DCA - 4

1.3K 267 9
                                    

Aruna menatap tubuhnya yang dibaluti kebaya berwarna Mocca, terlihat sangat cantik ketika ia kenakan. Tubuhnya memang tidak begitu tinggi, tetapi terlihat sangat indah ketika menggunakan pakaian apapun.

Entah apa maksud Bude Ranti, meminta mereka menggunakan baju yang sama dengan keluarga intinya, mungkin saja karena kedekatan keluarga mereka selama ini.

Ia hela napas panjang entah untuk yang keberapa kali, mencoba menetralkan perasaannya yang masih kacau sejak beberapa minggu yang lalu.

Apakah ia sakit hati? Tentu saja jawabannya iya.

Siapa yang tidak sakit hati, ketika mengetahui orang yang kita sukai akan menikahi wanita lain.

Apa dirinya kecewa?

Tentu saja kecewa, kalau ternyata bukan dirinya yang akan bersanding dengan lelaki itu.

Tetapi ia bisa apa, selain merelakan dengan hati yang sakit dan mencoba ikhlas walaupun terasa sangat berat untuknya.

Sekali lagi ia menatap pantulan dirinya dicermin, memperhatikan raut wajah tanpa senyum yang terlihat sendu. Seandainya saja bisa memilih, ia lebih baik tidak ikut ke acara sakral ini agar tidak melihat wajah bahagia kedua mempelai.

Apa lebih baik dia kabur saja?

"Mbak Una udah selesai kan? Kalau sudah, ayo kita ke bawah Mbak."

Suara Sinta menyadarkan Aruna dari pikiran gilanya, Ia mengangguk pelan dan ikut melangkah meninggalkan kamar di salah satu hotel tempat di mana Ijab kabul dan juga resepsi akan dilaksanakan.

***

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Sahhh!!"

"Alhamdullilah."

Suasana haru dan juga bahagia menyelimuti acara Ijab kabul Kalandra dan juga istrinya, yang baru Aruna ketahui bernama Salsa. Mereka terlihat serasi, Lelaki tampan dan juga wanita cantik. Wanita yang terlihat berkelas dan elegant, sangat berbeda jauh dengan dirinya.

Pantas saja Kalandra tidak pernah meliriknya, Aruna dan wanita itu terlihat bagaikan langit dan bumi, sangat jauh berbeda.

Lihat saja sekarang, Kalandra yang tersenyum sumringah dengan mata yang tidak lepas memandang wajah cantik wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu, senyum yang hampir tidak pernah ia lihat selama ini, beruntung sekali wanita itu.

Selesai sudah rasa sukanya, selesai sudah rasa yang ia harapkan dari lelaki itu. Ia bukanlah wanita jahat yang tega mengganggu kebahagiaan pasangan yang baru saja dimulai, ia memilih mengalah dan pergi dengan rasa sakit yang ia harap dapat segera disembuhkan.

"Mbak, udah nangisnya, itu make upnya luntur loh." Ucap Ibunya khawatir, melihat Aruna yang menangis sesegukan.

"Mbak kenapa nangisnya sampai kaya gini?" Lanjut Ibunya panik, dan memberikan tisu untuk menghapus pipi putrinya yang basah.

Aruna menggelengkan kepalanya, bingung ingin menjawab apa. "Mbak Una, ter.....ter....haru Bu." Ucapnya, dengan suara terbata - bata, dan memilih untuk mengalihkan pandangannya dari pasangan yang terlihat mesra di depan sana.

Bagaimana bisa hatinya sehancur ini.

***

"Selamat menempuh hidup baru Mas Kala dan Mbak Salsa, semoga langgeng dan cepat diberi momongan ya." Ucap Aruna dengan senyum sumringah sambil menyalami kedua mempelai yang terlihat sangat bahagia.

"Aamiin, kamu juga semoga disegerakan ya." Bukan Kala yang bersuara, tetapi wanita di sampingnya yang kini memeluk Aruna dengan erat, seolah mereka sudah saling kenal dan dekat, wanita yang baik untuk lelaki yang baik ternyata.

Aruna dengan cepat menganggukan kepalanya, dengan senyum yang masih terpatri diwajah cantiknya. Ia memilih untuk segera turun ketika pelukan mereka sudah terlepas, tanpa berani melirik lelaki yang kini sudah menjadi suami orang itu.

Tidak ada harapan selain mengikhlaskan, dan tidak ada kemenangan selain mengaku kalah.

Iya, dirinya kalah sebelum memulai dan mundur sebelum disuruh.

Semudah itu ternyata membuatnya tersadar, sekalipun ia tersadar dengan cara yang menyedihkan bahkan tanpa sadar kini tubuhnya kembali bergetar seolah ikut bereaksi akan hatinya yang masih terasa sakit.

Yang ia lakukan sekarang hanyalah mempertahankan senyumnya di hadapan banyak orang, dan ketika ada yang menyadarinya tengah menahan tangis, ia akan mengatakan kalau dirinya sangat bahagia dan terharu dengan pernikahan mereka.

Untuk Kalandra terima kasih karena sudah menyadarkan Aruna, dari impian gilanya yang beranggapan akan sangat bisa mendapatkan dirimu.


***

Aruna menatap jendela kamarnya, jendela kamar yang menjadi saksi bisu kelakuan gilanya selama ini.

Tidak ada lagi dirinya yang mengintip lelaki itu secara diam - diam, tidak ada lagi senyum bahagianya yang tercipta hanya karena melihat sosok pujaan hatinya itu, sekarang semuanya sirna tanpa sisa.

Ia menghela napas panjang, seolah hanya dirinya sendiri yang merasakan perasaan sedih di dunia ini. Tidak ingin terlalu larut dengan kesedihannya, ia memilih keluar dari kamar mencoba mencari kesibukan yang mungkin saja bisa membuat hatinya menjadi bahagia walaupun itu terdengar sangat mustahil.

Ia menuruni anak tangga dengan langkah lunglai dan menemukan sosok Ibunya yang terlihat sibuk di dapur.

"Ibu." Panggilnya dengan suara manja, dan menghampiri Ibunya yang masih terlihat sibuk.

"Ibu bikin apa?" Tanyanya lagi, sambil memperhatikan tangan Ibunya yang terlihat sibuk mengaduk tepung di wadah sedang.

"Ini, Mas mu minta dibikinkan Risoles."

"Oh Iya, Mbak sibuk ndak?" Tanya Ibunya, dengan mata yang masih terfokus keadonan di depannya.

"Nggak Bu." Aruna menggelengkan kepalanya.

"Ke warungnya Bude Atik dulu Mbak, belikan tepung panir, Ibu ndak tahu kalau habis. Itu uangnya ada di atas meja." Pinta Ibunya, yang tidak mungkin bisa ia tolak.

Ia memilih menganggukan kepalanya dan mengambil uang di atas meja, setelah itu segera menuju pintu rumah. Tidak ada lagi ia yang akan bersemangat seperti sebelumnya, yang ada hanya rasa sedih yang harus ia lawan dengan sepenuh hati.

Ia dengan perlahan membuka pintu rumahnya, tetapi gerakannya terhenti ketika pemandangan di depan sana terlihat sangat menyakitkan untuk dilihat.

Pasangan yang baru seminggu lalu menikah itu, kini terlihat asyik duduk di teras rumah dengan Kalandra yang memainkan gitar dan Salsa yang bersenandung kecil. Terlihat sangat bahagia dan membuat iri siapa yang melihatnya, tidak terkecuali Aruna yang kini memilih kembali menutup pintu rumahnya, merasa tidak sanggup melihat kemesraan mereka berdua.

Ia membalikkan badannya dengan kepala yang tertunduk, terlihat lesu tanpa semangat, sampai kemudian suara sang adik membuatnya sedikit terkejut dan dengan terpaksa mengangkat kepalanya untuk bertatap Muka dengan Bagas, adiknya.

"Mbak ngapain?"

Tidak ada jawaban, hanya helaan napas panjang pertanda dirinya sedang tidak baik - baik saja. Ia mengulurkan tangannya bermaksud memberikan uang belanjaan kepada Bagas.

"Tolong beliin tepung panir di warungnya Bude Atik." Perintahnya tanpa semangat.

Membuat kerutan dikening adik bungsunya itu terlihat. "Tumben, biasanya Mbak paling senang kalau disuruh ke warung." Tanyanya heran.

Aruna hanya menggelengkan kepalanya, tanpa mau menjawab. "Cepetan, nanti Ibu Marah." Dengan cepat ia mendorong bahu adiknya, memintanya segera pergi tanpa banyak bertanya lagi.

Sedangkan dirinya memilih kembali ke kamar, merenung dan meratapi patah hati sepertinya masih harus ia lakukan tanpa tahu sampai kapan akan berakhir.


Bersambung.

Drama Cinta Aruna (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang