Lo, tuh, yang tua!" bentak Gisel kesal.
Siswa-siswi yang melihat interaksi mereka berdua sempat ketar-ketir. Pasalnya, jika diumpamakan, mereka berdua mulanya adalah sesama 'api'. Jika disatukan, maka akan makin berkobar.
Namun, perumpamaan itu sirna ketika Reinald justru tersenyum dan 'menjadi air' yang mengalah untuk 'api'.
"Makan pai coklat buatan Bu kantin aja, yuk, biar mood-nya baikan!" Cowok itu mendekati Gisel, merangkulnya akrab dan membawa dia ke kantin.
"E-eh? A-apaan nih? Lepasin ga?!" Bukan tak berontak Gisel menghadapi rangkulan Reja. Tetapi, sekuat apapun ia berontak, tenaganya tidak ada apa-apanya dibanding tenaga si berandal.
"Hola, Sel!"
Reja membawa Gisel ke kantin, bergabung dengan keempat temannya yang sudah lebih dulu ada di sana.
Gisel menanggapi sapaan ceria Felix hanya dengan senyum terpaksa. Pasalnya, suasana hatinya sedang murung gara-gara dua temannya yang tiba-tiba bersikap aneh dan menyebalkan.
"Lo mau makan apa? Biar gue yang pesenin, nanti Pandu yang traktir," ceplos Felix seenaknya. Kendati demikian, Pandu membiarkan saja temannya itu berceloteh, "Ada ayam geprek, soto, gacoan, mi ayam, nasi padang, bakso, sate, nasi uduk, kolak..."
Gisel menggeleng cepat, ia tidak lapar. "Gapapa, kok, gapapa. Gue ga laper, dari rumah udah sarapan," tolaknya baik-baik.
Tetap saja. Felix bersikeras menyodorkan kertas menu secara paksa pada Gisel agar dia mau makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRANSMIGRASI MENJADI BADBOY
Random"Ga ada cowok yang sempurna di dunia ini. Makanya gue menciptakan Reja Syaputra dalam wujud manusia fiksi." - Azura Hayakawa - *** Reja Syaputra memiliki kepribadian yang baik hati, ramah, dan humble. Karena itulah, dia bisa dengan mudah mendapat pe...