GREGAIN - Empat

514 47 0
                                    

Bagian Empat : Kilas Balik Shani (3)

Bagian Empat : Kilas Balik Shani (3)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Shani Point of View

*****

AKU kehilangan kedua orang tuaku dalam kecelakaan saat mudik lebaran saat aku berumur 12 tahun. Ingat betul, saat momen itu terjadi aku baru saja lulus SD. Begitu membekas di kepala.

Langsung aku dipindahkan untuk tinggal bersama eyang kakung dan eyang putri, orang tua dari ibuku, karena kedua orang tua ayah sudah tidak ada-beliau juga anak tunggal-jadi keluarga yang kupunya hanya tinggal kedua orang tua dari ibuku.

Saat aku dipindahkan, eyang putri kondisinya memang sudah mulai buruk, sudah harus pakai kursi roda kemana-mana dan mulai pelupa. Untung saja ada eyang kakung yang selalu menghibur dan membuatku sedikit-sedikit melupakan kesedihan akan kehilangan dua orang terkasih. Namun, entah apa salahku pada Tuhan, sehingga Dia merenggut nyawa eyang kakungku tiga tahun kemudian, saat aku baru saja masuk SMA.

Kini yang tersisa hanya eyang putri, aku tidak punya siapa pun lagi di dunia selain beliau. Aku harap, Tuhan mencabut kekejamannya padaku, agar mau sedikit memberiku bahagia. Akan tetapi, semua tak terjadi. Tuhan lagi-lagi merenggut orang terkasihku.

“Shan, ayo ikut Ibu.” Aku ingat betul saat pelajaran Fisika tengah berlangsung, seorang guru tiba-tiba masuk ke kelas, mengalihkan semua pandang mata dari papan tulis menjadi kepadanya. Dia melangkah mendekat ke mejaku lantas berkata demikian.

Aku bingung, tapi menurut, langsung aku berdiri dari bangku.

“Tasnya dibawa sekalian juga,” kata guru yang tak kuketahui itu lagi, aku belum pernah diajar olehnya.

Kulihat Anin di sebelah menatapku penuh tanya, aku yang menangkapnya pun hanya menggelengkan kepala. Aku sama bingungnya dengan dia.

Di depan kelas, baru aku berani bertanya, “Kenapa ya, Bu?”

Beliau mengelus pundakku lembut, “Kamu yang sabar, ya, Shani.”

Mendadak perasaanku jadi tidak enak, aku mendesak, “Kenapa, Bu?” tanyaku kelepasan, sedikit menaikkan volume bicara.

Namun, guru itu tak marah, beliau masih tetap mengelus pundakku. “Eyang kamu ... sudah enggak ada.”

Tahu apa yang terjadi? Entah, aku hanya bisa merasakan hatiku remuk. Kakiku melemas. Mataku memanas. “Bohong!” Hanya itu yang dapat kuucapkan.

*****

Aku hanya berdiam diri di kamar, kubiarkan para tetangga yang mengurus eyang, aku tak sanggup melihat semua kenyataan ini.

Aku sudah tidak punya siapa pun di dunia ini. Kenapa Tuhan begitu tega padaku? Kenapa tak sekalian saja cabut nyawaku sekalian? Kenapa harus menyiksaku perlahan seperti ini. Semua orang yang kusayangi selalu diambil oleh-Nya!

Rasanya, air mataku sudah tak bisa keluar lagi, sudah terkuras habis. Hatiku sangat ngilu, aku tak bisa mendeskripsikannya.

Tok tok tok

“Shan ....” Suara ketukan pintu dan suara panggilan itu datang hampir bersamaan. Aku tahu betul itu Sisca. Aku tak membalasnya, tapi dia berkata lagi, “Gue masuk, ya.”

Pintunya memang tidak aku kunci. Sisca langsung datang menghampiri dan memelukku. Dia memang tahu segala seluk beluk tentang keluargaku. Aku tak tahu mengapa dia begitu baik padaku, entah karena kasihan atau apa. Sebenernya aku tak suka dikasihani, tapi menolak disayangi Sisca adalah hal paling bodoh sepertinya.

Balas aku memeluk tubuhnya, “Sis ... eyang, Sis. Gue udah enggak punya siapa-siapa lagi,” ujarku sambil terisak.

Kurasakan Sisca mengeratkan pelukannya, kemudian mengelus rambutku lembut, “Hei, lo masih punya gue!” tegasnya.

“Tapi itu beda! Lo itu temen, sedangkan—”

“Hust!” potong Sisca. Kini dia mengelus punggungku yang masih ada di pelukannya. “Sekarang turun dulu, yuk. Eyang pasti sedih kalau lo enggak nganter beliau buat yang terakhir kalinya.”

*****

Sudah tiga hari sejak pemakaman Eyang, aku hanya tidur di kamar, tidak sekolah. Sepertinya sekolah pun memaklumi kalau aku butuh waktu setelah kepergian Eyang.

Selepas pulang sekolah, Sisca selalu ke sini untuk menemani, anak itu bahkan rela menginap demi memastikan agar aku tak terus menangis dan meratapi nasib. Dia menceritakan gosip-gosip terbaru di sekolah juga cerita-cerita lucu lainnya. Jujur, aku sedikit terhibur olehnya, pikiranku akan kepergian eyang bisa sedikit teralihkan.

Namun, saat pagi, saat Sisca harus pergi ke sekolah, saat aku sendirian, rasa sedih itu seakan tiba-tiba datang menusuk jantungku. Sudah kucoba berbagai cara untuk mengalihkan atensi, tetapi tidak berhasil.

Shani kangen Eyang, kangen ayah sama ibu juga ....

Tok, tok, tok

Suara ketukan pintu kamar membuat khayal yang tercipta di kepala berhenti. Aku mengambil teleponku untuk mengecek waktu.

Baru jam 1 ternyata, sekolah belum berakhir, itu pasti bukanlah Sisca. Lagi pula kalaupun itu Sisca, pasti selain suara ketukan, suara teriakannya juga akan terdengar.

Mungkin tetangga mau ngasih makan

"Siapa?"

Aku hanya mengeluarkan satu kata tanya itu dari mulutku begitu melihat sosok wanita asing di depan pintu kamarku. Anehnya, aku tak merasa terancam akan hadirnya, padahal bisa saja dia orang jahat. Walaupun dari muka dan pakaiannya tidak mendukung orang ini menjadi orang jahat, sih.

Dia tersenyum, "Hi, i'm your aunty."

*****


Note : Maaf kalau sangat cringe, next chapter bakal diup nanti malam or besok hehehe

Gregain [gxg]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang