[ 36 ] ARC 1 : TRANSMIGRASI

474 38 0
                                    

"Ya syarat, lah! Emang lo kira masuk geng berandalan kek gini gampang? Pasti lo harus relain keperawanan lo dan digilir sama semua anggota kan?!" Gisel kelepasan, tak berpikir panjang konsekuensi dari ucapannya.

Keadaan seketika hening.

Ran terkesiap. Riak di matanya berubah.

Empat cowok di sana juga tertegun dengan perkataan Gisel barusan. Mereka serempak berdiri dan menatap tajam cewek itu.

Gisel tercekat mendapati suasana yang mendadak berubah. Hendak bertanya apakah ia salah bicara, tapi kerongkongannya terasa macet. Gadis itu menatap mereka secara bergantian dengan tatapan bingung.

Reja menelan salivanya kasar. Tak ia sangka Gisel akan berkata hal demikian. Dilihat dari situasinya, Reja sudah bisa mengerti bahwa perkataan Gisel salah besar.

Itu memancing kemurkaan dari mereka semua.

"Gisel ..." Felix telah sepenuhnya kehilangan senyum, bibirnya membentuk garis datar. Ini kali pertama dia benar-benar kehilangan senyum sepenuhnya. Sorot matanya kosong, seiring dengan menggelap auranya. "... apa yang lo bilang barusan? Lo nggak berpikir akibat dari omongan sampah lo itu?"

Walau menyesal pun, rasanya sudah terlambat bagi Gisel. Kata-kata barusan terlontar begitu saja dari mulutnya tanpa berpikir lebih dulu.

"Tarik ucapan lo, Sel." Felix berdiri tepat di hadapan cewek itu, menatapnya dengan sorot intimidasi. Rahang Felix menegang, menunjukkan bahwa ia benar-benar marah. "Apa yang lo omongin barusan, sama sekali ga pantes diucapin ke Ran."

Gisel mengalihkan pandangannya pada Ran. Gadis barbar itu tampak tertunduk dalam, enggan memperlihatkan wajah.

Atmosfer terasa berat. Semua orang benar-benar murka atas perkataan Gisel. Reja sendiri tak berkutik, bingung harus berbuat apa di saat yang tegang seperti ini.

"Lo tau? Dengan ngomong kayak gitu, bukan cuma harga diri Ran yang lo rendahin. Tapi juga Trevor," sambung Felix. "Trevor emang geng berandalan, tapi bukan berarti anggota cewek bakal diperlakukan layaknya pelacur."

Gisel tak dapat berkata-kata. Ia akui dirinya bersalah. Mulutnya terkadang memang sulit diajak berkompromi.

Reja hendak menyela, tapi Nicko mencegahnya sembari membisikkan sesuatu, "Lo mau apa? Ngebelain Gisel karena jiwa cewek lo ada dalam tubuhnya? Jangan salah, bro. Kalo lo ngelakuin itu, sama aja lo bertindak egois dan nggak mikirin kepentingan kita semua."

Nicko menambahkan, "Gue sama anak-anak yang lain udah bantuin lo sampe titik ini. Lo jangan ngelunjak. Kalo lo belain Gisel di depan Ran dan semua anggota Trevor, itu sama aja lo melakukan kesalahan besar. Bagi Rei, Ran jauh lebih penting daripada cewek manapun."

Reja tak membalas. Kini dirinya merasa dilema. Namun, pada akhirnya hanya bisa diam kembali dengan bibir terkatup rapat. Dibanding perasaan, logikanya masih bekerja dengan baik.

"Emangnya pas lo main bareng Trevor, kita ada ngelakuin itu ke elo, Sel? Kenapa lo malah berpikiran kayak gitu ke kita?" Simon tetap berusaha tenang di tengah ketegangan itu, meski sebenarnya ia juga marah. "Sekotor dan serendah itukah kita di mata lo, Giselle Rosalie?"

Felix belum puas menyudutkan Gisel, ia memperingatkan, "Lo jangan lupa, Sel. Kalo lo ratu di Trevor, maka Ran adalah dewinya."

Perkataan itu mampu menampar keras Gisel hingga kembali pada kenyataan.

Tetapi belum sampai di situ semuanya. Pandu juga mengambil bagian, "Ternyata lo emang antagonis yang patut buat dibenci, Sel. Pantes lo mati dengan tragis."

Pandu bahkan sudah tidak peduli seperti apa reaksi Reja saat ia mengatakan rahasia ini secara blak-blakan.

Bibir Gisel terbuka sedikit. Dia bertanya apa maksud perkataan Pandu. Tetapi cowok itu tak ada menyahut lagi.

"Jawab gue, Pandu! Apa maksud lo ngomong kayak gitu?!" Sekali lagi, ia mempertanyakan.

Situasinya benar-benar tidak tepat.

Sudah cukup. Reja tidak tahan. Cowok-cowok ini memang sangat keterlaluan. Membongkar rahasia yang seharusnya disimpan rapat-rapat selama ini, Reja tak akan tinggal diam.

"Ja!" tegur Nicko yang keukeh menahan Reja. Cowok itu tetap akan maju untuk mengakhir semuanya, tapi Nicko bersikeras menghalangi.

"Minggir, Nick. Gue emang bukan Reinald, tapi bukan berarti lo bisa seenaknya ngatur gue," tegas Reja.

Namun, baru saja dia akan menghentikan semuanya, Ran yang sejak tadi tertunduk kini mendongak perlahan. Bibirnya bergumam parau, "Gue ..." membuat semua orang mengalihkan atensi padanya.

Sorot mata Ran berubah kosong, perasaannya terluka oleh ucapan Gisel. Cewek itu tanpa ekspresi, meneruskan ucapannya, "... bakal keluar dari Trevor."

Keputusannya, mengejutkan semua orang.

"Ran, maksud lo apa?" Felix beralih padanya.

Ran mengangkat satu tangannya, sebagai isyarat agar Felix tak menyela. Ia pun melanjutkan perkataannnya.

"Bukan demi diri sendiri, tapi ini demi Trevor. Tolong, jangan cegah gue. Gue nggak mau, nama geng ini ternodai cuman karena seorang cewek kayak gue."

Ran tidak sedang bercanda. Dia sudah yakin dengan keputusannya. Cewek itu mulai melepaskan jaket hitam yang melambangkan Trevor—masih dengan kedua mata yang memandang kosong. Seolah ia adalah raga tanpa jiwa. Sebab Trevor bagai separuh jiwa bagi Ran. Makanya, ketika ia memutuskan hal ini, Ran merasa kosong seketika.

Lengan Ran terulur ke depan, dengan jaket yang dipegangnya. Jaket itu jatuh ke tanah.

Di bawah tatapan semua orang, Ran membalikkan badan—bersiap pergi. Wajahnya masih tanpa ekspresi, tak peduli apa yang dipikirkan oleh semua anggota gengnya.

"Ran, lo—" Felix akan bicara, tetapi urung saat Reja telah lebih dulu menghentikan Ran dengan memanggilnya.

Cewek itu berhenti, tanpa berbalik badan, hanya melirik Reja lewat ekor mata.

Nicko melebarkan pupilnya. Ia tidak menyadari pergerakan Reja saking fokusnya pada Ran. Kalau sampai cowok itu membela Gisel dan membiarkan Ran pergi dari sini, maka habislah Trevor. Semuanya akan rumit, apalagi jika jiwa Reinald sudah kembali. Nicko pasti akan—

"Lo nggak harus pergi, Ranza Shein." Reja berdiri tepat di belakang Ran, menatapnya dalam-dalam.

Ran mulai membalikkan badannya. Balas menatap cowok itu.

"Yang Felix bilang itu bener. Gisel emang dianggap ratu di Trevor. Tapi jangan lupa, lo dewinya di sini," tambahnya.

Nicko mengernyitkan dahi sekarang. Apa yang sedang Reja lakukan? Apa dia menyetujui ucapannya untuk membela Ran dan mengabaikan Gisel?

"Kalo ada yang harus pergi, itu bukan lo. Tapi ..." Reja menolehkan kepalanya ke arah Gisel, memandang gadis itu dengan sorot dingin. "... dia."

Gisel terpaku. Peluh bercucuran dari dahinya. Jantungnya berdegup kencang, tidak mengira Reja akan lebih membela Ran.

Tetapi, seharusnya Gisel tidak perlu terlalu berharap. Memang mau bagaimanapun, posisi Ran jauh lebih penting dibanding dirinya.

Tentu saja Reja tak akan membela orang yang baru hadir di tengah-tengah mereka. Apalagi Gisel jelas mengerti kalau perkataannya lah yang salah.

"Tunggu apa lagi? Apa perlu anggota gue yang nyeret lo keluar dari tempat ini?" Reja melayangkan sarkas.

Gisel termundur, air mata jatuh dari pelupuk matanya. Gadis itu menunduk, berucap kata maaf berkali-kali dan menyesali perbuatannya. Setelah itu, barulah Gisel berlari cepat meninggalkan tempat ini.

Tanpa sengaja mata Reja bersitatap dengan netra Nicko. Dia sedikit kaget, karena menyadari, bahwa yang mengendalikan tubuh itu ... bukanlah Reja.

"Reinald?" Nicko bergumam tak percaya.


❄️🩵❄️

TRANSMIGRASI MENJADI BADBOYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang